China Bantah Kirim Sistem Rudal ke Iran Usai Konflik dengan Israel
Pemerintah China menolak spekulasi bahwa mereka telah mengirim sistem rudal permukaan-ke-udara (SAM) ke Iran pasca serangan udara Israel bulan lalu. Penyangkalan ini muncul sebagai respons terhadap laporan Middle East Eye yang mengutip sumber intelijen Arab dan menyebutkan bahwa Iran memperolah sistem peratahanan udara buatan China setelah kedua negara mencapai gencatan senjata pada 24 Juni.
Tudingan kesepakatan minyak untuk senjata
Menurut laporan tersebut, Iran membayar sistem rudal menggunakan pengiriman minyak mentah, sebuah metode perdagangan yang dinilai sebagai cara Iran mengakali sanksi ekonomi Barat. Berdasarkan data US Energy Information Administration, China sendiri merupakan pembeli utama minyak Iran dengan sekitar 90 persen ekspor minyak Iran yang ditujukan ke pasar China.
Namun, China membantah keterlibatan dalam transfer senjata tersebut dengan menyatakan, “China tidak mengekspor senjata ke negara yang sedang berperang,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China. Namun hingga kini, tidak ada konfirmasi resmi dari Iran maupun Amerika Serikat (AS).
Latar belakang
Hubungan militer China-Iran bukanlah hal yang baru, di mana pada akhir 1980-an, saat Iran berperang melawan Irak, Teheran, pernah menerima rudal Silkworm dari China melalui Korea Utara. Namun, beberapa dekade kemudian, muncul laporan bahwa China memasok sistem rudal HQ-9 ke Iran, meskipun rincian dan jumlahnya tidak pernah secara resmi diumumkan.
Namun, jika benar terjadi, langkah ini berisiko menambah ketetangan geopolitik, mengingat Israel dan sekutunya, termasuk Amerika Serikat, tengah berupaya mengekang pengaruh Iran di kawasan Timur Tengah. Maka dari itu, sistem pertahanan yang canggih dari China dapat semakin memperkuat posisi militer Iran dalam menghadapi kemungkinan serangan lanjutan dari Israel.
Meski China bersikap netral secara diplomatis dalam konflik Israel-Iran, namun kepentingannya terhadap minyak Iran dan upaya memperkuat mitra strategis di Timur Tengah akan menjadi pendorong utama relasi tersebut.
Jika laporan tersebut benar, maka hal ini bisa menjadi contoh terbaru dari kepentingan geopolitik, di mana negara-negara memanfaatkan teknologi militer dan energi sebagai alat utama tawar strategis negara yang berkepentingan.