China Dituduh Lakukan ‘Diplomasi Bermuka Dua’ Setelah Penyusupan ke Kepulauan Senkaku
China dituduh melakukan “diplomasi bermuka dua” setelah menjanjikan kerja sama yang lebih besar dengan Jepang dan Korea Selatan dalam sebuah pertemuan trilateral tingkat tinggi, namun di sisi lain kapal-kapal penjaga pantai China justru memasuki perairan yang dikuasai Jepang di dekat Kepulauan Senkaku yang disengketakan dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Insiden ini telah memicu kritik di Jepang, dengan anggota parlemen oposisi menyebut waktunya “sangat tidak tepat.”
Penyusupan yang Mencapai Rekor Tertinggi
Menurut Pasukan Penjaga Pantai Jepang, empat kapal penjaga pantai China memasuki perairan teritorial Jepang di dekat Kepulauan Senkaku yang menandai intrusi terpanjang sejak Jepang menasionalisasi kepulauan tersebut pada tahun 2012. Kapal-kapal tersebut berada di sana selama 92 jam dan 8 menit dan tindakan ini melampaui rekor sebelumnya yaitu 80 jam dan 36 menit pada tahun 2023. Kapal-kapal tersebut dilaporkan berusaha mendekati kapal nelayan Jepang di dekat Minamikojima sebelum dicegat.
Menteri Luar Negeri Jepang Takeshi Iwaya pada Selasa (25/03/2025) menyatakan keprihatinannya atas kehadiran kapal-kapal China yang “jelas-jelas meningkat”, dan menyatakan bahwa ia menyampaikan protes Jepang secara langsung kepada mitranya dari China, Wang Yi, dalam pertemuan mereka di Tokyo. “Pertemuan tersebut berlangsung dalam suasana damai dan bersahabat, namun sangat disesalkan bahwa hal seperti ini terjadi,” kata Iwaya. “Kami akan menangani masalah ini dengan cara yang tegas dan tenang.”
Optimisme Diplomatik Dirusak
Pertemuan trilateral tingkat tinggi pada hari Sabtu (22/03/2025) antara Jepang, China, dan Korea Selatan pada awalnya tampak positif. Iwaya menggambarkan diskusi tersebut sebagai “pertukaran pandangan yang jujur,” dan ketiga negara menegaskan komitmen mereka terhadap “kerja sama yang berorientasi pada masa depan.” Menteri Luar Negeri China Wang Yi menggemakan sentimen ini, menganjurkan peningkatan komunikasi dan kolaborasi untuk mengatasi tantangan bersama.
Namun, niat baik yang dihasilkan selama pembicaraan tersebut dengan cepat menghilang ketika kapal penjaga pantai China diduga memasuki perairan yang disengketakan pada hari berikutnya. Kepulauan Senkaku, yang dikenal sebagai Kepulauan Diaoyu di China, telah lama menjadi titik nyala dalam hubungan Jepang-China, dengan Beijing secara teratur menegaskan klaim teritorialnya melalui patroli maritim.
Para analis telah menggambarkan pendekatan China sebagai “memasang wajah manis” dalam lingkungan diplomatik sekaligus memperkuat klaim teritorialnya. “Siapa pun yang terkejut dengan hal ini sangat naif,” kata Ryo Hinata-Yamaguchi, seorang profesor di Institut Strategi Internasional Universitas Internasional Tokyo. “China mengatakan satu hal dalam pertemuan diplomatik tetapi bertindak berbeda di wilayah yang disengketakan.”
Reaksi Publik dan Politik
Penyusupan ini telah memicu kemarahan publik di Jepang, dengan para komentator online yang menyerukan tindakan yang lebih kuat terhadap China. Di situs web Yaeyama Daily News di Okinawa, seorang pembaca melabeli tindakan Beijing sebagai “diplomasi bermuka dua” dan memperingatkan bahwa Jepang “dibodohi.”
Toshimitsu Shigemura, seorang profesor politik dan hubungan internasional di Universitas Waseda, mencatat bahwa serbuan tersebut mengekspos ketidakpercayaan yang mendalam antara Jepang dan China. “Apa yang mereka katakan dan apa yang mereka lakukan selalu berbeda,” katanya. “Ini adalah contoh yang sempurna: ketika menteri luar negeri berbicara tentang kerja sama, penjaga pantai [China] memasuki perairan Jepang dan mengejar sebuah kapal nelayan.”
Meningkatnya Ketegangan Maritim
Kapal penjaga pantai China telah memasuki perairan Jepang dengan frekuensi yang semakin meningkat, dengan rekor 353 hari operasi di zona yang bersebelahan di sekitar Kepulauan Senkaku tahun lalu. Para analis berpendapat bahwa serbuan ini bertujuan untuk melemahkan kontrol administratif Jepang atas kepulauan tersebut. Shigemura memperingatkan bahwa Beijing kemungkinan akan meningkatkan tekanannya lebih lanjut, membuat Tokyo memiliki pilihan yang terbatas jika terjadi konfrontasi langsung.
“Tidak banyak yang bisa dilakukan Jepang dalam skenario terburuk,” katanya. “Tokyo tidak dapat menggunakan kekerasan, dan pengaruh utamanya adalah protes diplomatik. Jika kapal nelayan Jepang dihentikan atau disita secara paksa oleh penjaga pantai China, tanggapan Jepang kemungkinan akan terbatas pada dialog dan negosiasi-sesuatu yang mungkin dianggap sebagai kelemahan oleh Beijing.”
Dengan ketegangan yang kembali memanas, Jepang menghadapi dilema diplomatik yang menantang: bagaimana menyeimbangkan dialog dengan China sambil mempertahankan integritas teritorialnya. Dikarenakan Beijing terus menegaskan klaimnya, Tokyo mungkin akan dipaksa untuk mempertimbangkan kembali strateginya di Laut China Timur.