Banyak pihak yang memberikan Kelompok Taliban kesempatan kedua untuk memerintah Afghanistan, banyak pula pihak yang menentang dan ketakutan bahwa Kelompok Taliban tidak akan bisa berubah dan Afghanistan akan kembali seperti tahun 1996 dimana hukum ultrakonservatif ditegakan, dimana aktivitas wanita sangat-sangat terbatas. Pada pertengahan Agustus 2021, Afghanistan hampir dikuasai seluruhnya oleh Taliban, bahkan kelompok tersebut berhasil memasuki ibu kota negara dan juga istana kepresidenan di Kabul.
Ketidakstabilan politik dan keamanan yang ditimbulkan dari aksi itu membuat Taliban menggelar konferensi pers yang ditayangkan di saluran TV nasional Afghanistan. Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid mengatakan bahwa mereka berjanji akan melindungi hak-hak wanita yang setidaknya didapatkan wanita Afghanistan dan meyakinkan dunia bahwa mereka telah berubah dari kelompok yang memberlakukan aturan brutal di negara itu pada pemerintahan tahun 1996-2001.[1]
Menurut pihak Taliban, pada pemerintahan kali ini hak-hak perempuan akan dihormati dan dilindungi, tetapi dalam norma-norma hukum Islam. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Suhail Shaheen, Juru Bicara Biro Politik Taliban yang mengatakan bahwa wanita boleh mendapatkan pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak hingga tingkat universitas yang pernah disampaikan pada konferensi internasional di Moskow, Rusia dan dalam konferensi di Doha pada Rabu, 18 Agustus 2021.
Enamullah Samangani, seorang anggota Komisi Budaya Taliban, juga menjanjikan amnesti dan mendorong perempuan untuk bergabung dengan pemerintah. Ia juga mengatakan bahwa wanita merupakan korban utama dari 40 tahun krisis di Afghanistan.[2] Selain itu, Samangani juga mengatakan bahwa wanita yang sudah memiliki pekerjaan seperti dokter, guru, jurnalis, dan di sektor lainnya dapat bekerja, namun dengan kewajiban menggunakan hijab dengan berbagai tipe model yang “layak”.[3]
Di bawah pemerintahan Taliban, akses wanita terhadap berbagai hal sangat terbatas untuk berbagai hal dan terikat aturan ketat. Serangkaian aturan tersebut meliputi wajib mengenakan burqa, wajib didampingi pria jika keluar rumah, ditutupnya akses untuk bekerja dan bersekolah, dan mendapat hukuman yang umumnya berupa kekerasan jika melanggarnya.
Ketakutan para wanita akibat pemerintahan Taliban sebelumnya membuat warga Afghanistan menyembunyikan dan melindungi para kerabat wanitanya, hal ini karena generasi yang menyaksikan pemerintahan Taliban secara langsung mengingat bagaimana hukum Islam ultrakonservatif Taliban yang mencakup pembatasan ketat pada wanita serta hukum rajam dan amputasi publik yang menjadi hal umum sebelum akhirnya Taliban digulingkan oleh militer AS.
Sebagai pemerintah baru Afghanistan, Taliban dianggap banyak pihak sebagai musuh. Hal ini disebabkan persepsi banyak aktor, terutama aktor-aktor besar seperti Amerika Serikat (AS) yang sejak 20 tahun lalu membangun persepsi bahwa Taliban merupakan kelompok yang harus dilawan. Kampanye melawan teroris yang dilakukan AS tersebut akhirnya membangun persepsi banyak aktor internasional bahwa Taliban merupakan musuh bersama.
Selain faktor persepsi aktor internasional, faktor-faktor yang melandasi persepsi Taliban adalah musuh bersama adalah kombinasi sejarah pemerintahan dan tindakannya sejak tahun 1996, dan juga memiliki kemampuan yang sebanding dimana dalam kasus ini adalah kekuatan militer yang mampu menggulingkan Pemerintahan Afghanistan dalam waktu singkat, serta budaya yang sangat bertolak belakang.[4]
Berbagai informasi terkait perubahan cara Taliban memperlakukan wanita masih simpang siur. Di satu sisi, masyarakat Afghanistan justru merasa menjadi korban dari pemerintahan Taliban, seorang guru wanita di Kabul juga menggambarkan situasi di ibu kota Afghanistan itu drastis berubah sejak tentara Taliban datang dan berkuasa,[5] para ibu yang dipukuli anggota Taliban saat ingin melewati perbatasan untuk menyelamatkan anak-anaknya,[6] pembawa acara TV wanita Afghanistan yang dipecat, hingga ketidakpercayaan banyak pihak bahwa Taliban akan berubah seperti yang diungkapkan Priti Patel, Menteri Dalam Negeri Inggris.[7]
Di sisi lain, Taliban mengatakan bahwa mereka bekerja keras untuk memperlakukan wanita lebih baik dan merupakan korban isu bohong media masa tentang kekerasan yang mereka lakukan semenjak menduduki Afghanistan. Siaran yang ditayangkan saluran TV TOLO News justru menayangkan menugaskan seorang pembawa acara wanita untuk mewawancarai pejabat Taliban, saluran TV tersebut juga mengatakan bahwa program siaran mereka telah kembali “normal” beberapa waktu setelah Taliban mengambil alih pemerintahan.[8] Seorang pengusaha dan aktivis Afghanistan juga mengatakan dia telah melihat sedikit perubahan di Taliban, yang membuatnya memiliki “sedikit harapan”.[9]
Walaupun belum ada aksi secara nyata yang signifikan terkait janji Taliban, namun setidaknya pihak Taliban menyadari gaya kepemimpinan seperti apa yang ditentang masyarakat ketika mereka memimpin sebelumnya. Tentu perubahan Taliban dalam menghormati hak-hak wanita tidak hanya karena evaluasi dari kesalahan sebelumnya, tetapi didukung dengan dan juga pertimbangan lain. Dengan konferensi pers sendiri, Taliban memperlihatkan bagaimana mereka ingin merubah persepsi aktor internasional mengenai kelompok tersebut dan juga melawan skeptisme berbagai pihak terhadap kepemimpinan mereka, mendapatkan dukungan dari masyarakat. Beberapa hal tersebut sangat berpengaruh bagi dinamika politik dan legitimasi mereka sebagai pelaku pemerintahan yang baru.
Untuk bisa mendapatkan pengakuan sebagai pemerintahan, tentu Taliban perlu setidaknya mengadopsi nilai-nilai umum yang telah terkonstruksi, seperti melonggarkan akses wanita kepada hak-haknya, karena jika Taliban memerintah negaranya dengan konstruksi nilai yang berbeda dengan kebanyakan pihak seperti mengadopsi kembali hukum Islam ultrakonservatif, kesalahpahaman dan kegagalan dalam mendapatkan pengakuan sangat tinggi.[10] Maka tidak heran, dalam sebuah tayangan, mereka melibatkan wanita sebagai presenter, dan membahas hak-hak wanita dalam konferensi persnya.
Selain itu, mengapa Taliban melibatkan wanita dalam aktifitas sehari-hari juga adalah cara mereka menunjukan bagaimana mereka telah berubah, karena citra dan persepsi banyak pihak terhadap Taliban saat ini berakar dari bagaimana sejarah mereka selama memimpin dan juga menjadi organisasi yang menentang pemerintahan Afghanistan.[11] Menjadikan wanita dan hak-haknya sebagai objek yang ditawarkan memang bukanlah sesuatu yang lumrah. Namun melihat sejarah, perubahan pemikiran Taliban terhadap hak asasi wanita merupakan suatu kemajuan yang memperlihatkan setidaknya mereka bukan suatu kelompok yang menegakan hukum Islam ekstrim, dan memperhatikan politik negaranya.
Apakah tindakan ini hanya untuk tujuan politik atau berdasarkan evaluasi pemerintahan sebelumnya belum dapat ditunjukan secara pasti mengingat pihak Afghanistan juga masih berusaha merebut kembali negaranya, dan Taliban sedang mencoba membangun negara Islam baru dan mengubah persepsi banyak pihak bahwa mereka bukanlah musuh bersama.
[1] The Associated Press, “The Taliban Claim They’ll Respect Women’s Rights – With Their Reading Of Islamic Law”, NPR, 17 Agustus 2021, https://www.npr.org/2021/08/17/1028391403/afghanistan-women-taliban-government
[2] Ibid.
[3] NPR, “Read What The Taliban Told NPR About Their Plas For Afghanistan”, NPR, 18 Agustus 2021, https://www.npr.org/2021/08/18/1028780816/transcript-taliban-spokesman-suhail-shaheen-interview
[4] Cottam (1977), dalam Richard K. Herrmann, “Perceptions and Image Theory in International Relations”, Oxford Handbooks of Political Psychology (2 ed.), Desember 2013, DOI: 10.1093/oxfordhb/9780199760107.013.0011, hlm. 9
[5] CNN Indonesia, “Guru Perempuan di Afghanistan: Kami Seperti Mayat Berjalan”, CNN Indonesia, 19 Agustus 2021, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210819135031-113-682434/guru-perempuan-di-afghanistan-kami-seperti-mayat-berjalan
[6] CNN Indonesia, “Dipukuli Taliban, Ibu Lempar Bayi ke Tentara Asing di Bandara”, CNN Indonesia, 20 Agustus 2021, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210820092204-113-682808/dipukuli-taliban-ibu-lempar-bayi-ke-tentara-asing-di-bandara
[7] BBC News, “Priti Patel: ‘I don’t bellieve the Taliban on women’s rigths’”, BBC, 19 Agustus 2021, https://www.bbc.com/news/av/uk-politics-58258879
[8] Agence France-Presse, “’Our livese are under threat’: Taliban stop TV anchor from entering studio days after assuring Afghan women their rights”, Firstpost, 20 Agustus 2021, https://www.firstpost.com/world/our-lives-are-under-threat-taliban-stop-tv-anchor-from-entering-studio-days-after-assuring-afghan-women-their-rights-9899311.html
[9] BBC News, “It was very emotional on the plane out of Afghanistan”, BBC, 19 Agustus 2021, https://www.bbc.com/news/av/uk-58256816
[10] Herrmann, Op.Cit., hlm. 2
[11] Ibid., hlm. 6