Pembantaian 6-9 Maret 2025: Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga
Pada 6 Maret 2025 pasukan pemberontak pro-Assad Dewan Militer Untuk Pembebasan Suriah (MCLS) melancarkan sergapan terhadap Pasukan Keamanan Nasional (GSS) Suriah di Kota Jableh, Provinsi Latakia yang mengakibatkan 13 personel tewas dan belasan lainnya terluka. Sergapan ini merupakan serangan paling mematikan yang dilancarkan oleh pemberontak pro-Assad setelah Hayat Tahrir Al-Sham (HTS) meruntuhkan rezim Bashar Al-Assad akibat dari serangan kilat yang mereka lancarkan pada 27 November 2024. Akibat dari sergapan ini Pemerintah Transisi Suriah (STG) menetapkan jam malam serta mengirimkan bala bantuan besar untuk memburu para pelaku sergapan tersebut dan mengamankan kedua wilayah dari kelompok pemberontak pro-Assad.
Tidak lama setelah bala bantuan tiba di Tartus dan Latakia, terdapat laporan bahwa personel GSS melancarkan pembantaian terhadap Sekte Alawi di kedua wilayah tersebut. Menurut data yang diberikan oleh Organisasi Pengawas Hak Asasi Manusia di Suriah (SOHR) terdapat setidaknya 750 warga sipil yang tewas akibat dari pembantaian yang dilancarkan oleh personel GSS. Akibat dari pembantaian ini ratusan warga sekte Alawi dan minoritas lainnya melarikan diri ke Pangkalan Udara Hmeimim yang dikendalikan oleh Angkatan Bersenjata Rusia untuk melindungi diri mereka dari pembantaian yang dilancarkan oleh personel GSS. Pembantaian ini menuai kecaman dari berbagai pihak dan sekaligus mendesak STG untuk meluncurkan investigasi independen yang dapat mengadili seluruh pelaku dari kejahatan tersebut. Menanggapi insiden ini, Presiden Ad Interim Suriah Ahmed Al-Sharaa menyampaikan pidato yang menuduh pemberontak pro-Assad melancarkan upaya untuk membuat kerusuhan dan merusak stabilitas negara. Presiden Al-Sharaa juga mengumumkan pembentukan sebuah komisi investigasi independen yang bertugas untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaku yang melakukan pembantaian terhadap warga sekte Alawi di Jableh dan kota lain yang berada di wilayah Alawite Heartland.
Pembantaian terhadap warga sekte Alawi di Provinsi Tartus dan Latakia merupakan insiden HAM terburuk yang terjadi di Suriah setelah keruntuhan rezim Bashar Al-Assad dan Partai Ba’ath Suriah pada 8 Desember 2024. Insiden ini merupakan sebuah pukulan besar bagi dua pihak yaitu STG dan suku Alawi. Bagi STG, insiden ini merupakan pukulan besar bagi mereka karena hal ini menunjukan walaupun Presiden Ad Interim Al-Sharaa telah berulang kali mengutarakan ajakan rekonsiliasi dan persatuan nasional, sektarianisme tetap menjadi masalahbesar yang mengancam persatuan Suriah bahkan setelah perang saudara berakhir. Saat perang saudara mencapai puncaknya pada pertengahan dekade 2010an terdapat banyak insiden pembantaian atau pelanggaran HAM lainnya yang dilakukan oleh berbagai faksi pro-Assad dan anti-Assad. Kejahatan yang dilakukan seringkali menargetkan kelompok sekte atau agama tertentu dengan berbagai macam motif seperti radikalisme agama, balas dendam, sektarianisme, dan taktik teror. Untuk menghadapi permasalahan ini, STG perlu mengambil tindakan tegas terhadap seluruh pelaku karena jika isu sektarianisme dibiarkan hal tersebut dapat menabur benih keraguan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintahan Suriah. Hal ini dapat membuka pintu bagi kekuatan asing (Iran dan Israel) untuk memecah belah masyarakat Suriah dan pada akhirnya membuat Negeri Sham terjebak dalam sebuah state of perpetual conflict seperti Libya dan Irak.
Sementara itu bagi warga sekte Alawi, pembantaian yang dilakukan oleh personel GSS dan SAF merupakan sebuah tragedi yang diakibatkan oleh dua hal yaitu keterlibatan mereka dalam rezim/dinasti Al-Assad serta pemberontak yang dilancarkan oleh kelompok pro-Assad seperti MCLS, Brigade Tameng Pantai (CSB), Pemberontakan Populer Suriah (SPR). SekteAlawi seringkali dianggap sebagai kelompok yang paling diuntungkan oleh rezim Al-Assad karena Hafez dan Bashar juga berasal dari sekte Alawi. Asumsi ini memiliki beberapa kebenarankarena rezim Al-Assad seringkali menunjuk pejabat dari sekte Alawiya untuk memastikan kesetiaan militer dan aparatur keamanan negara. Akan tetapi hal ini tidak berarti sekte Alawisepenuhnya mendukung Assad karena nepotisme sekte yang dilakukan Bashar dan Hafez terbatas dilakukan kepada anggota sekte Alawi yang telah menjadi anggota elit dalam pemerintahan. Sementara itu sebagian besar dari warga sekte Alawi dipaksa untuk bertempur demi Bashar Al-Assad sebagai prajurit biasa. Untuk memastikan loyalitas mereka Bashar Al-Assad menggunakan propaganda yang bertujuan untuk membuat warga sekte Alawi takut terhadap aksi yang akan dilakukan para pemberontak seperti Hayat Tahrir Al-Sham (HTS) memenangkan perang saudara. Hal ini pada akhirnya menyebabkan para prajurit sekte Alawimenganggap mereka bertempur untuk sebuah lesser of two evils.
Ketakutan dan propaganda tersebut pada akhirnya menyebabkan banyak sekte Alawimerasa ketakutan setelah HTS meruntuhkan rezim Bashar Al-Assad. Paranoia ini diperkuat dengan aksi-aksi intoleran yang dilakukan kelompok Tentara Pembebasan Suriah (FSA) yang bersekutu atau berada di bawah kendali HTS seperti Huras Ad-Din, Tentara Nasional Suriah (SNA/TFSA), dan Divisi Sultan Murad. Aksi tersebut menyebabkan warga sekte Alawi untuk bergabung dengan kelompok pemberontak pro-Assad karena mereka merasa suatu hari pemerintah Suriah akan membunuh atau melakukan diskriminasi aktif terhadap sekte Alawisebagai bentuk tanggung jawab terhadap asumsi bahwa seluruh sekte Alawi diuntungkan dalam masa rezim Assad.