Setelah enam bulan yang relatif tenang, pihak-pihak yang bertikai di Yaman pekan lalu gagal memperbarui kesepakatan gencatan senjata. Dengan satu pihak didukung oleh Iran dan yang lainnya oleh Arab Saudi, masih harus dilihat apakah AS akan mendukung sekutu Timur Tengahnya setelah pemotongan minyak besar-besaran pekan lalu – yang dipandang sebagai penghinaan dari kerajaan kaya minyak itu kepada pemerintahan Biden.
Houthi yang didukung Iran dan koalisi saingannya yang dipimpin Saudi telah menyetujui gencatan senjata nasional pada bulan April lalu. Namun akhir pekan lalu atas tuntutan yang berkaitan dengan upah sektor publik. Houthi memberlakukan “tuntutan maksimal dan mustahil yang tidak dapat dicapai oleh para pihak tentu saja dalam waktu yang tersedia,” kata Utusan Khusus AS untuk Yaman, Tim Lenderking dalam sebuah pernyataan.
Beberapa bulan gencatan senjata adalah angin segar bagi jutaan warga Yaman. Periode damai memperlihatkan tingkat masyarakat yang kehilangan tempat tinggal turun 76%, dan jumlah warga sipil yang tewas atau terluka akibat pertempuran turun sebesar 54%, kata PBB pekan lalu.
Lenderking mengatakan bahwa beberapa aspek dari gencatan senjata awal masih dijunjung tinggi, seperti kekerasan yang relatif rendah, pengiriman bahan bakar yang terus berlanjut dan masih dapat diturunkan ke pelabuhan Hodeidah yang dikuasai Houthi serta melanjutkan penerbangan sipil-komersial dari bandara Sanaa. Tapi risikonya sangat tinggi.
Houthi telah memperingatkan investor untuk menjauhi Arab Saudi dan Uni Emirat Arab karena mereka “penuh dengan risiko,” sebuah pesan yang dilihat sebagai ancaman langsung bahwa kelompok yang didukung Iran siap untuk menyerang sekali lagi. “Dengan Houthi, selalu berisiko untuk tidak menganggap serius ancaman mereka,” Peter Salisbury, konsultan di International Crisis Group, mengatakan kepada CNN.
Houthi Yaman sebelumnya telah meluncurkan serangan ke negara-negara kaya minyak, terutama menargetkan ladang minyak dan bandara utama. Pada bulan Maret, Houthi mengklaim serangan terhadap fasilitas penyimpanan minyak Aramco di Jeddah. Dan pada bulan Januari, mereka mengatakan bahwa mereka berada di balik serangan drone terhadap truk bahan bakar di dekat bandara di Abu Dhabi.
Arab Saudi sebelumnya telah memperingatkan kepada sekutu keamanannya, AS atas serangan-serangan ini, seraya mengkritik pemerintahan Biden atas apa yang dianggapnya sebagai memudarnya kehadiran keamanan AS di Timur Tengah yang bergejolak.
Geopolitik kawasan Timur Tengah juga kini tengah dihadapkan pada sejumlah ancaman keamanan ditambah dengan pembicaraan restorasi perjanjian nuklir antara Iran dan AS. Sanksi berlanjut dari AS dikhawatirkan akan semakin memberdayakan dan mempersenjatai proksi regionalnya yang didominasi oleh Houthi.
Arab Saudi dan AS secara perjanjian tidak tertulis telah menukar minyak untuk keamanan. Tapi sekarang, ketika Arab Saudi menentang AS dengan pemotongan minyak OPEC terbaru, hubungan kedua negara berada di bawah tekanan yang meningkat. Bahkan sejumlah politisi Demokrat AS menuduh Arab Saudi berpihak pada Rusia, dengan mengatakan pemotongan minyak harus dilihat sebagai “tindakan bermusuhan” terhadap AS.
Sementara ada tekanan di dalam AS untuk bereaksi keras terhadap kebijakan energi Arab Saudi, belum terlihat bagaimana AS akan menanggapi perkembangan di Yaman, di mana beberapa orang mengatakan Washington akan bijaksana untuk menegakkan jaminan keamanannya.
Kondisi eksternal ini, merupakan salah satu aspek geopolitik yang dapat mempengaruhi hubungan antar negara. Masing-masing negara memiliki preferensi dan juga kepentingan nasionalnya masing-masing dalam menjalankan hubungan luar negeri. Di satu sisi, AS tidak memiliki kewajiban untuk mendukung Arab Saudi sepenuhnya, tetapi, melihat hubungan historis antara keduanya, Arab Saudi tentu berharap mendapatkan dukungan dari AS.