Semenjak Taliban menguasai hampir seluruh wilayah kedaulatan Afghanistan, pada Minggu, 15 Agustus 2021, akhirnya kelompok tersebut berhasil menguasai Ibu Kota Afghanistan, Kabul. Setelah berhasil masuk ke Gedung Pemerintahan Presiden, Taliban menguasai akses jalan termasuk akses ke Bandar Udara Internasional Hamid Karzai di Kabul. Siapa pun yang ingin masuk ke bandara tersebut harus melewati Pasukan Taliban yang terus mencoba mengendalikan kerumunan yang mencoba masuk. Ditutupnya penerbangan komersil akibat instabilitas politik pada Senin, 16 Agustus 2021 membuat banyak warga Afghanistan berebut untuk meninggalkan negaranya dan memperlihatkan dalam sebuah video banyak masyarakat yang berlarian dan memanjat pesawat militer Amerika Serikat (AS) yang yang akan lepas landas dari Bandara Hamid Karzai.
Dua minggu sebelum AS selesai menarik pasukannya dari Afghanistan setelah memerangi kelompok ekstrimisme selama 20 tahun, Kelompok Taliban sendiri telah menguasai banyak daerah di Afghanistan mulai dari wilayah-wilayah perbatasan seperti Kota Zaranj di Provinsi Nimruz pada 6 Agustus 2021. Zaranj sendiri berbatasan langsung dengan Iran dan Pakistan dimana Taliban juga memiliki markas di negara-negara tersebut. Hingga akhirnya mereka berhasil mengambil alih kekuasaan Ibu Kota Afghanistan pada Minggu 15 Agustus 2021. Mullah Abdul Ghani Baradar, Kepala Biro Politik Taliban, mengatakan dalam sebuah pernyataan video singkat pada hari Minggu bahwa pemerintahan Taliban akan dimulai dengan usaha untuk memenuhi harapan warga Afghanistan dan menyelesaikan masalah mereka.
Karena alasan keamanan, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dan beberapa pejabat tinggi negara kemudian dievakuasi keluar dari Afghanistan pada hari yang sama Taliban menguasai Kabul. Karena penutupan akses oleh Taliban ke perbatasan negara, Otoritas penerbangan Afghanistan juga kemudian memperingatkan maskapai penerbangan untuk menghindari wilayah udara Afghanistan sejak Senin malam dengan mengatakan bahwa wilayah udara telah “dilepaskan ke militer“. Pihak militer AS kemudian membantu evakuasi masyarakat karena mampu mengontrol bandar udara Hamid Karzai. Dengan tranportasi yang tersedia, sebuah foto menunjukkan sebuah pesawat kargo militer besar yang membawa sekitar 640 orang Afghanistan dari Kabul ke Qatar pada hari Minggu.
Selain masyarakat Afghanistan, banyak juga negara yang berusaha mengevakuasi warga negaranya dan juga mengurangi para staf dan diplomat yang menjadi perwakilan di Afghanistan, melansir dari Al-Jazeera, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan “Ada pengurangan staf di kedutaan Iran di Kabul … (namun) beberapa personel tetap berada di Kabul untuk memastikan “kegiatan yang diperlukan kedutaan” terus berlanjut. Selain itu, banyak negara juga berusaha membantu evakuasi warga negara Afghanistan, seperti Kanada yang akan membangun program imigrasi khusus untuk menyambut lebih dari 20.000 pengungsi Afghanistan lewat pernyataan dari Menteri Imigrasi Kanada, Marco Mendicino.
Pada Rabu (28/07) dikabarkan bahwa Menteri Luar Negeri China, Wang Yi bertemu dengan perwakilan kelompok Taliban di Tianjin, China. Dilansir Reuters, pertemuan yang diinisiasi oleh pihak China ini berharap bahwa Taliban dapat membantu melawan kelompok-kelompok East Turkestan Islamic Movement (ETIM). Selain itu, China juga menginginkan perdamaian Taliban dengan Pemerintah Afghanistan. Pertemuan ini selain dihadiri oleh Kepala Komisi Politik Taliban Afghanistan Mullah Abdul Ghani Baradar, dihadiri pula oleh para kepala dewan agama dan komite publisitas Taliban Afghanistan.
Lewat Wang Yi, China ingin Taliban terlibat dalam melawan ETIM yang menjadi ancaman langsung bagi keamanan China, dan perlawanan terhadap kelompok teroris internasional ETIM tersebut merupakan tanggung jawab bersama. Selain itu, Wang Yi mengatakan bahwa China sebagai tetangga Afghanistan sangat peduli terhadap perdamaian di Afghanistan. Dengan beranjaknya pasukan militer Amerika Serikat dan NATO dari negara yang dipimpin Ashraf Ghani, Wang Yi berharap Rakyat Afghanistan memiliki kesempatan penting untuk mencapai stabilitas dan pembangunan nasional. Pertemuan tersebut berjalan dengan lancar dan disambut baik oleh pihak dari Taliban Afghanistan, Baradar menyampaikan apresiasinya atas kesempatan berkunjung ke China. Dia mengatakan China merupakan teman terpercaya Afghanistan dan memuji peran adil dan positif China dalam proses perdamaian dan rekonsiliasi Afghanistan. Melansir dari situs Kementerian Luar Negeri China, dikatakan bahwa pihak Taliban Afghanistan setuju untuk usaha menuju dan mewujudkan perdamaian. Pada hari yang sama, Asisten Menteri Luar Negeri China Wu Jianghao mengadakan pembicaraan dengan Baradar dan delegasinya untuk bertukar pandangan mendalam tentang masalah-masalah yang menjadi perhatian bersama yang dapat membantu peningkatan toleransi dan memperluas konsensus diantara keduanya.
Di sisi lain, justru Presiden Afghanistan tidak setuju terhadap usaha China dalam menjembatani Pemerintahan Afghanistan dan Taliban. Semenjak personil militer AS berangsur meninggalkan Afghanistan, kelompok Taliban dinilai semakin agresif dalam tindakannya. “Dalam hal skala, ruang lingkup dan waktu, kami menghadapi invasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam 30 tahun terakhir,” tutur Ashraf Ghani, Presiden ke-14 Afghanistan dalam pidatonya, Rabu (28/07). Ia juga menambahkan bahwa kelompok Taliban saat ini tidak sama dengan Taliban di abad ke-20, Ghani melihat bahwa Taliban saat ini adalah manifestasi dari hubungan antara jaringan teroris dan organisasi kriminal transnasional.
Afghanistan selain berbagi sedikit perbatasan dengan China, merupakan negara yang tidak luput dari konflik yang sempat dikuasai secara militer oleh beberapa negara, intensitas konflik yang tinggi di Afghanistan semenjak akhir 1970-an, menyebabkan kerusakan dan kehancuran yang signifikan pada infrastruktur dan ekonominya.[1] Hingga pada tahun 2001 ketika peristiwa 9/11 terjadi dan Amerika Serikat (AS) menyerukan kampanye anti terorisme secara global, AS masuk ke Afghanistan dan menggelar operasi militernya untuk memburu teroris yang menjadi dalang peristiwa 9/11 dan mengejar Osama Bin Laden.
Kepergian AS khususnya para personil militer membuat Afghanistan, yang sejak tahun 2001 menjadi salah satu tempat para militer AS melakukan operasinya untuk memberantas teroris akhirnya selesai pada masa pemerintahan Joe Biden. Presiden AS ke-46 pada April lalu mengonfirmasi bahwa penarikan tentara AS dari pangkalan militer di Afghanistan sedang dalam proses yang direncanakan akan selesai pada 11 September 2021, bertepatan dengan 20 tahunnya tragedi 9/11. Pihak Pentagon juga dikabarkan telah mengirim pasukan tambahan dan peralatan militer untuk melindungi pasukan AS di wilayah tersebut selama penarikan.
AS membantu Afghanistan di sektor militer dengan setidaknya mengeluarkan biaya sebesar $815,7 miliar menurut laporan dari Departemen Pertahanan AS. Biaya sebesar ini mencakup pembiayaan bahan bakar senjata dan amunisi, tank, kendaraan lapis baja hingga kapal induk.[2] Asistensi AS di Afghanistan sangatlah berpengaruh, Di 34 provinsi, militer Afghanistan hanya memiliki sarana untuk berperang di 40 persen wilayah tanpa dukungan udara AS.[3] Hal ini tentu membuat negara yang saat ini dipimpin oleh Ashraf Ghani akan kewalahan di segi militer ketika AS secara penuh menarik pasukannya walaupun dalam pernyataan The White House, Joe Biden mengatakan akan terus menyediakan pelatihan, dan peralatan militer modern bagi Afghanistan. Dengan kekosongan ini, China, negara yang sedang gencar mengembangkan perekonomiannya dan bertetangga dengan Afghanistan ini diprediksi akan menggandeng Afghanistan demi kesuksesan kepentingan nasionalnya.
China, negara yang sedang gencar mengembangkan perekonomiannya tentu membutuhkan Afghanistan sebagai negara tetangganya untuk ikut menyukseskan kepentingan nasional China lewat BRI terlebih dengan tidak adanya AS sebagai negara yang menyokong Afghanistan. Terlepas dari negara-negara yang menduduki Afghanistan, hubungan Afghanistan dan China atau dikenal dengan hubungan Sino-Afghanistan cenderung baik di sela-sela Afghanistan didominasi oleh negara-negara lain. Terutama dengan lemahnya perekonomian Afghanistan, tentu negara ini memerlukan dana dan sumber daya yang dulu dipasok oleh AS. China sendiri dikabarkan beberapa kali ikut berusaha untuk menyelenggarakan dialog damai antara Pemerintah Afghanistan dan juga Kelompok Taliban, sebuah kelompok ekstrimis Islam yang menerapkan kekerasan dalam pemerintahannya yang seringkali melanggar hak asasi manusia dan diduga memberikan tempat perlindungan bagi tersangka utama dari peristiwa 9/11, Osama Bin Laden.
Tidak dapat dipungkiri, program BRI merupakan program besar yang bertujuan untuk membuat jalur perdagangan yang menghubungkan Asia dengan Afrika dan Eropa. Untuk itu, Afghanistan merupakan salah satu wilayah strategis walaupun hanya berbagi sedikit perbatasan dengan China, namun lewat Afghanistan, China dapat terhubung lewat jalur darat ke Uzbekistan, Turkmenistan, dan Iran yang kemudian dapat mehubungkan China ke wilayah timur tengah yang dapat China gunakan untuk membuat BRI efektif. Namun, kondisi Afghanistan yang jauh dari damai dan prinsip non-intervensi yang dipegang oleh China membuat negara pimpinan Xi Jinping sulit membuat kerja sama dengan negara dengan tingkat konflik yang tinggi, sehingga upaya China untuk Afghanistan adalah mendorong konflik antara Afghanistan dan Taliban berangsur berakhir. China berusaha menengahi dan berpartisipasi dalam proses perdamaian, dengan memanfaatkan asosiasi dan hubungan perdagangannya dengan Taliban untuk memulai negosiasi dengan pemerintah Afghanistan secara diplomatis.[4]
Selain itu, hubungan China-AS pada masa Pemerintahan Donald Trump juga kurang baik, sehingga menambah keruh suasana untuk tercapainya kerja sama China dengan Afghanistan. Untuk itu China belum secara spesifik menargetkan Afghanistan untuk ikut dalam program BRI-nya. Namun, setidaknya untuk sedikit mendekat dengan kerja sama yang lebih intens dengan Afghanistan, selain dialog damai, China menggunakan program China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) untuk melakukan hal ini that akan berdampak positif bagi negara di sekitarnya termasuk Afghanistan. Juru bicara kementerian luar negeri China Zhao Lijian mengkonfirmasi bulan lalu bahwa China memang melakukan diskusi dengan pihak ketiga, termasuk Afghanistan, mengenai perpanjangan CPEC.
Perang sipil di Afghanistan sering terjadi, menurut data dari Global Conflict Tracker, situasi saat ini juga semakin memburuk, tentu jika kondisi Afghanistan tidak kunjung membaik, China tidak akan dengan mudah menargetkan Afghanistan apalagi mengambil alih negara tersebut dari AS dan menjadikannya salah satu negara yang terlibat dalam program BRI. Selain dengan Taliban, terdapat sekelompok masyarakat yang berusaha membangun negara Islam yang saat ini sedang marak di negara tersebut. Tindakan teror yang dilakukan kelompok-kelompok ekstrimis tersebut juga menyebabkan banyak korban jiwa, menurut United Nations Assistance Mission In Afghanistan, semenjak tahun 2009 saja tercatat hampir 111.000 korban jiwa akibat konflik disana. Tentu tidak mudah bagi China dan prinsip non-intervensinya untuk membantu Afghanistan menyelesaikan konflik, apalagi untuk menargetkan negara dengan ibu kota Kabul tersebut sebagai salah satu jalur BRI.
Di sisi lain, Afghanistan yang saat ini kehilangan sosok penyokongnya tentu membutuhkan pasokan ekonomi dan militer. Pasalnya, belum 100 persen pasukan AS meninggalkan Afghanistan, Taliban mengklaim telah berhasil menguasai salah satu penyeberangan perbatasan utama dengan Pakistan.[5] Lewat program BRI, China sendiri menawarkan bantuan dana untuk pembangunan infrastruktur dan proyek dalam negeri, Pakistan sendiri mendapat bantuan senilai $19 miliar untuk pembangunan proyek di bawah kerja sama CPEC. Masuknya China ke Afghanistan sepertinya akan menjadi sebuah kerja sama yang saling menguntungkan, dengan bantuan dana, Afghanistan dapat mengembangkan militernya dan memperbaiki kondisi ekonomi. Dengan turunnya intensitas konflik, China juga dapat melangsungkan program BRInya.
[2] Associated Press, “Counting the Costs of America’s 20-Year War in Afghanistan”, US News, 30 April 2021,
[3] Stephanie Findlay, Christian Sheperd, dan James Kynge, “China wathes Afghanistan anxiously as the US withdraws”, Financial Times, 6 Juli 2021, https://www.ft.com/content/49d266c6-a6c2-4ab2-bf52-ed34d72b22c1