Korea Utara Kecam Kesepakatan AUKUS: Dinamika Kekuatan di Indo-Pasifik dalam Lensa Realisme
Korea Utara baru-baru ini mengecam kesepakatan kapal selam nuklir antara Amerika Serikatdan Australia di bawah kemitraan AUKUS, dan menyebutnya sebagai “ancaman bagiperdamaian regional”. Dalam sebuah komentar yang disiarkan oleh Kantor Berita Pusat Korea (KCNA), Washington diperingatkan untuk mempertimbangkan konsekuensi darialiansi nuklirnya, termasuk AUKUS serta kerja sama trilateral dengan Korea Selatan dan Jepang, yang bahkan disebut sebagai “versi Asia dari NATO“ oleh Korea Utara. Sebagaibagian dari perjanjian, AS akan menjual beberapa kapal selam bertenaga nuklir kelas Virginia kepada Australia pada awal 2030-an. Baru-baru ini, Australia telah melakukan pembayaranpertama sebesar $500 juta kepada AS di bawah kesepakatan tersebut. Kritik yang datang dariKorea Utara ini kemudian mencerminkan ketegangan yang meningkat di kawasan Indo-Pasifik, di mana aliansi militer semakin diperkuat dan negara-negara merasa perlu untukmenyesuaikan strategi keamanan mereka di tengah sistem internasional yang anarkis.
AUKUS dan Dinamika Kekuatan di Indo-Pasifik
Kesepakatan AUKUS tidak sekadar mengenai teknologi kapal selam, tetapi juga merupakanbagian dari strategi AS untuk mempertahankan dominasinya di Indo-Pasifik. Denganmemberikan akses kepada Australia terhadap kapal selam bertenaga nuklir kelas Virginia, Washington memperkuat sekutunya untuk mengimbangi pengaruh China yang semakinmeningkat. Langkah ini sejalan dengan upaya AS dalam mempertahankan tatanan keamananyang berbasis aliansi, mengingat meningkatnya aktivitas militer China di Laut China Selatan dan ancaman nuklir Korea Utara. Sementara itu, dari sudut pandang Korea Utara, AUKUS mencerminkan peningkatan ancaman langsung terhadap keamanan nasionalnya. Pyongyang melihat langkah ini sebagai bagian dari pola yang lebih luas, di mana AS, Inggris, dan Australia semakin menguatkan cengkeraman mereka di kawasan, didukung pula oleh kerjasama trilateral antara AS, Korea Selatan, dan Jepang. Ini menguatkan kekhawatiran bahwaaliansi ini dapat berkembang menjadi blok militer yang lebih besar yang berpotensimengisolasi dan melemahkan posisi Korea Utara.
Reaksi Korea Utara: Balance of Power dan Security Dilemma
Dalam responsnya terhadap AUKUS, Korea Utara kemungkinan akan memperkuatkapabilitas militernya, termasuk program nuklir dan misil balistik. Hal Ini dapat dilihatsebagai bentuk keseimbangan kekuatan (balance of power), di mana negara yang merasaterancam akan meningkatkan pertahanannya guna mencegah dominasi pihak lain. Namun, langkah-langkah ini juga menciptakan security dilemma, yaitu upaya satu pihak untukmeningkatkan keamanannya justru membuat pihak lain merasa semakin terancam. Dalam halini, AS dan sekutunya mengklaim bahwa AUKUS bertujuan untuk menjaga stabilitaskawasan, tetapi dari sudut pandang Korea Utara (dan bahkan China), langkah ini justrudianggap sebagai eskalasi yang memicu perlombaan senjata lebih lanjut. Akibatnya, Korea Utara akan terus melakukan uji coba senjata, meningkatkan kapasitas militernya, dan bahkanmungkin mengadopsi kebijakan yang lebih agresif untuk menunjukkan kekuatannya.
Implikasi terhadap Stabilitas Kawasan
Dinamika ini berisiko memperburuk ketegangan di Indo-Pasifik. Jika Korea Utara meresponsAUKUS dengan meningkatkan program senjata nuklirnya, AS dan sekutunya kemungkinanbesar akan mengambil tindakan balasan, baik dalam bentuk sanksi ekonomi maupunpeningkatan kehadiran militer di kawasan. Hal ini tidak hanya berimplikasi bagi keamananKorea Selatan dan Jepang, tetapi juga bagi stabilitas regional secara keseluruhan. Selain itu, aliansi AUKUS dapat mempercepat blokisasi geopolitik, di mana negara-negara semakinterbagi antara blok yang dipimpin AS versus blok yang cenderung menantang dominasi AS, seperti China dan Korea Utara. Hal ini dapat menyulitkan diplomasi dan meningkatkan risikokonfrontasi di kawasan.
Dengan demikian, kecaman Korea Utara terhadap AUKUS bukan sekadar retorika, tetapimencerminkan dinamika kekuatan yang terus berkembang di Indo-Pasifik. AS menggunakanaliansinya untuk mempertahankan dominasi, sementara Korea Utara dan China melihatnyasebagai ancaman yang perlu diseimbangkan. Dalam konteks ini, balance of power, self-help, dan security dilemma bukan hanya konsep teori hubungan internasional, tetapi juga realitasyang membentuk kebijakan luar negeri negara-negara di kawasan. Ke depan, ketegangan inikemungkinan akan terus meningkat, dan tanpa langkah diplomasi yang efektif, Indo-Pasifikdapat menjadi arena perlombaan senjata yang semakin intensif.