Pada tanggal 17 Januari 1948, Indonesia dan Belanda mencapai kesepakatan yang disebut dengan perjanjian Renville, yang dinamai berdasarkan kapal perang Amerika Serikat (AS) yang menjadi tempat perundingan berlangsung. Perjanjian yang mendapat intervensi dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) ini lahir di tengah konflik panjang pasca Proklamasi kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, di mana Belanda masih berupaya merebut kekuasaannya. Mediasi dalam perundingan ini juga melibatkan perwakilan dari Komisi Tiga Negara (KTN) yang dibentuk oleh DK-PBB di tahun 1947 dan terdiri dari Australia, Belgia, dan AS. Negara AS dipilih sebagai pihak netral, Belgia dipilih oleh Belanda, dan perwakilan Australia dipilih Indonesia.
Perjanjian Renville berkaitan dengan kesepakatan wilayah kedaulatan Indonesia, dan juga penetapan gencatan senjata di sepanjang Garis Status Quo atau “Garis Van Mook”, yakni batas buatan yang menandai batas terjauh posisi militer yang menjadi keuntungan sepihak untuk Belanda. Pada akhirnya, Belanda melanggar perjanjian Renville dikarenakan serangannya ke Ibu Kota Indonesia saat itu yakni Yogyakarta, yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II. Dalam pasca perang dunia kedua dan juga perang dingin antar blok Barat dan Timur, posisi strategis dan kondisi sosial politik di Indonesia menjadi penting bagi AS dan aktor internasional lainnya. Meskipun mendapat intevensi internasional, namun perjanjian ini gagal dan menghambat ‘kemerdekaan’ Indonesia. Meskipun terlihat sebagai upaya diplomasi yang netral, intervensi internasional dalam perjanjian Renville justru memperlambat proses kemerdekaan sejati Indonesia. Lalu, bagaimana peran dan kepentingan AS dalam perjanjian ini?
Kepentingan AS dan keterlibatannya dalam Perjanjian Renville
Pengaruh dan peran AS dalam perjanjian Renville berkaitan erat dengan posisinya di Komisi Tiga Negara yang memfasilitasi perubahan kebijakan AS di Indonesia. Posisi ini memberi AS pengaruh besar dalam proses negosiasi tanpa harus secara terbuka melakukan intervensi dan juga aliran informasi dan perspektif baik dari Belanda dan Indonesia. Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi, politik, dan militer yang kuat pasca Perang Dunia II, AS mendapat dua tantangan utama di kawasan Asia Tenggara: mencegah penyebaran komunisme dan menjaga kestabilan ekonomi dan politik di kawasan.
Berdasarkan kondisi yang terjadi masa itu, tindakan Agresi Militer Belanda I dan II membuat AS menilai bahwa Belanda tidak mampu dan tidak berniat untuk menyelesaikan konflik sehingga membuat kondisi kawasan semakin tidak stabil. Berkaitan dengan kondisi ini, konstruktivisme dari Alexander Wendt, menilai bahwa struktur internasional merupakan hasil dari distirbusi ide, dan negara turut berkontribusi dalam penyebaran dan pembentukan ide ini. Dalam konteks Perang Dingin, di mana konflik ideologi juga sedang berkembang yakni dari blok Timur dengan komunisme-nya, pemerintah AS berfokus pada pengekangan penyebaran ideologi komunisme (containtment) di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dukungan AS lebih dimotivasi oleh ketakutan terhadap komunisme, dibandingkan mendukung keadilan dan aspirasi perjuangan Indonesia untuk merdeka sepenuhnya.
Indonesia sendiri memiliki posisi geopolitik dan ekonomi yang strategis mengingat Indonesia merupakan jalur maritim dengan sumber daya alam yang melimpah, dan juga dekat dengan blok komunis di Asia. Kekhawatiran ini dikarenakan kedekatan Indonesia dengan negara blok Timur seperti China, yang dianggap sebagai wilayah rentan pengaruh komunisme, serta keberadaan faksi saya kiri dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai upaya untuk mencegah ‘domino effect’ komunisme, AS juga memberi tekanan kepada Belanda untuk menghindari kebijakan militeristik yang akan memperparah ketidakstabilan di regional. Meskipun begitu, AS tetap mempertahankan hubungan baik dengan Belanda yang memang menjadi salah satu sekutu utama mereka di Eropa Barat.
Peran AS dan dampak intervensinya untuk Indonesia
AS berupaya menyeimbangkan berbagai kepentingan di antara Indonesia dan Belanda. Meski mendesak Belanda untuk berkompromi dengan Indonesia, mengingat ketidakmampuan Belanda untuk menekan gerakan nasionalis, namun AS juga mendukung pembentukan negara federasi yang memungkinkan pengaruh Belanda yang berlanjut dan dominan di Indonesia. Posisi yang ambigu ini membatasi pencapaian ‘kemerdekaan penuh’ Indonesia dikarenakan tetap mengakomodasi kepentingan kolonialisme Belanda.
Meskipun tidak dimaksudkan untuk menghindari konflik, namun perjanjian Renville justru memperlambat proses kemerdekaan Indonesia. Melalui perjanjian ini, Belanda memiliki waktu untuk memperkuat posisi militer dan diplomatiknya dengan Indonesia, terutama dengan ditetapkannya Garis Van Mook sebagai wilayah gencatan senjata dan kontrol Belanda atas wilayah Indonesia. Meskipun AS disinyalir sebagai ‘pihak netral,’ namun bukti kegagalan perjanjian Renville menjadi simbol dari keterbatasan intervensi internasional dalam konteks dekolonialisasi dan realitas geopolitik yang bahkan hingga saat ini masih mengutamakan kepentingan negara besar, dibandingkan mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang.