Indonesia secara resmi menjadi anggota penuh BRICS, forum ekonomi yang dipelopori oleh Rusia dan China pada Senin (6/1). Pengumuman ini disampaikan oleh pemerintah Brasil dalam rilis resmi, yang menegaskan bahwa seluruh anggota BRICS telah menyetujui konsesi bagi Indonesia untuk bergabung. Keanggotaan Indonesia di BRICS ini menandai langkah baru dalam kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, sekaligus memunculkan berbagai pertanyaan: apakah ini adalah langkah strategis yang cermat untuk memperkuat posisi Indonesia dalam percaturan global, atau menjadi tantangan terhadap kepentingan Amerika Serikat (AS) di tengah rivalitas global yang semakin tajam?
Langkah Strategis dalam Rivalitas Global
BRICS, berfungsi sebagai alternatif bagi institusi global yang didominasi oleh negara-negara Barat seperti IMF dan Bank Dunia. Dengan bergabungnya Indonesia, BRICS kini memiliki sepuluh anggota dan semakin memperkuat posisinya sebagai forum penting bagi negara-negara berkembang. Keanggotaan Indonesia dalam BRICS mencerminkan pergeseran dari pendekatan pemerintahan sebelumnya di bawah Presiden Joko Widodo, yang lebih fokus pada kerja sama dengan negara-negara Barat melalui organisasi seperti OECD. Prabowo menekankan bahwa keanggotaan ini adalah bagian dari upaya untuk memimpin Global South dan memperkuat kerja sama Selatan-Selatan. Meskipun langkah ini menawarkan peluang baru, para pengamat memperingatkan bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS dapat mempersulit hubungan dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. AS selama ini merupakan mitra penting Indonesia dalam perdagangan, keamanan, dan investasi. Ada kekhawatiran bahwa kebijakan proteksionis yang mungkin diterapkan oleh pemerintahan baru AS dapat berdampak negatif pada ekonomi Indonesia.
Hingga saat ini, belum ada respons resmi dari AS maupun sekutunya terkait status baru Indonesia sebagai anggota BRICS. Namun, Presiden terpilih AS, Donald Trump, telah memperingatkan kemungkinan pemberlakuan tarif pada anggota BRICS sebagai langkah untuk menekan upaya mereka mengurangi dominasi dolar AS.
Menurut Radityo Dharmaputra, pengamat hubungan internasional dari Universitas Airlangga, bergabungnya Indonesia ke BRICS dapat memicu kecurigaan dari AS dan sekutunya. Ia menilai bahwa posisi Indonesia dalam BRICS akan lebih terlihat sebagai bagian dari poros China-Rusia, bukan pemimpin Global South yang netral. Sementara itu, Sya’roni Rofii dari Universitas Indonesia menilai kecil kemungkinan embargo atau pembatasan kerja sama dari Barat terhadap Indonesia. Ia membandingkan posisi Indonesia dengan India dan Afrika Selatan, yang tetap mempertahankan hubungan baik dengan AS meski menjadi anggota BRICS.
Dari sisi ekonomi, keanggotaan BRICS membuka peluang besar bagi Indonesia untuk memperluas pasar ke Afrika dan Amerika Selatan, memperkuat hubungan dengan India dan Rusia, serta mendalamkan kerja sama dengan China—mitra dagang terbesar Indonesia. Namun demikian, langkah ini juga membawa risiko, terutama jika rivalitas AS-China semakin memanas. Dampak potensial meliputi arus keluar modal (capital outflow) dari pasar negara berkembang hingga ancaman terhadap industri manufaktur domestik akibat membanjirnya produk murah dari China. Selain itu, rumortentang mata uang khusus BRICS telah dibantah oleh Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Sergei Tolchenov, yang menegaskan bahwa transaksi ekonomi antaranggota masih menggunakan mata uang nasional atau dolar AS.
Tekanan terhadap Prinsip Non-Blok
Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS juga memunculkan kekhawatiran terkait prinsip politik luar negeri bebas aktif. Pengamat Radityo Dharmaputra memperingatkan bahwa langkah ini dapat menggeser posisi Indonesia dari non-blok menuju poros tertentu, terutama karena BRICS sering dianggap sebagai aliansi geopolitik yang dipimpin China dan Rusia. Namun, Kementerian Luar Negeri RI, melalui Menteri Sugiono, menegaskan bahwa keanggotaan ini tetap sejalan dengan politik bebas aktif. Tantangan utama ke depan adalah bagaimana Indonesia menjaga keseimbangan antara hubungan dengan BRICS dan negara-negara Barat.
Dilantiknya Presiden Prabowo Subianto telah menandai era baru kebijakan luar negeri Indonesia yang lebih aktif. Dalam waktu kurang dari sebulan setelah dilantik, Prabowo telah melakukan kunjungan diplomatik ke China, AS, Peru, Brasil, dan Inggris. Media internasional, seperti The Straits Times, bahkan menyebut Prabowo sebagai “presiden kebijakan luar negeri pertama” Indonesia. Namun demikian, Radityo menilai bahwa intensitas kunjungan diplomatik ini belum cukup untuk menunjukkan penguatan substansi diplomasi Indonesia. Evaluasi terhadap manfaat material maupun reputasi dari langkah-langkah ini masih diperlukan.
Dalam hal memaksimalkan manfaat dari keanggotaan BRICS tanpa mengorbankan hubungan dengan Barat, ada beberapa rekomendasi yang kemudian diberikan sebagai langkah mitigasi:
• Menginisiasi kerja sama Global South melalui forum seperti G77 atau Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement/NAM), tanpa melibatkan negara-negara besar seperti Rusia.
• Memperkuat kolaborasi dengan kekuatan menengah, seperti Turki, Australia, atau Uni Eropa, melalui forum seperti MIKTA: Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia, atau inisiatif lain yang menjembatani rivalitas AS-China.
Melalui langkah-langkah ini, Indonesia diharapkan dapat menjaga posisinya sebagai negara yang bebas aktif, sekaligus memanfaatkan keanggotaan BRICS untuk memperkuat pengaruh dan kerja sama globalnya. Dengan demikian, keanggotaan Indonesia di BRICS menjadi langkah berani dalam lanskap geopolitik yang semakin kompleks. Apakah ini akan menjadi langkah strategis yang sukses atau malah memunculkan tantangan baru, waktu lah yang akan membuktikan.