29 Januari 2025 merupakan hari bersejarah bagi Suriah karena pada tanggal tersebut Partai Arab Sosialis Regional Ba’ath Kawasan Suriah dan seluruh partai politik yang tergabung dalam Front Progresif Nasional (NPF), sebuah aliansi politik di bawah kekuasaan rezim Bashar Al-Assad, secara resmi dilarang dan dibubarkan oleh Pemerintah Transisi Suriah (STG). Pelarangan tersebut menandakan berakhirnya 61 tahun pemerintahan negara satu partai (one-party state) yang penuh dengan penindasan, sektarianisme, korupsi, dan kultus kepribadian yangawalnya dibentuk oleh seorang mantan perwira Angkatan Udara Arab Suriah (SAAF). Seluruh aksi tersebut telah memberikan bekas permanen bagi masyarakat Suriah yang kini harus dihadapi oleh STG dalam jangka panjang.
Awal mula Partai Ba’ath pertama kali muncul pada 7 April 1947 saat dua warga Suriah yakni Michel Aflaq dan Salah al-Din al-Bitar membentuk sebuah partai yang mengutamakanpersatuan dari Bangsa Arab, kebangkitan budaya Arab, dan perlawanan terhadap kolonialisme barat. Partai ini dinamakan Ba’ath yang dalam bahasa Arab berarti kebangkitan (renaissance/resurrection). Pada tahun 1953 Partai Ba’ath bergabung dengan Partai Sosialis Arabdan mendapatkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat di kawasan Timur Tengah. Bergabungnya Partai Ba’ath dengan Partai Sosialis Arab pada akhirnya melahirkan nama Partai Sosials Arab Ba’ath dan slogan mereka yaitu persatuan, kebebasan, dan sosialisme. Partai Ba’ath memiliki tujuan akhir besar yaitu untuk mempersatukan Bangsa Arab menjadi satu negara yang membentang dari Teluk Persia menuju Samudra Atlantik. Keinginan ini merupakan sebuah tujuan mulia karena setelah Perjanjian Sykes-Picot tahun 1916 kawasan Timur Tengah dipecah belah secara sepihak oleh Inggris Raya dan Prancis setelah kemenangan mereka di Perang Dunia I. Perjanjian tersebut dianggap sebagai pengkhianatan dari Inggris Raya yang menjanjikan Bangsa Arab tanah dan kemerdekaan. Partai Ba’ath dianggap mampu untuk mencapai tujuan tersebut karena hal tersebut merupakan obyektif mereka dan hal ini membuat mereka memiliki dukungan besar di masa perang dingin.
Akan tetapi Partai Ba’ath tidak akan pernah mencapai tujuan ini karena berbagai faktor internal yang pada akhirnya menyebabkan partai tersebut merosot menjadi sebuah kediktatoran yang tidak segan-segan untuk melancarkan aksi keji untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Di Suriah, aksi keji dan brutal yang dilakukan atas nama Partai Ba’ath terlihat di berbagai peristiwa seperti Pembantaian Hama tahun 1982, serangan gas di Ghouta tahun 2013, dan Penjara Sednaya yang diberikan nama panggilan sebagai rumah jagal manusia (human slaughterhouse) oleh para napi yang pernah dipenjara. Partai Ba’ath juga berubah dari partai yang mengakomodasi seluruh etnis dan agama yang berada di kawasan Timur Tengah menjadi sebuah wadah bagi etnis tertentu untuk mempertahankan kekuasaan mereka sementara kelompok lain disingkirkan dan ditindas. Untuk menindas kelompok-kelompok yang tidak diinginkan, Partai Ba’ath memanfaatkan istilah ‘persatuan Arab’ untuk menindas berbagai macam kelompok etnis yang dianggap sebagai ancaman. Di Suriah hal tersebut dapat dilihat pada saat Hafez Al-Assad memerintahkan Angkatan Bersenjata Arab Suriah (SAA) untuk melancarkan serangan udara dan artileri terhadap Kota Hama untuk menghancurkan pemberontakan yang dilancarkan kelompok Persaudaraan Muslim. Seluruh aksi tersebut menyebabkan akademisi di kawasan Timur Tengah memiliki pandangan negatif terhadap Ba’ath karena mereka menganggap ideologi tersebut tidak memiliki dasar apapun.
Tidak adanya dasar ideologi yang jelas menyebabkan Partai Ba’ath rawan terhadap perpecahan karena para anggota dapat menafsirkan ideologi partai secara bebas yang sesuai dengan pemahaman pribadi mereka. Selain itu kebebasan ini juga membuka ruang bagi seorang anggota yang memiliki pengaruh besar untuk melakukan power grab dan membangun kultus kepribadian. Pembangunan kultus kepribadian tersebut dapat mengubah Partai Ba’ath menjadi sebuah wadah pribadi yang dipegang oleh penguasa tertinggi partai. Dalam skenario ini organdan lembaga internal Partai Ba’ath yang seharusnya mampu membatasi kendali sekjen partai dibajak menjadi institusi tidak berdaya yang sepenuhnya tunduk terhadap keinginan pribadi pemimpin.
Hal tersebut terjadi di Suriah setelah Salah Jadid melancarkan kudeta tahun 1966 yang mengakhiri kekuasaan Komando Nasional Partai Ba’ath Suriah yang dikendalikan oleh pejabat sipil. Kudeta tersebut mengubah Suriah menjadi sebuah negara kediktatoran militer secara de-fakto karena faksi militer Partai Ba’ath menguasai seluruh organ dan lembaga internal partai. Tidak lama setelah kudeta yang dilancarkan Jadid, Hafez Al-Assad melancarkan kudeta pada tahun 1970 yang dinamakan sebagai gerakan perbaikan. Kudeta yang dilancarkan oleh Hafez Al-Assad mengkonsolidasikan kekuasaannya terhadap seluruh aspek politik, ekonomi, dan sosial Suriah serta mengkultuskan dirinya dengan cara yang mirip dengan kultus kepribadian Joseph Stalin di Uni Soviet dan Dinasti Kim di Korea Utara. Kedua kudeta tersebut mengakhiri Partai Ba’ath Suriah sebagai gerakan revolusioner dengan tujuan mulia menjadi kendaraan politik pribadi Dinasti Al-Assad yang memimpin Suriah dengan tangan besi selama enam dekade.