AS telah mengumumkan sanksi baru terhadap Iran, Washington akan menjatuhkan hukuman keuangan secara “reguler” dalam upaya untuk “sangat membatasi” ekspor minyak dan petrokimia Iran.
Langkah-langkah tersebut dibeberkan pada akhir September yang menargetkan beberapa perusahaan dan distributor yang berbasis di China, Uni Emirat Arab, Hong Kong, dan India yang dituduh Amerika Serikat terlibat dalam penjualan produk minyak dan petrokimia Iran. Presiden AS, Joe Biden juga secara eksplisit mengaitkan sanksi dengan kegagalan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 yang secara resmi dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
“Amerika Serikat berkomitmen untuk sangat membatasi penjualan minyak dan petrokimia ilegal Iran,” kata pejabat Departemen Keuangan AS, Brian Nelson. “Selama Iran menolak untuk kembali ke implementasi penuh Rencana Aksi Komprehensif Bersama, Amerika Serikat akan terus memberlakukan sanksinya terhadap penjualan produk minyak dan petrokimia Iran.” Tambah Nelson dilansir dari Al Jazeera.
Sanksi tersebut juga membekukan aset perusahaan Iran di AS dan membuatnya ilegal bagi warga Amerika untuk berbisnis dengan mereka. Sejak mantan Presiden AS Donald Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir pada 2018, berbagai sektor ekonomi Iran berada di bawah sanksi AS yang berat.
Pada hari Kamis, pemerintahan Biden mengatakan akan terus menegakkan sanksi dengan ketat sampai Iran kembali ke kesepakatan. “Seiring Iran terus mempercepat program nuklirnya yang melanggar JCPOA, kami akan terus mempercepat penegakan sanksi kami atas penjualan minyak dan petrokimia Iran di bawah otoritas yang akan dihapus berdasarkan JCPOA,” kata Departemen Keuangan AS dalam sebuah pernyataan.
“Tindakan penegakan ini akan berlanjut secara teratur, dengan tujuan untuk sangat membatasi ekspor minyak dan petrokimia Iran.” Sebagai cara “memaksa” Iran untuk kembali ke JCPOA. Setelah beberapa putaran pembicaraan nuklir tidak langsung, Washington dan Teheran saling menyalahkan atas kegagalan untuk memulihkan perjanjian karena keduanya memiliki tuntutan yang sama-sama tidak berhasil dikompromi.
Dalam pidatonya di Majelis Umum PBB pekan lalu, Biden mengatakan Washington siap untuk kembali ke kesepakatan, tetapi menekankan bahwa pemerintahannya tidak akan mengizinkan Teheran untuk memperoleh senjata nuklir.
Iran sendiri sedang menyelesaikan protes nasional yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini, seorang wanita berusia 22 tahun yang ditangkap di Teheran karena “pakaian yang tidak sesuai” awal bulan ini. Washington telah menyatakan dukungan untuk para demonstran tetapi mengatakan masih bersedia untuk memulihkan kesepakatan nuklir berdasarkan kepatuhan bersama.
Presiden AS Joe Biden mengatakan dia yakin akan bertemu dengan Xi Jinping pada KTT G20 mendatang di Indonesia jika para pemimpin AS dan China sama-sama hadir, dalam pertemuan tatap muka pertama mereka sejak Biden menjabat.
“Jika dia (Xi Jinping) ada di sana, saya yakin saya akan bertemu dengannya,” kata Biden kepada wartawan pada 6 September dalam pertemuan kabinet di Gedung Putih dilansir dari South China Morning Post. Komentar singkat itu muncul ketika ketegangan AS-China melonjak atas Taiwan, hak asasi manusia akibat laporan pelanggaran HAM di Xinjiang, perselisihan perdagangan, dan masalah lainnya.
Biden dan Xi terakhir berbicara melalui telepon pada 28 Juli sebelum Ketua DPR AS, Nancy Pelosi tandang ke Taiwan yang memicu ketegangan antara keduanya dan disusul oleh latihan militer China di dekat perairan Taiwan. Namun, kedua pemimpin mengatakan pada saat itu bahwa mereka berkomitmen untuk bertemu secara langsung. Beijing mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya sendiri dan tidak mengesampingkan penggunaan kekuatan untuk menguasainya.
Seorang pejabat senior pemerintah AS mengatakan setelah panggilan telepon mereka bahwa “percakapan tentang pertemuan tatap muka sedang dilakukan” antara Washington dan Beijing. Mereka “mendiskusikan nilai pertemuan tatap muka dan setuju agar tim mereka menindaklanjuti untuk menemukan waktu yang disepakati bersama untuk melakukannya”, kata pejabat itu. Di bawah kebijakan resmi AS, Washington tidak mengakui klaim kedaulatan Beijing atas Taiwan tetapi “mengakui” bahwa klaim itu ada.
Sebelum menjabat sebagai presiden AS, Biden dan Xi bertemu beberapa kali selama pemerintahan Barack Obama, pertama ketika Biden dan Xi keduanya adalah wakil presiden dan kemudian setelah Xi diangkat menjadi kepala negara. Biden sering membanggakan banyak jam yang dia habiskan bersama Xi selama tahun-tahun tersebut. “Saya telah menghabiskan lebih banyak waktu dengan dia daripada dengan kepala negara lainnya,” katanya dalam pidato yang menandai liburan Hari Buruh AS pada hari Senin.
Rencana perjalanan Xi ke KTT G20 belum dikonfirmasi, tetapi Presiden Indonesia, Joko Widodo mengatakan kepada Bloomberg bulan lalu bahwa Xi akan hadir. Pemimpin China itu tidak bepergian ke luar negeri sejak awal pandemi virus corona, setelah sebelumnya berencana mengunjungi Taiwan, tetapi Xi diperkirakan akan melakukan perjalanan ke Kazakhstan minggu depan.
Amerika Serikat mengumumkan bahwa militernya telah membunuh pemimpin al Qaeda, Ayman al-Zawahiri lewat serangan pesawat tak berawak, kata Presiden Joe Biden pada awal Agustus 2022 di Gedung Putih.
“Saya mengizinkan serangan presisi yang akan menyingkirkannya dari medan perang, sekali dan untuk selamanya,” kata Biden. Zawahiri lelaki berusia 71 tahun telah menjadi simbol internasional yang terlihat dari kelompok terorisme semenjak AS membunuh Osama bin Laden dan disebutkan menjadi salah satu dalang dari tragedi 9/11.
Menurut Washington, Zawahiri tengah berlindung di pusat kota Kabul untuk bertemu dengan keluarganya dan terbunuh dalam apa yang digambarkan seorang pejabat senior pemerintah sebagai “serangan udara yang dirancang secara tepat” menggunakan dua rudal Hellfire. Serangan drone tersebut dilakukan pada pukul 21.48 waktu setempat setelah rencana tersebut disahkan oleh Biden setelah berminggu-minggu diskusi dengan Kabinet dan penasihat utamanya.
Terkait serangan ini, pihak AS tidak memperingatkan para pejabat Taliban menjelang serangan hari Sabtu. Dalam serangkaian tweet, juru bicara Taliban Zabiullah Mujahid mengatakan, “Sebuah serangan udara dilakukan di sebuah rumah di daerah Sherpur kota Kabul pada 31 Juli.”
Ia menambahkan bahwa “Sifat insiden itu pada awalnya tidak terlihat” tetapi dinas keamanan dan intelijen Imarah Islam Afghanistan kemudian menyelidiki insiden tersebut dan menyatakan bahwa “temuan awal menentukan bahwa serangan itu dilakukan oleh pesawat tak berawak Amerika.” Mujahid mengatakan Imarah Islam Afghanistan “mengutuk keras serangan ini dengan dalih apa pun dan menyebutnya sebagai pelanggaran yang jelas terhadap prinsip-prinsip internasional dan Perjanjian Doha.”
Presiden AS mengatakan serangan tepat sasaran adalah hasil dari “kegigihan dan keterampilan yang luar biasa” dari komunitas intelijen bangsa. Kemudian, Biden berjanji bahwa Zawahiri “tidak akan pernah lagi membiarkan Afghanistan menjadi tempat perlindungan teroris, karena dia telah pergi dan kami akan memastikan tidak ada hal lain yang terjadi.” Biden mengakhiri pidatonya dengan mengungkapkan rasa terima kasih kepada komunitas intelijen dan kontraterorisme AS, dengan mengatakan bahwa ia berharap kematian Zawahiri akan membawa sedikit ketenangan bagi teman dan keluarga dari korban 9/11.
Presiden Joe Biden dan Presiden China, Xi Jinping mengadakan diskusi panjang selama lebih dari dua jam untuk membahas Taiwan pada 28 Juli 2022 di samping ketegangan antara kedua negara meningkat. Percakapan ini merupakan percakapan kelima sejak tahun lalu. Sebelumnya, kedua pemimpin itu telah berusaha mengatur pertemuan secara langsung, tetapi masalah Taiwan terbukti sangat penting dan dapat memicu ketegangan lebih lanjut bagi keduanya.
Masalah Taiwan kembali mencuat sebagai titik konflik karena para pejabat AS khawatir akan tindakan China yang lebih dekat di pulau yang memiliki pemerintahan sendiri itu sebagai dampak kunjungan potensial oleh Ketua DPR AS Nancy Pelosi, memicu peringatan dari Beijing
Namun, Biden menyatakan dukungannya kepada Taiwan, bahkan setelah Xi Jinping mengatakan untuk berhati-hati dalam tindakan AS, terutama masalah Taiwan. “Di Taiwan, Presiden Biden menggarisbawahi bahwa kebijakan Amerika Serikat tidak berubah dan bahwa Amerika Serikat sangat menentang upaya sepihak untuk mengubah status quo atau merusak perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan,” menurut pernyataan Gedung Putih, dilansir dari CNN.
Seorang pejabat senior pemerintah AS menyebut diskusi Taiwan berlangung secara “langsung dan jujur” tetapi meremehkan peringatan Xi, menunjukkan bahwa itu adalah standar bagi pemimpin China untuk memperingatkan tentang risiko “bermain dengan api.”
Tetapi harapan Washington untuk secara substansial meningkatkan hubungan dengan Beijing rendah. “Ini adalah jenis pemeliharaan hubungan yang sangat diyakini dilakukan oleh Presiden Biden, bahkan dengan negara-negara di mana Anda mungkin memiliki perbedaan yang signifikan,” koordinator komunikasi untuk Dewan Keamanan Nasional AS, John Kirby mengatakan minggu ini.
Terkait kunjungan Pelosi, sebenarnya jadwal panggilan virtual antara Washington dan Beijing telah direncanakan lebih awal, dan terkait pertemuan virtual itu, tidak ada pihak yang mengungkapkan apakah rencana Pelosi dibahas secara khusus. Rencana perjalanan Pelosi sendiri dibalas dengan komentar “mengancam” dari Tan Kefei, Juru Bicara Kementerian Pertahanan China. “Jika AS bersikeras mengambil jalannya sendiri, militer China tidak akan pernah tinggal diam, dan pasti akan mengambil tindakan keras untuk menggagalkan campur tangan kekuatan eksternal dan skema separatis untuk ‘kemerdekaan Taiwan’, dan dengan tegas membela kedaulatan nasional dan integritas teritorial. ,” kata Tan Kefei.
In early July, Israel’s Prime Minister, Yair Lapid and the Palestinian Authority President Mahmoud Abbas held a phone conversation, believed to be the first such contact between Israeli and Palestinian leaders for five years.
The two men discussed the continuation of cooperation and the need to ensure quiet and calm, according to Lapid’s office short statement. These two appear to have a relatively good relationship. As Lapid became Prime Minister, Abbas congratulated him while Lapid passed his best wishes to the Palestinian leader ahead of Eid al-Adha in this early month.
On approaching Palestine, Israel recently changed their approach, Defense Minister Benny Gantz visited Abbas at his Ramallah office last week. During the meeting, the Palestinian leader “stressed the importance of creating a political horizon [and] commitment to the signed agreements,” Wafa reported according to CNN.
In another event, A statement from Gantz’s office said the meeting had discussed “security and civilian coordination ahead of the visit of US President Biden to Israel“. The US President, Joe Biden just recently visited West Bank to meet with Abbas, making this travel plan his first visit since 2017. The White House hopes the meeting will help draw a line under the significant breakdown in US-Palestinian relations seen under the Trump administration. Biden’s voyage to Palestine planned to announce $100 million in aid to Palestinian hospitals in East Jerusalem during his visit to the Middle East, five Israeli officials tell Axios.
According to France 24, Palestinians had hoped the US president would finally make good on a promise to re-open a consulate for Palestinians in Jerusalem. Reopening the mission could serve as a “shot in the arm” for the peace process, said another Palestinian official speaking anonymously. But the US leader offered no substantive plan to redress Israel’s occupation, even side-stepping Jewish settlement expansion in the West Bank, an issue highlighted by former president Barack Obama’s administration, in which Biden served as vice president.
“Kami dalam diskusi yang sangat aktif dengan mitra Eropa tentang pelarangan impor minyak Rusia ke negara kami, sementara menjaga pasokan minyak global agar tetap stabil.” menurut Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, dilansir dari Al Jazeera.
“Tindakan yang kami ambil hingga saat ini telah berdampak buruk pada ekonomi Rusia.” tambah Blinken. Rusia mengekspor sekitar 7 juta barel per hari minyak dan produk olahan atau 7% dari pasokan global. Pihak AS sendiri memperkirakan jika sebagian besar ekspor minyak Rusia terputus, mungkin ada kekurangan minyak sebanyak 5 juta barel atau lebih. Itu berarti harga minyak bisa berlipat ganda dari $100 menjadi $200 per barel.
Sampai saat ini, harga gas Eropa dan Inggris melonjak ke rekor tertinggi pekan lalu yang disusul dengan harga minyak yang ikut meroket. Minyak Brent berjangka pekan lalu menyentuh angka $ 118,11 per barel, level tertinggi sejak 2008.
Sanksi Baru Untuk Rusia
Akhir pekan lalu Gedung Putih mengatakan sedang mencari cara untuk mengurangi konsumsi minyak Rusia sambil melindungi keluarga Amerika dari kenaikan harga yang sudah menanjak semenjak serangan Rusia terhadap Ukraina. Namun, mitra AS di Eropa berusaha memotong impor minyak mentah sebagai sanksi terhadap Rusia. Walaupun begitu, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, belum secara pasti menganjurkan larangan penuh secara langsung terhadap minyak Rusia.
Dengan pertimbangan boikot dari negara-negara Barat, Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mendukung rencana negara-negara Barat dan menekankan bahwa menghentikan ekspor minyak Rusia sangat penting. “Minyak dan gas Rusia berbau darah Ukraina,” katanya.
Pihak internal AS sendiri baik senator Republik dan Demokrat secara tegas mendesak agar Joe Biden memboikot minyak Rusia. Karena AS sejauh ini merupakan konsumen bensin terbesar di dunia, berkat mobil besar, jarak mengemudi yang jauh, dan sedikit transportasi umum di banyak daerah. Menurut data dari Administrasi Informasi Energi, AS mengimpor rata-rata lebih dari 20,4 juta barel minyak mentah dan produk olahan per bulan pada tahun 2021 dari Rusia. Pelarangan impor minyak Rusia diharapkan memiliki dampak yang besar bagi Rusia sebagai sanksi atas tindakannya.
AS mengimpor rata-rata lebih dari 20,4 juta barel minyak mentah dan produk olahan per bulan pada tahun 2021 dari Rusia, sekitar 8 persen dari impor bahan bakar cair AS, menurut Administrasi Informasi Energi.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, dijadwalkan untuk berdialog pada Kamis mendatang. Pejabat Gedung Putih menyatakan bahwa perbincangan melalui telepon akan dimulai pukul 15:30 waktu setempat. Perbincangan ini akan membahas berbagai topik, terutama peningkatan kapabilitas militer Rusia di perbatasan Ukraina. Perbincangan ini akan menjadi perbincangan langsung kedua negara di bulan Desember ini untuk membahas isu keamanan di Ukraina.
Presiden Putin menambah ribuan tentaranya dekat perbatasan dengan Ukraina dalam beberapa bulan ke belakang. Namun, Russia terus mengelak berencana menyerang Ukraina dan menilai pihaknya memiliki hak untuk memindahkan atau menambahkan tentara di wilayah kedaulatan Rusia sendiri.
Rusia menekankan keinginannya untuk adanya garansi secara resmi bahwa NATO tidak akan memperluas kekuatannya di wilayah Timur Eropa. Rusia juga menginginkan agar tidak akan adanya senjata bersifat ofensif yang didirikan atau dipasang di Ukraina atau wilayah perbatasan lainnya.
Pejabat resmi AS melaporkan bahwa meskipun terdapat isu Rusia akan menarik sekitar 10.000 pasukannya, namun tidak ada bukti kuat yang mendukung hal tersebut.
Presiden Putin yang menginisiasi perbincangan dengan AS. Di sisi lain, AS juga menerima karena percaya “saat berhadapan dengan Rusia, maka tidak ada pilihan lain selain dialog langsung antar pemimpin.”
“Ketika Presiden Biden setuju untuk berbicara dengan Presiden Putin, Presiden Putin menjawab, Iya, mari bicara. Lalu ketika Presiden Putin menyatakan Ia tertarik untuk melakukan panggilan telepon, Presiden Biden menyatakan Iya,” kata seorang pejabat AS.
Presiden Biden juga kemungkinan besar akan berbincang dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy. AS dengan tegas mendukung kedaulatan dan kemerdekaan Ukraina. Sebuah pesawat militer mata-mata bernama JSTARS sudah beroperasi di wilayah udara Ukraina pada awal minggu ini.
AS terus bekerja sama dengan aliansinya mengenai isu Ukraina
Pemerintahan Biden secara berkelanjutan melakukan diplomasi dengan aliansinya Eropa dan rekan lainnya. Termasuk di dalamnya berkonsultasi dan berkoodinasi mengenai pendekatan bersama dalam merespons kekuatan militer Rusia di perbatasan Ukraina.
Presiden Biden melakukan dialog dengan The North Atlantic Treaty Organization (NATO), the European Union (EU), and the Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE). Biden juga melakukan konsultasi secara bilateral dengan negara Eropa Timur serta the Bucharest Nine.
Bucharest Nine (B9) merujuk pada sembilan negara Eropa dari Timur Eropa yakni Republik Ceko, Estonia, Hungaria, Polandia, Romania, Bulgaria, Latvia, Lithuania, dan Slovakia.
Biden juga berencana untuk melakukan perbincangan bilateral antara AS-Rusia pada tanggal 10 Januari nanti. Biden menganggap penting kerja sama dengan aliansinya dan memprioritaskan diplomasi dengan semua pihak. Namun, AS juga tetap memiliki rencana untuk memberikan respons tegas seperti sanksi jika Rusia terus berencana menginvasi Ukraina.
Approval rating merupakan tingkatan atau persentase masyarakat (pemilih) yang menganggap politisi melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Di Amerika Serikat (AS), approval rating pertama kali dilakukan oleh George Gallup (sekitar tahun 1937) untuk mengukur seberapa besar dukungan publik pada pemimpin AS selama masa jabatan politisi tersebut berlangsung.
Pada jajak pendapat yang dilangsungkan oleh kantor berita NBC, mayoritas masyarakat tidak menyetujui performa presiden AS Joe Biden, di mana setengahnya memberikan nilai rendah dalam kemampuan politik AS. Dalam jajak pendapat tersebut, hanya sebanyak 42 persen masyarakat dewasa yang mendukung dan mengakui kemampuan Biden sebagai presiden. Persentase dukungan pada Biden ini turun 7 persen sejak bulan Agustus 2021 lalu. Selain itu, survei juga menunjukkan 7 dari 10 orang dewasa, termasuk hampir setengahnya adalah pendukung Demokrat, percaya bahwa AS berjalan ke ‘arah’ yang salah. Hampir 60 persen juga memandang pengelolaan ekonomi Biden sangat buruk dalam sembilan bulan kepresidenannya.
Survei NBC ini dilakukan pada masa-masa sulit karena sejak kepemimpinan Biden, AS mengalami peningkatan kasus corona virus dan tingkat kematian yang tinggi, kerusuhan karena mundurnya militer AS dari Afghanistan, peningkatan inflasi dan pengangguran, dan lain-lain.
Dikutip dari Gallup, persentase dukungan Biden berada sekitar 54 persen hingga 57 persen pada Januari hingga Juni 2021, namun dukungan turun pada Juli dan Agustus sehingga hanya mencapai 50 dan 49 persen dukungan. Serupa dengan persentase dari NBC, isu yang memengaruhi yakni Covid-19 dan kematian beberapa tentara AS pada masa evakuasi masyarakat Afghanistan.
Dibandingkan dengan survei badan lain, baik dari YouGov, Ipsos, Harris Poll, RMG Research, dan beberapa badan lain, ketidaksetujuan masyarakat AS lebih tinggi dari dukungan atau kesetujuan dengan performa Joe Biden. Hanya survei dari Saint Leo University yang menunjukkan sedikit perbedaan yakni sekitar 52 persen masyarakat mendukung dan setuju dengan kemampuan kepemimpinan Biden.
Dilansir Reuters, Joe Biden berupaya untuk mempersatukan partai dalam rencana berkaitan dengan dana USD1 triliun untuk infrastruktur dan USD1,75 untuk iklim, rencana prasekolah, dan rencana sosial lainnya. Para pimpinan Kongres menolak rencana tersebut dan memilih untuk fokus mendukung perubahan Rancangan Undang-Undang Infrastruktur AS.
Dalam delapan minggu ke belakang, terdapat beberapa isu penting yang menjadi kekhawatiran masyarakat AS yakni mengenai kondisi ekonomi, kesehatan publik, imigrasi, pelayanan kesehatan, lingkungan, dan lain-lain.
Biden menyatakan Tidak Terlalu Memerdulikan Ratingnya yang Turun
Joe Biden yang diwawancari pada acara G20 Summit lalu menyatakan dia tidak naik kekuasaan untuk mencari persetujuan atau dukungan dari jajak pendapat, namun lebih fokus untuk meningkatkan progres diskusi iklim.
“Hasil polling sangat fluktuatif. Hasilnya akan tinggi di awal, menurun di tengah-tengah, dan meningkat kembali. Untuk saat ini mereka sedang berada di bawah. Lihat saja dengan polling negara lain, hal yang sama juga terjadi.” kata Biden.
Dibandingkan dengan pemimpin sebelumnya, tingkat kesetujuan Biden dibanding Barrak Obama dan Bill Clinton pada masa bencana tahun 2010, di mana tingkat kesetujuan Obama berada di 45 persen, sedangkan Clinton di 47,2 persen. Dibandingkan dengan Trump-pun, tingkat kesetujuan Biden hanya berbeda 0.9 persen dibandingkan Trump yang mendapat 24 persen.
Dilihat dengan masa kegentingan saat ini, bukan tidak mungkin tingkat kesetujuan kepemimpinan Biden akan terus menurun, mengingat keadaan ekonomi dan pandemi Covid-19 yang belum selesai. Terlebih, kekacauan di Afghanistan juga seakan hanya awal dari kekacauan lain yang lebih buruk. Cepatnya penurunan dukungan untuk Biden terjadi cukup cepat yakni hanya dalam dua bulan di pertengahan Agustus.
Meskipun tidak terlalu berpengaruh pada kestabilan pemerintahannya, namun polling ini tetap bisa menjadi gambaran dukungan publik pada kekuasaan pemerintahan Biden dan reputasi politiknya.
Pada pertengahan Oktober 2021, Amerika Serikat (AS) secara resmi telah bergabung kembali dengan Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan suatu badan di dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Informasi ini disampaikan oleh Antony Blinken, Sekretaris Negara AS bahwa kepemerintahan Biden berkeinginan AS untuk memperdalam keterlibatan Amerika dengan dunia yang akan dimulai pada tahun 2022. Sebelumnya AS keluar dari Dewan HAM pada tahun 2018 karena presiden menjabat pada saat itu—Donald Trump—berpikir bahwa Dewan HAM terlalu menyudutkan Israel.
Amerika Serikat memenangkan masa jabatan tiga tahun untuk salah satu dari 18 kursi terbuka di dewan HAM, setelah dilakukannya pemungutan suara oleh Majelis Umum PBB. Linda Thomas-Greenfield, duta besar AS untuk PBB mengatakan AS akan menggunakan kursinya untuk memperjuangkan HAM di banyak tempat termasuk Ethiopia, Cina, Suriah, Yaman, Myanmar dan Afghanistan, dan mengadvokasi toleransi beragama dan minoritas serta hak-hak lainnya.
Pada sebuah pernyataan, Presiden Biden menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri AS akan didasarkan pada nilai-nilai demokrasi dengan cara: membela kebebasan, memperjuangkan peluang, menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar, menghormati aturan hukum, dan memperlakukan semua orang dengan bermartabat. Tindakan ini juga merupakan komitmen pemerintahan Biden untuk membantu memimpin dunia menuju masa depan yang lebih damai dan sejahtera bagi semua orang. Selain kembali bergabung dengan Dewan HAM, AS juga mengatakan akan menggandeng mitra dan sekutunya lewat kerja sama mulitilateral lainnya untuk memperkuat dan mempercepat kemajuan masyarakat global.
Dalam pernyataan yang dirilis oleh White House, selain sebagai komitmen pemerintahannya, Biden juga menyinggung mengenai bagaimana Ia mengkhiri konflik 20 tahun di Afghanistan. Selain itu, Washington juga berusaha mencapai kedamaian dengan cara baru seperti disediakannya kekuatan bantuan pembangunan AS dan memperlihatkan bahwa sistem demokrasi merupakan cara terbaik untuk mewujudkan perdamaian bagi seluruh rakyat kita.
Sejak dewan HAM didirikan pada tahun 2006, AS sendiri telah beberapa kali keluar masuk dari organisasi tersebut. Pemerintahan Presiden AS ke 43, George W. Bush tidak mendukung partisipasi AS, sedangakan pada masa pemerintahan Barrack Obama, AS kembali bergabung dengan dewan HAM. Namun setelah dua periode dan digantikan oleh Trump, AS kembali keluar dari dewan HAM pada 2018. Duta Besar AS untuk PBB pada masa kepemerintahan Trump, Nikki Haley mengumumkan keputusan tersebut dan mengatakan kepada anggota Dewan HAM bahwa banyak anggota harus berhenti memilih Israel sebagai negara yang dikutuk oleh banyak negara seperti Venezuela, China dan Arab Saudi.
Masuknya AS kembali ke dewan HAM ini menuai kritik dan pujian, saat ini AS juga tengah mengalami banyak pelanggaran HAM. Menurut Jamil Dakwar, direktur program HAM American Civil Liberties Union, menggambarkan langkah bergabungnya kembali AS sebagai hal yang menggembirakan dengan beberapa catatan bahwa AS juga perlu mengatasi permasalahan HAMnya sendiri seperti “Dari mengakhiri penahanan massal hingga membongkar rasisme sistemik hingga melindungi hak-hak imigran, pemerintahan Biden harus mengambil tindakan berani untuk memajukan hak asasi manusia dan keadilan rasial di dalam dan luar negeri,”
Afghanistan selain berbagi sedikit perbatasan dengan China, merupakan negara yang tidak luput dari konflik yang sempat dikuasai secara militer oleh beberapa negara, intensitas konflik yang tinggi di Afghanistan semenjak akhir 1970-an, menyebabkan kerusakan dan kehancuran yang signifikan pada infrastruktur dan ekonominya.[1] Hingga pada tahun 2001 ketika peristiwa 9/11 terjadi dan Amerika Serikat (AS) menyerukan kampanye anti terorisme secara global, AS masuk ke Afghanistan dan menggelar operasi militernya untuk memburu teroris yang menjadi dalang peristiwa 9/11 dan mengejar Osama Bin Laden.
Kepergian AS khususnya para personil militer membuat Afghanistan, yang sejak tahun 2001 menjadi salah satu tempat para militer AS melakukan operasinya untuk memberantas teroris akhirnya selesai pada masa pemerintahan Joe Biden. Presiden AS ke-46 pada April lalu mengonfirmasi bahwa penarikan tentara AS dari pangkalan militer di Afghanistan sedang dalam proses yang direncanakan akan selesai pada 11 September 2021, bertepatan dengan 20 tahunnya tragedi 9/11. Pihak Pentagon juga dikabarkan telah mengirim pasukan tambahan dan peralatan militer untuk melindungi pasukan AS di wilayah tersebut selama penarikan.
AS membantu Afghanistan di sektor militer dengan setidaknya mengeluarkan biaya sebesar $815,7 miliar menurut laporan dari Departemen Pertahanan AS. Biaya sebesar ini mencakup pembiayaan bahan bakar senjata dan amunisi, tank, kendaraan lapis baja hingga kapal induk.[2] Asistensi AS di Afghanistan sangatlah berpengaruh, Di 34 provinsi, militer Afghanistan hanya memiliki sarana untuk berperang di 40 persen wilayah tanpa dukungan udara AS.[3] Hal ini tentu membuat negara yang saat ini dipimpin oleh Ashraf Ghani akan kewalahan di segi militer ketika AS secara penuh menarik pasukannya walaupun dalam pernyataan The White House, Joe Biden mengatakan akan terus menyediakan pelatihan, dan peralatan militer modern bagi Afghanistan. Dengan kekosongan ini, China, negara yang sedang gencar mengembangkan perekonomiannya dan bertetangga dengan Afghanistan ini diprediksi akan menggandeng Afghanistan demi kesuksesan kepentingan nasionalnya.
China, negara yang sedang gencar mengembangkan perekonomiannya tentu membutuhkan Afghanistan sebagai negara tetangganya untuk ikut menyukseskan kepentingan nasional China lewat BRI terlebih dengan tidak adanya AS sebagai negara yang menyokong Afghanistan. Terlepas dari negara-negara yang menduduki Afghanistan, hubungan Afghanistan dan China atau dikenal dengan hubungan Sino-Afghanistan cenderung baik di sela-sela Afghanistan didominasi oleh negara-negara lain. Terutama dengan lemahnya perekonomian Afghanistan, tentu negara ini memerlukan dana dan sumber daya yang dulu dipasok oleh AS. China sendiri dikabarkan beberapa kali ikut berusaha untuk menyelenggarakan dialog damai antara Pemerintah Afghanistan dan juga Kelompok Taliban, sebuah kelompok ekstrimis Islam yang menerapkan kekerasan dalam pemerintahannya yang seringkali melanggar hak asasi manusia dan diduga memberikan tempat perlindungan bagi tersangka utama dari peristiwa 9/11, Osama Bin Laden.
Tidak dapat dipungkiri, program BRI merupakan program besar yang bertujuan untuk membuat jalur perdagangan yang menghubungkan Asia dengan Afrika dan Eropa. Untuk itu, Afghanistan merupakan salah satu wilayah strategis walaupun hanya berbagi sedikit perbatasan dengan China, namun lewat Afghanistan, China dapat terhubung lewat jalur darat ke Uzbekistan, Turkmenistan, dan Iran yang kemudian dapat mehubungkan China ke wilayah timur tengah yang dapat China gunakan untuk membuat BRI efektif. Namun, kondisi Afghanistan yang jauh dari damai dan prinsip non-intervensi yang dipegang oleh China membuat negara pimpinan Xi Jinping sulit membuat kerja sama dengan negara dengan tingkat konflik yang tinggi, sehingga upaya China untuk Afghanistan adalah mendorong konflik antara Afghanistan dan Taliban berangsur berakhir. China berusaha menengahi dan berpartisipasi dalam proses perdamaian, dengan memanfaatkan asosiasi dan hubungan perdagangannya dengan Taliban untuk memulai negosiasi dengan pemerintah Afghanistan secara diplomatis.[4]
Selain itu, hubungan China-AS pada masa Pemerintahan Donald Trump juga kurang baik, sehingga menambah keruh suasana untuk tercapainya kerja sama China dengan Afghanistan. Untuk itu China belum secara spesifik menargetkan Afghanistan untuk ikut dalam program BRI-nya. Namun, setidaknya untuk sedikit mendekat dengan kerja sama yang lebih intens dengan Afghanistan, selain dialog damai, China menggunakan program China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) untuk melakukan hal ini that akan berdampak positif bagi negara di sekitarnya termasuk Afghanistan. Juru bicara kementerian luar negeri China Zhao Lijian mengkonfirmasi bulan lalu bahwa China memang melakukan diskusi dengan pihak ketiga, termasuk Afghanistan, mengenai perpanjangan CPEC.
Perang sipil di Afghanistan sering terjadi, menurut data dari Global Conflict Tracker, situasi saat ini juga semakin memburuk, tentu jika kondisi Afghanistan tidak kunjung membaik, China tidak akan dengan mudah menargetkan Afghanistan apalagi mengambil alih negara tersebut dari AS dan menjadikannya salah satu negara yang terlibat dalam program BRI. Selain dengan Taliban, terdapat sekelompok masyarakat yang berusaha membangun negara Islam yang saat ini sedang marak di negara tersebut. Tindakan teror yang dilakukan kelompok-kelompok ekstrimis tersebut juga menyebabkan banyak korban jiwa, menurut United Nations Assistance Mission In Afghanistan, semenjak tahun 2009 saja tercatat hampir 111.000 korban jiwa akibat konflik disana. Tentu tidak mudah bagi China dan prinsip non-intervensinya untuk membantu Afghanistan menyelesaikan konflik, apalagi untuk menargetkan negara dengan ibu kota Kabul tersebut sebagai salah satu jalur BRI.
Di sisi lain, Afghanistan yang saat ini kehilangan sosok penyokongnya tentu membutuhkan pasokan ekonomi dan militer. Pasalnya, belum 100 persen pasukan AS meninggalkan Afghanistan, Taliban mengklaim telah berhasil menguasai salah satu penyeberangan perbatasan utama dengan Pakistan.[5] Lewat program BRI, China sendiri menawarkan bantuan dana untuk pembangunan infrastruktur dan proyek dalam negeri, Pakistan sendiri mendapat bantuan senilai $19 miliar untuk pembangunan proyek di bawah kerja sama CPEC. Masuknya China ke Afghanistan sepertinya akan menjadi sebuah kerja sama yang saling menguntungkan, dengan bantuan dana, Afghanistan dapat mengembangkan militernya dan memperbaiki kondisi ekonomi. Dengan turunnya intensitas konflik, China juga dapat melangsungkan program BRInya.
[3] Stephanie Findlay, Christian Sheperd, dan James Kynge, “China wathes Afghanistan anxiously as the US withdraws”, Financial Times, 6 Juli 2021, https://www.ft.com/content/49d266c6-a6c2-4ab2-bf52-ed34d72b22c1