Indonesia dan Australia dikabarkan telah menandatangani pakta pertahanan pada 20 Agustus 2024, yang dihadiri oleh Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese. Pakta ini diyakini bertujuan untuk mempererat hubungan pertahanan antara kedua negara dan menjaga stabilitas kawasan Indo-Pasifik mencakup latihan militer bersama, penugasan tentara, dan kerja sama maritim di Laut Cina Selatan. Analis pertahanan Khairul Fahmi juga menilai bahwa pakta ini penting untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas regional.
Adapun disamping keyakinan bahwa hubungan antara kedua negara tersebut untuk menjaga stabilitas kawasan Indo-Pasifik, kerjasama keduanya juga menimbulkan beberapa risiko, baik dari politik maupun segi militer. Negara-negara tetangga, terutama yang berada di kawasan Asia-Pasifik, mungkin melihat pakta ini sebagai ancaman atau bentuk aliansi militer yang dapat memicu ketegangan regional, dan dapat memengaruhi hubungan Indonesia dengan negara lain di kawasan, seperti Tiongkok, yang mungkin merasa tidak senang dengan peningkatan kerjasama militer antara Indonesia dan Australia.
Peningkatan kerjasama militer dapat memicu perlombaan senjata atau meningkatkan ketidakstabilan[1] di kawasan jika negara-negara lain merespons dengan memperkuat militer mereka, dan dapat menambah kompleksitas dalam penanganan isu-isu keamanan regional dan meningkatkan kemungkinan intervensi atau konflik, terutama jika melibatkan isu-isu sengketa wilayah, seperti isu Laut Cina Selatan.
Selain dapat memicu perlombaan senjata, situasi ini juga dapat disebut menimbulkan security dilemma[2] di mana tindakan yang diambil oleh satu negara untuk meningkatkan keamanannya dapat, secara tidak sengaja, menyebabkan ketidakamanan di negara lain, yang seringkali memicu respon yang menambah ketegangan dan potensi konflik, meskipun tujuan awalnya adalah untuk menciptakan keamanan, seperti halnya pakta pertahanan Indonesia dan Australia.
Risiko dalam Rivalitas di Kawasan
Ditengah rivalitas negara besar seperti China dan Amerika Serikat dikawasan, disertai juga dengan kehadiran AUKUS, Cina mungkin melihat peningkatan kerjasama militer Indonesia-Australia sebagai ancaman terhadap pengaruhnya. China mungkin akan meningkatkan kehadiran militer atau diplomasi mereka di Asia-Pasifik, yang pada gilirannya memicu reaksi dari negara-negara lain, dan begitu seterusnya. Negara-negara ASEAN lainnya juga mungkin merespons dengan meningkatkan kemampuan militer mereka atau memperkuat aliansi mereka untuk menjaga keseimbangan kekuatan yang dapat menyebabkan perlombaan senjata atau ketegangan yang tidak diinginkan. Keberadaan pakta pertahanan ini dapat menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan di kalangan negara-negara lain yang mungkin khawatir bahwa kerjasama ini akan mengubah dinamika kekuatan di kawasan atau bahkan mengarah pada strategi yang lebih agresif.
Bagaimana Langkah Indonesia?
Indonesia diharapkan dapat mengambil langkah strategis dalam hal memastikan kepentingan nasionalnya terjaga dan hubungan internasionalnya tetap stabil ditengah kerjasama pakta pertahanannya dengan Australia yang dapat berimplikasi pada situasi regional yang lebih luas. Indonesia harus memastikan bahwa ketentuan-ketentuan dalam pakta pertahanan dipatuhi dan diimplementasikan dengan baik, termasuk latihan militer bersama, penempatan personel militer, dan kerja sama maritim di Laut Cina Selatan. Untuk menghindari kejutan geopolitik yang tidak diinginkan, Indonesia juga perlu menjaga keseimbangan dalam kebijakan luar negerinya, terutama dalam konteks ketegangan yang ada di kawasan Indo-Pasifik serta memantau perkembangan di Laut Cina Selatan dan reaksi dari negara-negara lain seperti Cina terkait perjanjian ini.
Selanjutnya, menjaga saluran komunikasi terbuka dengan semua pihak terkait, termasuk negara-negara tetangga dan mitra internasional lainnya, juga penting untuk menghindari misinterpretasi. Diplomasi yang aktif akan menjadi alat yang ampuh untuk membantu Indonesia mengelola hubungan bilateral dengan Australia serta dengan negara-negara lain di kawasan. Disamping itu, Indonesia harus memanfaatkan kesempatan dari kerja sama dengan Australia untuk meningkatkan kapasitas pertahanan domestik, baik dalam hal teknologi militer, latihan, maupun interoperabilitas antara angkatan bersenjata. Penguatan ini akan meningkatkan kemampuan Indonesia untuk menghadapi tantangan keamanan di kawasan.
Menyiapkan strategi mitigasi risiko untuk menghadapi kemungkinan dampak negatif dari pakta pertahanan, seperti perubahan dinamika regional atau potensi konflik dengan negara lain yang mungkin merasa terancam oleh perjanjian tersebut, juga penting untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional. Indonesia perlu melakukan penilaian dan evaluasi berkala terhadap efektivitas dan dampak dari pakta pertahanan, serta melakukan penyesuaian jika diperlukan, yang berguna untuk memastikan bahwa perjanjian tersebut terus memenuhi tujuan strategis Indonesia dan tetap relevan dalam menghadapi perubahan geopolitik.
Berdasarkan pernyataan Prabowo Subianto sebagai menteri Pertahanan RI sekaligus Presiden terpilih RI, Indonesia akan tetap non-blok di bawah kepemimpinannya dan akan tetap berada di antara kelompok negara yang tidak ingin secara resmi bersekutu dengan atau melawan blok kekuatan besar seperti Amerika Serikat. Prabowo menyebutkan bahwa “Indonesia tidak memiliki persepsi ancaman yang sama seperti Australia terhadap Cina”. Dengan begitu, Indonesia dapat memanfaatkan pakta pertahanan dengan Australia untuk memperkuat posisinya di kawasan sambil tetap menjaga kestabilan dan keamanan nasional.
[1] Utami, Saskia Tasnim. “Keamanan Regional Asia Tenggara Pasca Perjanjian AUKUS .” JURNAL KETAHANAN NASIONAL, 2022: 199-221.
[2] Wivel, A. (2011). Security Dilemma. In B. Badie, D. Berg-Schlosser, & L. Morlino (Eds.), InternationalEncyclopedia of Political Science (Vol. 7, pp. 2389-91). Thousand Oaks, Californien: SAGE Publications. DOI:http://dx.doi.org/10.4135/9781412959636.n549