Alarm Bahaya Bullying dalam Elemen Masyarakat
Baru-baru ini, media sosial diramaikan dengan pemberitaan terkait dugaan bullying terhadap seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (UNDIP), yang ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya di Semarang pada 23 Agustus 2024. Kematian yang pada awalnya diduga sebagai kasus bunuh diri, kemudian berkembang menjadi polemik setelah muncul dugaan bahwa korban mengalami tekanan psikologis yang berat akibat tindakan bullying dari rekan-rekannya serta lingkungan kerjanya di rumah sakit.
Sebelum mengakhiri hidupnya, korban sempat mengirimkan pesan suara kepada keluarganya, di mana ia mengungkapkan rasa sakit yang dialaminya akibat punggungnya yang cedera, hingga membuatnya tidak mampu bangun dari tempat tidur dan harus meminta bantuan Customer Service (CS) untuk membelikan air minum. Dugaan bahwa tekanan psikologis dan bullying menjadi penyebab kematian korban semakin menguat setelah keluarganya menyatakan bahwa ia mengalami tekanan berat selama menjalani pendidikan dan pekerjaan sebagai dokter spesialis.
Menanggapi kejadian ini, pihak Universitas Diponegoro dan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Kariadi, tempat korban menjalani praktik menyatakan akan melakukan investigasi menyeluruh dan berjanji menindak tegas jika ditemukan adanya pelanggaran terkait bullying dan perlakuan tidak manusiawi di lingkungan pendidikan maupun tempat kerja.
Tren Kasus Bullying
Meski belum ditetapkan bahwa kasus tersebut merupakan kasus bullying ataupun bunuh diri, nyatanya dalam beberapa tahun terakhir, tren kasus bullying di Indonesia telah menunjukkan peningkatan. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), pada tahun 2022, terdapat 226 kasus bullying, meningkat dari 53 kasus pada tahun 2021, dengan jenis bullying yang paling sering dialami korban adalah bullying fisik (55,5%), verbal (29,3%), dan psikologis (15,2%). Disamping itu, bullying tidak hanya terjadi bagi anak-anak di sekolah, dalam penelitian Judith Lynn Fisher-Blando dari University of Phoenix, juga menyebutkan bahwa hampir 75% karyawan menjadi korban bullying di tempat kerja.
Bullying dari Kacamata Nilai-nilai Kemanusiaan
Bullying tak hanya merusak individu yang menjadi korban, tetapi juga mencederai prinsip-prinsip dasar yang dipegang oleh bangsa Indonesia; sebagaimana Sila Kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” yang menekankan pentingnya perlakuan manusiawi dan adil terhadap setiap individu. Tindakan merendahkan, menghina, atau menyakiti korban bullying jelas bertentangan dengan nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.
Bullying menciptakan ketidakadilan dalam hubungan sosial, di mana pelaku menggunakan kekuatan atau kekuasaan mereka untuk menindas yang lebih lemah. Ini bukan hanya masalah personal, tetapi juga isu sosial yang mencerminkan hilangnya adab dalam interaksi manusia sehari-hari. Dalam konteks budaya Indonesia, yang sangat menghargai kesopanan dan hubungan sosial yang harmonis, bullying tidak hanya merusak individu tetapi juga tatanan sosial yang lebih luas.
Laporan dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan bahwa Indonesia saat ini berada dalam kondisi darurat perundungan. Ini diperburuk oleh belum adanya aturan penanganan yang ideal, meskipun pemerintah telah mengeluarkan Permendikbud 46/2023 yang mengatur tujuh bentuk kekerasan, termasuk perundungan, kekerasan psikis, dan intoleransi. Namun, para pengamat menilai, regulasi ini belum cukup untuk menangani dan mencegah kasus bullying (perundungan) secara efektif.
Dampak bullying juga dapat semakin buruk bila korban tidak memiliki ketahanan emosional atau Emotional Spiritual Quotient (ESQ) yang kuat. ESQ mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengelola emosi dan spiritualitas dalam menghadapi tekanan atau tantangan. Individu dengan ESQ yang rendah cenderung lebih rentan terhadap dampak negatif bullying, termasuk stres, depresi, dan kecemasan. Sebaliknya, mereka yang memiliki ESQ tinggi lebih mampu bertahan, menahan diri dari dampak emosional yang berat, dan mencari solusi yang konstruktif.
Dalam konteks ini, kesehatan mental menjadi kunci utama dalam menghadapi bullying. Tekanan psikologis yang berkepanjangan akibat bullying dapat memicu gangguan mental yang serius, seperti gangguan tidur, depresi, dan pada kasus-kasus ekstrem, hingga tindakan bunuh diri. Institusi pendidikan dan tempat kerja harus memainkan peran besar dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung, memiliki sistem yang jelas untuk melaporkan dan menindaklanjuti kasus-kasus bullying, hingga memberikan pendidikan yang memperkuat ESQ individu, sehingga mereka mampu menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik. Dengan memiliki ketahanan emosi yang tinggi, manusia dapat bertahan dari dampak emosional dan mencari solusi konstruktif. Sebaliknya, jika memiliki ketahanan emosi yang lemah, manusia akan rentan terhadap dampak negatif.
Disamping itu, penting untuk memiliki program pendidikan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya bullying dan cara mencegahnya. Dalam dunia kerja, perusahaan perlu menyediakan pelatihan anti-bullying, ESQ, membentuk tim penanganan keluhan, dan mengadakan sesi konseling bagi karyawan yang menjadi korban. Sementara itu, di institusi pendidikan, penting untuk mengintegrasikan serta memperkuat pendidikan karakter yang menekankan nilai-nilai Pancasila, seperti rasa kemanusiaan, keadilan, dan beradab, serta ESQ, ke dalam kurikulum.
Kasus ekstrem, seperti yang diduga terjadi pada seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Diponegoro, menunjukkan bahwa kerentanan ESQ dan tekanan psikologis dari bullying dapat berujung pada tindakan mencelakai diri sendiri. Kasus ini menjadi cerminan nyata perlunya perhatian serius terhadap kondisi mental individu, serta mengingatkan kita bahwa ESQ yang baik dapat menghasilkan nilai-nilai kepribadian yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Perhatian terhadap bullying harus diperkuat dengan memiliki sistem pencegahan yang memadai, seperti semboyan ‘lebih baik mencegah sebelum mengobati’. Upaya pencegahan harus menjadi prioritas; dan tanggung jawab ini tidak hanya berada di tangan institusi pemerintahan, tetapi juga melibatkan seluruh elemen masyarakat.