Sudan-RSF Sepakat Perpanjang Gencatan Senjata Selama 5 Hari
Pihak yang bertikai di Sudan telah sepakat untuk memperpanjang gencatan senjata dalam pertempuran mereka untuk mengendalikan negara tersebut, setelah dua mediator internasional utama yakni Amerika Serikat dan Arab Saudi menunjukkan ketidakpuasan terhadap pelanggaran gencatan senjata sebelumnya.
Perpanjangan gencatan senjata selama lima hari antara militer Sudan dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) diumumkan dalam sebuah pernyataan bersama pada Senin malam oleh Arab Saudi dan Amerika Serikat.
“Perpanjangan ini akan memberikan waktu untuk bantuan kemanusiaan lebih lanjut, pemulihan layanan vital, dan diskusi perpanjangan jangka panjang yang potensial,” dalam pernyataan tersebut.
Sebelumnya, warga setempat melaporkan bahwa mereka bisa mendengar pertempuran jalanan di Khartoum utara serta tembakan artileri di bagian selatan ibu kota. Wilayah dengan jumlah penduduk lebih dari lima juta orang tersebut berubah menjadi zona perang yang mematikan dan menimbulkan kekhawatiran bahwa konflik akan semakin intens.
Sebelumnya, Sudan semakin mengalami kekacauan setelah pertempuran pecah pada pertengahan April antara militer yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan pemimpin RSF, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo. Pertempuran ini telah menewaskan setidaknya 866 warga sipil dan melukai ribuan lainnya, menurut Sudan Doctors’ Syndicate yang melacak korban sipil. Jumlah korban bisa jauh lebih tinggi, kata kelompok medis tersebut.
Konflik ini telah mengubah ibu kota dan daerah perkotaan lainnya menjadi medan pertempuran, memaksa hampir 1,4 juta orang melarikan diri dari rumah mereka ke daerah yang lebih aman di dalam Sudan atau menyeberang ke negara-negara tetangga.
Pertempuran ini telah menyebabkan kerusakan luas di daerah pemukiman di Khartoum dan kota-kota terdekatnya, Omdurman dan Khartoum Utara. Warga melaporkan penjarahan dan penghancuran rumah mereka. Banyak yang menggunakan media sosial untuk mengutuk pengambilan alih dan penjarahan rumah-rumah.
Kantor dan fasilitas vital dijarah
Kantor-kantor kelompok bantuan, fasilitas kesehatan, dan infrastruktur sipil lainnya juga diserang dan dirampok. Banyak rumah sakit yang tidak dapat diakses sejak pertempuran dimulai pada 15 April.
Sepekan yang lalu, kedua belah pihak berjanji untuk menghentikan serangan udara yang terus-menerus, tembakan artileri, dan pertempuran di jalanan agar dapat mendukung penyaluran bantuan yang sangat dibutuhkan masuk dan memperbolehkan warga sipil melarikan diri.
Namun, pada hari ketujuh gencatan senjata, tidak ada koridor atau jalur kemanusiaan yang aman, dan bantuan hanya sedikit yang masuk untuk mengisi kembali beberapa rumah sakit yang masih berfungsi di ibu kota.
Reporter Al Jazeera Hiba Morgan mengatakan kedua belah pihak saling menyalahkan atas pelanggaran tersebut. “Ada banyak serangan udara yang terjadi selama seminggu gencatan senjata,” kata Morgan.
“Terkait dengan perjanjian itu sendiri – membuka koridor kemanusiaan, mengosongkan rumah sakit agar orang dapat mengakses fasilitas medis, memperbaiki pembangkit listrik dan pembangkit air – semua itu belum tercapai dalam tujuh hari terakhir. Jadi tidak jelas apakah akan ada perpanjangan lain antara kedua belah pihak.”
Selama beberapa minggu terakhir, Amerika Serikat dan Arab Saudi telah menjadi mediator dalam pembicaraan antara militer dan RSF di kota pelabuhan Jeddah, Arab Saudi. Sampai saat ini, telah ada tujuh gencatan senjata yang diumumkan, yang terdapat berbagai pelanggaran sejauh ini.
Di provinsi Darfur Barat, desa-desa dan kamp pengungsi telah dihancurkan dan dibakar habis dalam beberapa minggu terakhir, dengan puluhan ribu orang, terutama perempuan dan anak-anak, melarikan diri dari rumah mereka ke Chad yang berbatasan dengan Sudan, kata Dr. Salah Tour, yang mengepalai Sudan Doctors’ Syndicate di provinsi tersebut.
Selain itu, negara-negara tetangga Sudan, yang banyak sudah terjerat dalam ketidakstabilan, khawatir terjadinya dampak regional dari konflik tersebut.
Meskipun gencatan senjata diperpanjang, ancaman tambahan tetap ada setelah PBB memperingatkan tentang “laporan yang semakin meningkat” mengenai amunisi yang belum meledak di ibu kota dan daerah padat penduduk lainnya.