Prancis secara resmi melarang penjualan rokok elektrik sekali pakai, menjadikannya negara kedua di Eropa setelah Belgia yang mengambil langkah tersebut. Keputusan ini didasarkan pada kekhawatiran akan dampaknya terhadap kesehatan remaja serta lingkungan. Produk yang dikenal sebagai puffs ini dianggap sebagai pintu masuk bagi remaja untuk mengenal nikotin dan kecanduan tembakau. Selain itu, undang-undang yang mulai berlaku pada Selasa ini melarang penjualan dan distribusi perangkat rokok elektrik sekali pakai yang sudah diisi cairan dan tidak dapat diisi ulang. Langkah ini sejalan dengan rekomendasi Komisi Eropa dan didukung penuh oleh pemerintah, termasuk Menteri Kesehatan Prancis, yang menekankan pentingnya melindungi generasi muda dari bahaya kecanduan.
Rokok elektrik sekali pakai semakin populer di kalangan anak muda karena harganya murah, mudah digunakan, dan memiliki berbagai pilihan rasa yang menarik. Sebuah survei menunjukkan bahwa 15 persen remaja berusia 13 hingga 16 tahun telah mencoba produk ini, dan hampir separuh dari mereka mengenal nikotin untuk pertama kali melalui puffs. Selain faktor harga dan kemudahan penggunaan, promosi di media sosial juga menjadi faktor utama yang mendorong meningkatnya konsumsi di kalangan remaja. Para ahli kesehatan menyoroti bahwa konsumsi nikotin jangka panjang dapat berdampak buruk pada perkembangan otak remaja dan meningkatkan risiko ketergantungan terhadap zat lain. Oleh karena itu, berbagai organisasi kesehatan mendukung pelarangan ini, meskipun mereka mendorong pemerintah untuk melangkah lebih jauh dengan melarang produk nikotin lainnya.
Selain aspek kesehatan, dampak lingkungan dari produk ini juga menjadi perhatian utama. Rokok elektrik sekali pakai mengandung baterai lithium dan komponen plastik yang sulit didaur ulang, sehingga berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan. Belgia lebih dulu mengambil tindakan dengan melarang produk ini sejak awal tahun 2025, menyebutnya sebagai “bencana ekologis” akibat limbah elektronik yang dihasilkannya. Uni Eropa sendiri menargetkan terciptanya generasi bebas tembakau pada tahun 2040 dengan mengurangi jumlah perokok secara signifikan. Dengan adanya larangan ini, Prancis berharap dapat menjadi contoh bagi negara lain untuk menerapkan kebijakan serupa. Inggris pun telah mengumumkan langkah yang sama, dengan rencana pelarangan rokok elektrik sekali pakai yang akan mulai berlaku pertengahan tahun ini.
US Surgeon General Vivek Murthy,berpendapatbahwaminumanberalkoholseharusnya dipasangkan label peringatandikarenakanpengaruhnyadalammeningkatnyarisikokanker.
Iamengungkapkan pada awal Januari bahwakonsumsialkoholberhubungandenganpeningkatanrisikotujuhjeniskanker, termasukkankerpayudara, usus besar, dan hati. Meskipundemikian, banyakkonsumen di AS belumsepenuhnyamenyadaribahayaini. Murthy menyarankan agar produkminumanberalkoholdiberi label peringatan yang menjelaskanbahwaalkoholdapatmeningkatkanrisikokanker. Dalam pernyataannyakepada Reuters pada Jumat (3/1), Murthy menekankanpentingnyameningkatkankesadaranmasyarakattentangrisikokesehatan yang terkaitdenganalkohol.
Pendapatini juga didukung oleh WHO dan ahliepidemiologikanker, Elizabeth Platz yang mengungkapkanbahwatidakadatingkatkonsumsialkohol yang aman dan konsumsialkoholmenjadifaktorpenyebabketigaterbesar, yang diperkirakanberkontribusi pada sekitar 5% daritotal kasuskanker di negara-negara seperti AS
Namun ide ini juga mendapatkontradariasosiasiindustriseperti Distilled Spirits Council of the United States (DISCUS).Beberapapenelitianmenyebutkanbahwakonsumsialkoholdalamjumlahtertentubisabermanfaatuntukkesehatan, tapitetaptidakdisarankanuntukalasantersebut. Beberapailmuwan juga menuduhindustrialkoholmenyesatkanpubliksoalrisikokanker yang ditimbulkan.
Pemerintah Indonesia resmimeluncurkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada Senin (6/1). Program inimenjadi salah satuinisiatifunggulanpemerintahanPresidenPrabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dengancakupan 190 titik di 26 provinsi.
KepalaKomunikasiKepresidenan Republik Indonesia, Hasan Nasbi, menyampaikanbahwa program inimerupakantonggaksejarahdalampemenuhangizinasional. “Tidakmenunggu 100 haripemerintahan, tepat pada hari ke-78, program MBG resmidimulai. Iniadalahlangkahbesarbagibangsa Indonesia, pertamakalinya program pemenuhangiziberskalanasionaldilaksanakanuntukbalita, anak-anaksekolah, santri, ibuhamil, dan menyusui,” ujar Hasan dalamketerangannya, Minggu (5/1).
Sebanyak 190 SatuanPelayananPemenuhanGizi (SPPG) ataudapur MBGakanmenjaditulangpunggungpelaksanaan program ini. Hinggasaatini, dapur-dapurtersebuttersebar di 26 provinsi, meliputi Aceh, Bali, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Papua Selatan.
Dalamtahapawal, program inimenargetkanmenyentuhtigajutapenerimamanfaatpada periodeJanuarihingga Maret 2025. Sasaranpenerimameliputibalita, santri, siswa PAUD hingga SMA, sertaibuhamil dan menyusui. “Target iniakanterusbertambahsecarabertahaphinggamencapai 15 jutapenerima pada akhir 2025, dan 82,9 juta pada tahun 2029,” jelas Hasan.
Program MBG juga melibatkanpelakuusahamikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebagaimitradalamrantaipasok. Hinggasaatini, sebanyak 140 UMKM telahdilibatkan, denganjumlah yang terusbertambah. “Ribuan UMKM, koperasi, dan BUMDeslainnyatelahmendaftar dan tengahmelalui proses evaluasi,” kata Hasan.
Program inimerupakanbagiandari Program Hasil TerbaikCepat (PHTC) pemerintahanPrabowo-Gibran, denganalokasianggaransebesar Rp71 triliun. Pemerintahberharapprogram initidakhanyameningkatkankualitasgizimasyarakat, tetapi juga memberikandampakpositifbagipertumbuhanekonomilokalmelaluipemberdayaan UMKM.
Berdasarkan laporan terbaru dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia kini menempati posisi ketiga tertinggi dalam hal tingkat kelaparan di Asia Tenggara. Berdasarkan Indeks Kelaparan Global (GHI), Indonesia mendapatkan skor 16,9, yang menunjukkan “tingkat kelaparan sedang.” Indonesia berada di bawah Laos dengan skor 19,8, sementara Timor Leste berada di posisi pertama dengan skor 27. Meski menempati posisi ketiga tertinggi di Asia Tenggara, skor GHI Indonesia sejatinya telah menunjukkan tren perbaikan. Pada tahun 2000, bermula dengan skor yang mencapai 25,7, naik menjadi 28,2 pada tahun 2008, kemudian turun menjadi 18,3 pada tahun 2016.
Dalam menentukan skor, GHI menggunakan empat indikator yaitu persentase populasi yang tidak mendapat cukup kalori untuk memenuhi kebutuhan dasar, jumlah anak di bawah lima tahun yang mengalami pertumbuhan terhambat karena kekurangan gizi, jumlah anak di bawah lima tahun yang memiliki berat badan terlalu rendah tidak sebanding dengan tinggi badan mereka, menunjukkan malnutrisi akut, serta angka kematian anak di bawah lima tahun yang mencerminkan kondisi kesehatan umum dan akses terhadap layanan kesehatan.
Tingkat kelaparan tentunya akan berjalan beriringan dengan ketahanan pangan suatu negara. Dalam hal ini, Indonesia menghadapi berbagai tantangan, termasuk ketidakpastian global dan dampak konflik Rusia-Ukraina yang memengaruhi rantai pasok. Selain dari konflik, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), ancaman “neraka iklim,” yaitu suhu ekstrem akibat perubahan iklim juga akan mempengaruhi ketersediaan pangan global, yang diperkirakan akan meningkatkan kelaparan.
Prioritas Ketahanan Pangan Presiden RI
Dalam pidato Presiden perdana presiden RI ke-8 (20/10), Prabowo Subianto menyampaikan salah satu komitmennya dalam penekanan bahwa persatuan nasional dan ketahanan pangan akan menjadi prioritas dalam utama pemerintahannya. Prabowo menegaskan bahwa semua sumber daya alam Indonesia akan dikelola untuk kepentingan rakyat, dan menyoroti pentingnya memperhatikan masyarakat yang terpinggirkan, seperti petani dan nelayan, serta berjanji bahwa subsidi pemerintah akan disalurkan kepada mereka yang paling membutuhkan. Ia juga menekankan komitmennya untuk memastikan setiap keluarga Indonesia mendapatkan akses terhadap makanan bergizi setidaknya sekali sehari dan meyakini bahwa Indonesia akan mencapai swasembada pangan dalam 4 tahun hingga 5 tahun ke depan dan siap jadi lumbung pangan dunia.
Ketahanan Pangan dalam Konteks Keamanan Manusia
Ketahanan pangan (food security) merupakan salah satu dari isu krusial dalam pembangunan suatu negara, terutama dalam konteks keamanan manusia (human security). Keamanan manusia berfokus pada perlindungan individu dari berbagai ancaman, baik fisik, ekonomi, maupun sosial, dan mencakup hak dasar seperti akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi. Ketahanan pangan kemudian menjadi salah satu komponen utama keamanan manusia karena kelaparan dan kekurangan gizi dapat mempengaruhi stabilitas sosial, politik, dan ekonomi suatu negara.
Dalam konteks Indonesia, laporan terbaru dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Global Hunger Index (GHI) mengungkapkan tantangan ketahanan pangan yang masih di hadapi Indonesia. Meskipun terdapat perbaikan dari tahun ke tahun, Indonesia masih menghadapi tingkat kelaparan yang “sedang”.
Dalam konteks keamanan manusia, ketahanan pangan dapat berkaitan erat dengan hak dasar manusia untuk hidup layak. Akses yang tidak memadai terhadap pangan bergizi dan berkualitas akan menurunkan kualitas hidup, meningkatkan ketidaksetaraan, dan memperburuk kerawanan sosial. Keamanan manusia, mencakup perlindungan individu dari kelaparan, malnutrisi, dan ancaman terhadap kesehatan yang timbul akibat kekurangan pangan.
Tantangan Ketahanan Pangan Indonesia
Seperti yang dipaparkan sebelumnya, konflik yang sedang berlangsung di Rusia dan Ukraina serta ketidakstabilan di Timur Tengah memiliki dampak terhadap ketahanan pangan di Indonesia. Hal ini terjadi karena Rusia dan Ukraina adalah dua negara eksportir utama gandum, minyak nabati, dan beberapa komoditas pangan lainnya yang menjadi kebutuhan pokok bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Ketika rantai pasok terganggu, harga komoditas-komoditas ini naik, sehingga menyebabkan harga pangan di Indonesia melonjak. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi kemampuan masyarakat, terutama kelompok rentan, untuk mengakses pangan.
Indonesia yang dikenal dengan letak geografis di cincin api, menandakan wilayah yang rawan bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai, dan sangat rentan terhadap perubahan iklim juga menjadi tantangan serius. Perubahan cuaca yang tidak menentu dapat memengaruhi pola tanam dan produktivitas pangan, sehingga mengganggu stabilitas pasokan pangan domestik. Tidak hanya itu, ancaman kenaikan permukaan laut juga membahayakan wilayah-wilayah pesisir yang menjadi basis produksi pangan, terutama pertanian dan perikanan.
Ketahanan pangan juga terkait erat dengan stabilitas sosial dan ekonomi. Ekonom Ferry Latuhihin menekankan pentingnya memperkuat ketahanan pangan untuk mencegah gangguan pasokan dan menjaga stabilitas harga, yang dapat mempengaruhi inflasi, karena kenaikan harga pangan dapat meningkatkan kemiskinan dan kerawanan sosial. Kenaikan harga komoditas pokok seperti beras, jagung, dan daging memiliki dampak langsung terhadap daya beli masyarakat. Di sisi lain, stabilitas harga pangan sangat diperlukan untuk menjaga keamanan ekonomi, terutama bagi masyarakat kelas bawah yang menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan pangan.
Masalah malnutrisi, terutama di kalangan anak-anak, juga harus menjadi perhatian utama dalam ketahanan pangan, karena malnutrisi dapat berdampak jangka panjang pada perkembangan fisik dan mental anak-anak, yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di masa depan. Hal ini dapat menjadi tantangan besar bagi pemerintah Indonesia untuk memastikan akses yang lebih baik terhadap pangan bergizi bagi kelompok rentan.
Seluruh tantangan yang ada sejalan juga dengan pendapat Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Restuardy Daud, yang menekankan pentingnya memperkuat produksi pangan untuk memastikan kecukupan pangan di tengah gangguan rantai pasok global. Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi pun menyatakan bahwa pemerintah akan terus memperkuat cadangan pangan, termasuk beras, jagung, dan komoditas lainnya untuk menjaga stabilitas pangan di Indonesia.
Langkah Strategis Meningkatkan Ketahanan Pangan
Untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan di tengah berbagai tantangan global, langkah-langkah strategis sangat perlu diterapkan di tingkat nasional. Untuk memperkuat produksi pangan dalam negeri, dalam rangka mengurangi ketergantungan pada impor pangan dan memastikan ketersediaan pangan di tengah gangguan rantai pasok global, peningkatan produksi pangan lokal, seperti padi, jagung, dan komoditas lainnya, akan menjadi langkah dalam menghadapi ketidakpastian global. Pemerintah harus fokus pada penyediaan infrastruktur pertanian, pelatihan petani, dan akses terhadap teknologi untuk meningkatkan produktivitas pangan.
Setelah peningkatan produksi, pemerintah harus terus memperkuat cadangan pangan nasional, sebagai langkah antisipatif untuk menjaga stabilitas pangan. Penguatan cadangan ini tidak hanya penting untuk menghadapi situasi darurat, tetapi Kembali lagi, juga akan berguna untuk mengurangi ketergantungan pada pasar global yang sering kali tidak stabil. Selain itu, cadangan pangan yang kuat juga dapat digunakan untuk menstabilkan harga ketika terjadi kenaikan yang tidak wajar.
Kebijakan subsidi yang tepat sasaran juga akan membantu kelompok rentan untuk meningkatkan akses mereka terhadap pangan yang bergizi. Selain itu, dukungan kepada petani dan nelayan juga penting untuk meningkatkan produksi pangan nasional dan menjaga keberlanjutan sistem pangan Indonesia. Peneliti Next Policy Dwi Raihan beranggapan Prabowo cukup ambisius, dengan banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mewujudkan mimpi swasembada pangannya. Sementara menurut Eliza Mardian, peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Ia meyakini mimpi Prabowo dapat tercapai, asalkan ada kebijakan baru dari Prabowo, dengan menekankan kunci yang tidak hanya fokus pada peningkatan produksi, melainkan harus ikut memperhatikan kesejahteraan petani.
Mengingat dampak perubahan iklim yang juga dapat berpengaruh terhadap ketahanan pangan, langkah adaptasi juga harus menjadi prioritas bagi pemerintah Indonesia. Hal ini termasuk pengembangan teknologi pertanian, peningkatan infrastruktur irigasi, dan perlindungan terhadap wilayah pesisir yang rentan terhadap kenaikan permukaan air laut. Kebijakan pemerintah sebelumnya seperti bantuan-bantuan yang sifatnya personal, akan percuma jika tidak didukung dengan infrastruktur yang baik.
Pada akhirnya, ketahanan pangan menjadi krusial dalam konteks keamanan manusia, terutama di negara dengan populasi besar seperti Indonesia. Meskipun Indonesia telah menunjukkan perbaikan dalam Indeks Kelaparan Global, tantangan ketahanan pangan tetap ada. Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan strategi yang komprehensif. Di Tengah krisis global, semoga komitmen pemerintahan baru Indonesia dapat mewujudkan ketahanan pangan yang lebih baik dan memastikan keamanan manusia di seluruh lapisan Masyarakat. Rencana program seperti pemberian makanan gratis untuk anak-anak dan ibu hamil diharapkan dapat berlaku dengan efektif dalam membantu meningkatkan gizi masyarakat, dan mencakup lebih banyak kelompok rentan serta memastikan bahwa setiap warga negara dapat memperoleh makanan sehat dan bergizi setiap hari.
Baru-baru ini, media sosial diramaikan dengan pemberitaan terkait dugaan bullying terhadap seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (UNDIP), yang ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya di Semarang pada 23 Agustus 2024. Kematian yang pada awalnya diduga sebagai kasus bunuh diri, kemudian berkembang menjadi polemik setelah muncul dugaan bahwa korban mengalami tekanan psikologis yang berat akibat tindakan bullying dari rekan-rekannya serta lingkungan kerjanya di rumah sakit.
Sebelum mengakhiri hidupnya, korban sempat mengirimkan pesan suara kepada keluarganya, di mana ia mengungkapkan rasa sakit yang dialaminya akibat punggungnya yang cedera, hingga membuatnya tidak mampu bangun dari tempat tidur dan harus meminta bantuan Customer Service (CS) untuk membelikan air minum. Dugaan bahwa tekanan psikologis dan bullying menjadi penyebab kematian korban semakin menguat setelah keluarganya menyatakan bahwa ia mengalami tekanan berat selama menjalani pendidikan dan pekerjaan sebagai dokter spesialis.
Menanggapi kejadian ini, pihak Universitas Diponegoro dan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Kariadi, tempat korban menjalani praktik menyatakan akan melakukan investigasi menyeluruh dan berjanji menindak tegas jika ditemukan adanya pelanggaran terkait bullying dan perlakuan tidak manusiawi di lingkungan pendidikan maupun tempat kerja.
Tren Kasus Bullying
Meski belum ditetapkan bahwa kasus tersebut merupakan kasus bullying ataupun bunuh diri, nyatanya dalam beberapa tahun terakhir, tren kasus bullying di Indonesia telah menunjukkan peningkatan. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), pada tahun 2022, terdapat 226 kasus bullying, meningkat dari 53 kasus pada tahun 2021, dengan jenis bullying yang paling sering dialami korban adalah bullying fisik (55,5%), verbal (29,3%), dan psikologis (15,2%). Disamping itu, bullying tidak hanya terjadi bagi anak-anak di sekolah, dalam penelitian Judith Lynn Fisher-Blando dari University of Phoenix, juga menyebutkan bahwa hampir 75% karyawan menjadi korban bullying di tempat kerja.
Bullying dari Kacamata Nilai-nilai Kemanusiaan
Bullying tak hanya merusak individu yang menjadi korban, tetapi juga mencederai prinsip-prinsip dasar yang dipegang oleh bangsa Indonesia; sebagaimana Sila Kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” yang menekankan pentingnya perlakuan manusiawi dan adil terhadap setiap individu. Tindakan merendahkan, menghina, atau menyakiti korban bullying jelas bertentangan dengan nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.
Bullying menciptakan ketidakadilan dalam hubungan sosial, di mana pelaku menggunakan kekuatan atau kekuasaan mereka untuk menindas yang lebih lemah. Ini bukan hanya masalah personal, tetapi juga isu sosial yang mencerminkan hilangnya adab dalam interaksi manusia sehari-hari. Dalam konteks budaya Indonesia, yang sangat menghargai kesopanan dan hubungan sosial yang harmonis, bullying tidak hanya merusak individu tetapi juga tatanan sosial yang lebih luas.
Laporan dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan bahwa Indonesia saat ini berada dalam kondisi darurat perundungan. Ini diperburuk oleh belum adanya aturan penanganan yang ideal, meskipun pemerintah telah mengeluarkan Permendikbud 46/2023 yang mengatur tujuh bentuk kekerasan, termasuk perundungan, kekerasan psikis, dan intoleransi. Namun, para pengamat menilai, regulasi ini belum cukup untuk menangani dan mencegah kasus bullying (perundungan) secara efektif.
Dampakbullying juga dapat semakin buruk bila korban tidak memiliki ketahanan emosional atau Emotional Spiritual Quotient (ESQ) yang kuat. ESQ mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengelola emosi dan spiritualitas dalam menghadapi tekanan atau tantangan. Individu dengan ESQ yang rendah cenderung lebih rentan terhadap dampak negatif bullying, termasuk stres, depresi, dan kecemasan. Sebaliknya, mereka yang memiliki ESQ tinggi lebih mampu bertahan, menahan diri dari dampak emosional yang berat, dan mencari solusi yang konstruktif.
Dalam konteks ini, kesehatan mental menjadi kunci utama dalam menghadapi bullying. Tekanan psikologis yang berkepanjangan akibat bullying dapat memicu gangguan mental yang serius, seperti gangguan tidur, depresi, dan pada kasus-kasus ekstrem, hingga tindakan bunuh diri. Institusi pendidikan dan tempat kerja harus memainkan peran besar dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung, memiliki sistem yang jelas untuk melaporkan dan menindaklanjuti kasus-kasus bullying, hingga memberikan pendidikan yang memperkuat ESQ individu, sehingga mereka mampu menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik. Dengan memiliki ketahanan emosi yang tinggi, manusia dapat bertahan dari dampak emosional dan mencari solusi konstruktif. Sebaliknya, jika memiliki ketahanan emosi yang lemah, manusia akan rentan terhadap dampak negatif.
Disamping itu, penting untuk memiliki program pendidikan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya bullying dan cara mencegahnya. Dalam dunia kerja, perusahaan perlu menyediakan pelatihan anti-bullying, ESQ, membentuk tim penanganan keluhan, dan mengadakan sesi konseling bagi karyawan yang menjadi korban. Sementara itu, di institusi pendidikan, penting untuk mengintegrasikan serta memperkuat pendidikan karakter yang menekankan nilai-nilai Pancasila, seperti rasa kemanusiaan, keadilan, dan beradab, serta ESQ, ke dalam kurikulum.
Kasus ekstrem, seperti yang diduga terjadi pada seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Diponegoro, menunjukkan bahwa kerentanan ESQ dan tekanan psikologis dari bullying dapat berujung pada tindakan mencelakai diri sendiri. Kasus ini menjadi cerminan nyata perlunya perhatian serius terhadap kondisi mental individu, serta mengingatkan kita bahwa ESQ yang baik dapat menghasilkan nilai-nilai kepribadian yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Perhatian terhadap bullying harus diperkuat dengan memiliki sistem pencegahan yang memadai, seperti semboyan ‘lebih baik mencegah sebelum mengobati’. Upaya pencegahan harus menjadi prioritas; dan tanggung jawab ini tidak hanya berada di tangan institusi pemerintahan, tetapi juga melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Pada 27 Agustus 2024, menteri kesehatan Budi Karya Sumadi menyatakan bahwa Indonesia telah membeli 1,600 dosis vaksin monkeypox (Mpox) dari Denmark untuk mengantisipasi penyebaran virus Mpox dengan mendistribusikan vaksin tersebut kepada garda medis terdepan. Pembelian ini dilakukan karena 1,000 dosis vaksin Mpox yang dibeli Indonesia sebelumnya hampir habis dengan sisa sekitar 42 dosis. Menteri kesehatan juga menyatakan bahwa vaksin ini dibeli berdasarkan guidelineyang diberikan oleh World Health Organization (WHO) yang menyatakan bahwa vaksin Mpox, selain diberikan kepada garda medis terdepan, juga akan diberikan kepada kelompok beresiko tinggi seperti kelompok LGBTQ+ dan individu yang sudah melakukan kontak dengan pasien yang tertular Mpox dalam tenggang waktu dua minggu terakhir. Saat ini, sekitar 495 orang sudah menerima vaksin pertama sementara 430 sudah menerima vaksin kedua.
Sebelumnya, Indonesia juga berupaya untuk mengurangi atau menghentikan penyebaran Mpox sejak World Health Organization (WHO) menyatakan Mpox sebagai sebuah global health emergency of international concern pada 14 Agustus. Salah satu upaya yang dilakukan Indonesia adalah dengan meningkatkan pengawasan di area-area yang dapat menjadi tempat masuk orang asing seperti bandara dan pelabuhan. Selain itu, menteri kesehatan Budi juga menyatakan bahwa Indonesia akan mengaktifkan kembalielectronic surveillance card (ESC) yang mewajibkan warga negara asing yang datang ke Indonesia untuk memasukkan data seperti riwayat perjalanan mereka untuk memastikan apakah mereka sehat atau tertular. Mpox sendiri merupakan sebuah virus yang menyebar dengan kontak fisik seperti kontak kulit ke kulit, mulut ke kulit, dan mulut ke mulut. Selain itu, menurut pakar dari fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada Dr. Eggi Arguni, virus Mpox ini memiliki masa inkubasi yang cukup lama yaitu tiga minggu.
Saat ini, Indonesia mendeteksi sekitar 88 kasus Mpox dari 2022 hingga Agustus 2024. Walaupun demikian, menkes Budi menyatakan masyarakat tidak perlu khawatir karena penyebaran virus ini di Indonesia masih aman dan terkendali. Selain itu, menkes juga menyatakan bahwa seluruh pasien yang tertular dengan virus tersebut telah sepenuhnya sembuh.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia tengah memperkuat upaya pencegahan penyebaran virus Mpox atau cacar monyet dengan mempersiapkan pasokan vaksin dari berbagai negara. Upaya ini diambil sebagai respons atas penetapan status darurat kesehatan global oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait wabah Mpox di Afrika.
Plt Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Yudhi Pramono, mengungkapkan bahwa Indonesia telah menerima bantuan 2.850 dosis vaksin Mpox dari ASEAN. Selain itu, Kemenkes juga telah memesan 1.600 vial vaksin dari Denmark. “Kami sedang dalam proses untuk vaksinasi. Selain bantuan dari ASEAN, kami juga telah memesan vaksin dari Denmark,” jelas Yudhi dalam konferensi pers via Zoom pada Minggu (18/8).
Langkah ini menjadi bagian dari strategi Kemenkes dalam menangani penyebaran Mpox di Indonesia, terutama setelah WHO menetapkan wabah tersebut sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Selain persiapan vaksin, Kemenkes juga memperkuat pengawasan di seluruh fasilitas kesehatan (faskes) dengan meningkatkan surveilans dan penyelidikan epidemiologi.
“Kami melakukan penguatan surveilans untuk menemukan kasus di seluruh faskes, serta menyiapkan 12 laboratorium rujukan yang tersebar dari Sumatera hingga Papua,” tambah Yudhi.
Dalam penanganan pasien Mpox, Kemenkes juga memastikan ketersediaan stok obat-obatan, termasuk antivirus dan obat-obatan sesuai gejala pasien. Bagi pasien dengan gejala ringan, isolasi mandiri di rumah dengan pengawasan Puskesmas setempat akan diterapkan. Namun, untuk pasien dengan komorbiditas, perawatan di rumah sakit akan dipertimbangkan.
“Kami akan melakukan isolasi mandiri bagi pasien dengan gejala ringan, tetapi bagi yang memiliki komorbid, perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan,” ujar Yudhi.
Sejak 2022 hingga Agustus 2024, Kemenkes mencatat 88 kasus konfirmasi Mpox, dengan 87 pasien telah sembuh dan satu kasus masih dalam proses penyembuhan. Mayoritas kasus terjadi di Jakarta (59 kasus), diikuti oleh Jawa Barat (13 kasus), dan Banten (9 kasus). Kemenkes juga memperketat pengawasan di pintu masuk Indonesia untuk mencegah penyebaran virus, meskipun belum ada kewajiban vaksinasi Mpox bagi pelaku perjalanan.
“Kami akan memperkuat pengawasan di pintu masuk, termasuk mengawasi pelaku perjalanan dari negara terjangkit dan mengidentifikasi gejala, terutama demam sebagai gejala utama,” kata Yudhi.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut Indonesia beruntung masih memiliki stok vaksin cacar yang dapat memberikan imunitas cukup baik terhadap virus Mpox. “Kami sedang mengkaji apakah perlu memberikan vaksinasi tambahan kepada mereka yang belum divaksin,” ujar Budi di Istana Wapres pada Kamis (15/8).
Status darurat kesehatan global diumumkan WHO pada Rabu (14/8), setelah pertemuan dengan para ahli yang merekomendasikan langkah-langkah penanganan kepada Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Dunia menghadapi berbagai masalah yang saling berkaitan, mulai dari perubahan iklim dan penipisan sumber daya hingga kesenjangan ekonomi dan ketegangan geopolitik. Tantangan-tantangan ini menimbulkan hambatan besar dalam memastikan akses terhadap pangan yang aman, bergizi, dan cukup bagi semua orang. Sekitar 924 juta orang (11,7 persen dari populasi dunia) menghadapi kerawanan pangan akut – meningkat 207 juta orang sejak pandemi.[1] Meskipun telah ada kemajuan selama beberapa dekade, dunia masih bergulat dengan tiga tantangan, yaitu kekurangan gizi, kelebihan berat badan/obesitas, dan kekurangan gizi yang berkaitan dengan pola makan dan mikronutrien. Perjuangan melawan kelaparan dan kerawanan pangan akan membutuhkan upaya yang berkelanjutan dan terarah, terutama di Asia dan Afrika Sub-Sahara,[2] di mana populasi terbesar di dunia menderita kelaparan kronis. Mengurangi kekurangan gizi memiliki implikasi yang luas bagi kesehatan dan pengurangan kemiskinan.[3]
Enam target gizi global telah ditetapkan dengan fokus pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2.2: “Mengakhiri segala bentuk kekurangan gizi”. Target WHA telah diperpanjang hingga tahun 2030 untuk menyelaraskan dengan Agenda SDG 2030.[4] Mengingat meningkatnya prevalensi obesitas pada orang dewasa dan PTM (Penyakit Tidak Menular),[5] target WHA ditetapkan untuk menghentikan peningkatan obesitas pada orang dewasa dan dengan demikian mengurangi risiko Penyakit Tidak Menular (PTM) sebesar 25 persen pada tahun 2025.
Sekitar 735 juta orang atau 9,2 persen dari populasi global mengalami kekurangan gizi. Afrika memiliki tingkat kelaparan tertinggi-hampir 20 persen-dibandingkan dengan Asia (8,5 persen), Amerika Latin dan Karibia (6,5 persen), dan Oseania (7,0 persen). Hampir 600 juta orang diperkirakan akan menderita kekuranga n gizi kronis pada tahun 2030,[6] menggarisbawahi kesulitan yang sangat besar dalam mencapai tujuan SDG untuk mengakhiri kelaparan. Sekitar 23 juta orang lainnya telah terdampak akibat perang di Ukraina. Demikian pula, hampir 119 juta lainnya terkena dampak akibat epidemi dan konflik. Prevalensi kerawanan pangan sedang atau parah secara global tetap stabil selama dua tahun berturut-turut setelah peningkatan substansial dari tahun 2019 ke 2020,[7] namun, masih jauh lebih tinggi daripada tingkat sebelum pandemi sebesar 25,3 persen.
Berdasarkan Indeks Kelaparan Global (Global Hunger Index/GHI) 2023,[8] kelaparan di seluruh dunia berada pada tingkat sedang. Namun, Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan memiliki tingkat kelaparan yang serius pada GHI 27.[9][1] Eropa dan Asia Tengah memiliki skor GHI 2023 terendah, yaitu 6,1, yang termasuk dalam kategori rendah.
Menurut Joint Malnutrition Estimate 2023,[10] stunting telah mempengaruhi 148,1 juta (22,3%) dari semua anak di bawah usia lima tahun. Wasting terus mengalami stagnasi, dengan perkiraan 45 juta (6,8%) anak pada tahun 2022. Kejadian kelebihan berat badan/obesitas sedikit menurun sejak tahun 2020, dengan 37 juta (5,6%) anak terdampak pada tahun 2022 (Gambar 1).
Gambar 1: Prevalensi dan jumlah anak balita yang terkena dampak Stunting, Wasting, dan Kegemukan[11]
Angka stunting memang telah menurun selama 20 tahun terakhir. Namun, di beberapa wilayah tertentu, angka stunting pada balita masih tinggi, dengan Asia (76,6 juta) dan Afrika (63,1 juta) memiliki angka tertinggi. Angka stunting di Afrika Sub-Sahara telah meningkat, karena alasan kemiskinan dan ketidaksetaraan, kurangnya akses ke layanan kesehatan, dan meningkatnya kerawanan pangan.[12] Wilayah yang paling parah terkena dampaknya adalah Asia Selatan, dengan prevalensi 30,7 persen, jauh lebih tinggi daripada prevalensi global sebesar 22 persen, di mana tiga dari 10 anak mengalami stunting.[13] Prevalensi rata-rata kelebihan berat badan adalah yang terendah di subkawasan Asia, yaitu 2,5. Prevalensi wasting di subkawasan Asia Selatan adalah 14,1 persen, lebih besar dari rata-rata global 6,7 persen.[14] Secara keseluruhan, keragaman pola makan, pendidikan ibu, dan tingkat kemiskinan keluarga merupakan faktor utama yang menjelaskan variasi tingkat stunting pada anak di Asia Selatan.[15] Selain itu, di Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara, stunting merupakan hasil dari gizi anak dan ibu yang tidak memadai serta sanitasi yang buruk.[16]
Di seluruh dunia, 45 juta (6,8 persen) anak di bawah usia lima tahun mengalami gizi buruk,[17] jauh lebih tinggi daripada target SDGs dan target Gizi Global yang masing-masing sebesar 3 persen dan 5 persen. Asia Selatan menyumbang 56 persen (25,1 juta) balita yang mengalami wasting dan sekitar 27 persennya tinggal di Afrika. Dari 31,6 juta anak yang terdampak wasting di Asia, hampir 80 persen tinggal di Asia Selatan. Bukti[18] dari Asia Selatan menunjukkan faktor-faktor seperti indeks massa tubuh ibu yang rendah, tinggi badan ibu yang pendek, sebagian besar rumah tangga berada di kuintil kekayaan terendah, dan kurangnya pendidikan ibu terkait dengan wasting pada balita.[19] The Lancet telah memperkirakan peningkatan wasting pada anak sebesar 14,3 persen (6,7 juta),[20] dengan sekitar 58 persen anak di Asia Selatan dan sekitar 22 persen di Afrika Sub-Sahara sebagai dampak dari COVID-19.
Obesitas pada balita dan orang dewasa terus meningkat. Beban kelebihan berat badan pada balita dan orang dewasa terus meningkat. Secara global, sekitar 37 juta (5,6 persen) balita mengalami kelebihan berat badan. Hampir setengah dari jumlah tersebut tinggal di Asia (17,7 juta); sebagian besar lainnya di Afrika (10,2 juta). Tren menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada anak-anak yang mengalami kelebihan berat badan di Oseania, Australia, dan Selandia Baru pada dekade antara tahun 2012 dan 2022. Jumlahnya meningkat dari 9,3 juta menjadi 13,9 juta di Oseania, dan dari 12,4 juta menjadi 19,3 juta anak di Australia dan Selandia Baru dalam satu dekade terakhir. Mayoritas wilayah berada di luar jalur untuk mencapai target yang ditetapkan untuk mengurangi obesitas pada anak-anak.
Di antara target Gizi Global, hanya pemberian ASI eksklusif yang tampaknya berada di jalur yang tepat untuk mencapai setidaknya 50 persen pada tahun 2025 (Gambar 2).[21] Pada tahun 2021, 47,7 persen anak mendapatkan ASI eksklusif di seluruh dunia, dengan Asia Selatan, Afrika Timur, dan Asia Tenggara berada di atas rata-rata dunia, yaitu masing-masing 60,2, 59,1, dan 48,3 persen. Wilayah Amerika Utara, Oseania, dan Asia Barat berada di luar jalur dengan tidak adanya kemajuan atau tren yang memburuk untuk berat badan lahir rendah dan pemberian ASI eksklusif. Beberapa wilayah di Asia, Amerika Latin, dan Oseania menunjukkan tren yang memburuk untuk obesitas pada anak.[22]
Hampir 15 persen anak yang lahir di seluruh dunia memiliki berat badan lahir rendah (kurang dari 2.500 gram).[24] Kemajuan dalam mengurangi berat badan lahir rendah telah terhenti dalam beberapa dekade terakhir. Asia Selatan, Afrika Sub-Sahara, dan Amerika Latin adalah tiga wilayah utama dengan berat badan lahir rendah, masing-masing 24,4, 13,9, dan 9,6 persen. Upaya untuk menurunkan angka BBLR sebesar 30 persen pada tahun 2030 berjalan lambat. Kehamilan ganda,[25] infeksi, dan penyakit tidak menular[26] dapat menyebabkan BBLR dan hasil negatif seperti kematian neonatal, perkembangan kognitif yang buruk, dan risiko penyakit kardiovaskular di masa depan. Intervensi yang meningkatkan akses awal dan berkelanjutan terhadap perawatan prenatal dan layanan prenatal yang berkualitas,[27] konseling gizi, dan perawatan bayi baru lahir primer sangat penting untuk mencegah dan mengobati berat badan lahir rendah.
Obesitas pada orang dewasa terus meningkat di semua wilayah, meningkat tiga kali lipat selama empat dekade terakhir.[28] Lebih dari satu miliar orang di dunia mengalami obesitas – 650 juta orang dewasa, 340 juta remaja, dan 39 juta anak-anak. Jumlah ini terus bertambah. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2025, sekitar 167 juta orang-dewasa dan anak-anak-akan mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.[29] Di antara penyebab utama kematian di dunia, obesitas dan kelebihan berat badan menempati urutan kelima.[30] Hal ini juga meningkatkan faktor risiko penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, dan kanker tertentu.[31]
Epidemi COVID-19 dan konflik Rusia-Ukraina, telah menyebabkan bencana pangan terburuk sejak Perang Dunia II, dengan 1,7 miliar orang hidup dalam kemiskinan dan kelaparan, angka yang telah mencapai rekor tertinggi saat ini. Sebagai akibat dari gangguan rantai pasokan, terjadi pemborosan makanan karena permintaan yang lebih sedikit, dan petani yang tidak memiliki tempat penyimpanan yang layak dibiarkan dengan hasil panen yang tidak terjual. Negara-negara yang mengalami kerawanan pangan lebih sering mengalami dampak yang parah akibat gangguan rantai pasokan. Pembatasan perjalanan dan penutupan fasilitas tenaga kerja untuk menangani epidemi berdampak pada siklus produksi pangan yang mengandalkan pekerja migran. Perang telah mengganggu produksi pertanian di wilayah tersebut, yang menyebabkan penurunan hasil panen dan pengungsian masyarakat pedesaan. Implikasi geopolitik telah bergema di seluruh pasar global, berdampak pada ketersediaan dan keterjangkauan komoditas pangan utama.
Gambar 3 menunjukkan bahwa Rusia dan Ukraina merupakan produsen jagung, gandum, dan jelai yang signifikan, dengan rata-rata 27, 23, dan 15 persen dari ekspor seluruh dunia antara tahun 2016 dan 2020. Bahkan Program Pangan Dunia (World Food Programme), yang memasok 50 persen pasokan biji-bijian dari wilayah Ukraina-Rusia, saat ini sedang menghadapi kenaikan biaya yang tajam sebagai akibat dari upaya yang sedang berlangsung untuk mengatasi krisis pangan global. Penurunan ekonomi telah memperburuk kesenjangan yang sudah ada sebelumnya dan mempengaruhi ketersediaan pangan.
Gambar 3: Pangsa Ekspor Global Ukraina dan Rusia, 2016-2020[32]
Untuk mengakhiri siklus kemiskinan antargenerasi dan memberantas semua jenis malnutrisi, para pembuat kebijakan harus mengintensifkan upaya mereka. Meningkatkan implementasi perawatan gizi yang berdampak tinggi dan spesifik di seluruh negara berpenghasilan rendah dan menengah diprediksi dapat mengurangi stunting hingga 40 persen dan menghasilkan manfaat ekonomi sekitar US$417 miliar. Ekonomi sebesar US$11 akan dihasilkan dari setiap US$1 yang diinvestasikan untuk mengurangi stunting. Di luar bidang pertanian dan kesehatan, lebih banyak pemain dan sektor yang harus terlibat. Untuk memerangi malnutrisi, pendekatan “sistem pangan” membutuhkan kebijakan komprehensif yang memperhitungkan penawaran dan permintaan. Untuk menciptakan sistem pangan yang tangguh, sangat penting untuk memperkuat tindakan strategis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, baik saat ini maupun ketika krisis berlalu.
[1] Food and Agriculture Organization of the United Nations. UN Report: Global hunger numbers rose to as many 828 million in 2021. https://www.fao.org/newsroom/detail/un-report-global-hunger-sofi-2022-fao/en
[3] Martins VJ, Toledo Florêncio TM, Grillo LP, do Carmo P Franco M, Martins PA, Clemente AP, Santos CD, de Fatima A Vieira M, Sawaya AL. Long-lasting effects of undernutrition. Int J Environ Res Public Health. 2011 Jun;8(6):1817-46. doi: 10.3390/ijerph8061817. Epub 2011 May 26. PMID: 21776204; PMCID: PMC3137999.
[4] United Nations. Transforming our world:the 2030 Agenda for Sustainable Development. https://sdgs.un.org/2030agenda
[5] WHO. The WHO Acceleration Plan to STOP Obesity: progress from WHA 75. https://cdn.who.int/media/docs/default-source/obesity/who-accelertaion-plan-to-stop-obesity-briefing.pdf
[6] FAO, IFAD, UNICEF, WFP and WHO. 2023. The State of Food Security and Nutrition in the World 2023. Urbanization, agrifood systems transformation and healthy diets across the rural–urban continuum. Rome, FAO.https://doi.org/10.4060/cc3017en
[8] Global Hunger Index 2023. https://www.globalhungerindex.org/pdf/en/2023.pdf
[9] GHI menilai jumlah orang yang mengalami kekurangan gizi, tingkat wasting pada anak, tingkat stunting pada anak, dan tingkat kematian anak.
[10]UNICEF / WHO / World Bank Group Joint Child Malnutrition Estimates. Level and trends in child malnutrition: Key finding of the 2023 edition. https://iris.who.int/bitstream/handle/10665/368038/9789240073791-eng.pdf?sequence=1
[12] Quamme, S. H., & Iversen, P. O. (2022). Prevalence of child stunting in Sub-Saharan Africa and its risk factors. Clinical Nutrition Open Science, 42, 49-61.
[13] UNICEF. ROSA Humanitarian Situation Report Mid Yeat 2022. https://www.unicef.org/documents/rosa-humanitarian-situation-report-mid-year-2022
[14] 2022 Global Nutrition Report. https://globalnutritionreport.org/reports/2022-global-nutrition-report/
[15] Krishna, A., Mejía‐Guevara, I., McGovern, M., Aguayo, V. M., & Subramanian, S. V. (2018). Trends in inequalities in child stunting in South Asia. Maternal & child nutrition, 14, e12517.
[16] Smith, L. C., & Haddad, L. (2015). Reducing child undernutrition: past drivers and priorities for the post-MDG era. World Development, 68, 180-204.
[17] UNICEF / WHO / World Bank Group Joint Child Malnutrition Estimates. Level and trends in child malnutrition: Key finding of the 2023 edition. https://iris.who.int/bitstream/handle/10665/368038/9789240073791-eng.pdf?sequence=1
[18] Li, Z., Kim, R., Vollmer, S., & Subramanian, S. V. (2020). Factors associated with child stunting, wasting, and underweight in 35 low-and middle-income countries. JAMA network open, 3(4), e203386-e203386.
[19] Harding, K. L., Aguayo, V. M., & Webb, P. (2018). Factors associated with wasting among children under five years old in South Asia: Implications for action. PloS one, 13(7), e0198749.
[20] Headey, D., Heidkamp, R., Osendarp, S., Ruel, M., Scott, N., Black, R., … & Walker, N. (2020). Impacts of COVID-19 on childhood malnutrition and nutrition-related mortality. The Lancet, 396(10250), 519-521.
[23] FAO. The State of Food Security and Nutrition in the World 2023: Urbanization, Agrifood Systems Transformation and Healthy Diets Across The Rural-Urban Continuum. https://www.fao.org/3/cc3017en/online/cc3017en.html
[25] Larroque, B., Bertrais, S., Czernichow, P., & Léger, J. (2001). School difficulties in 20-year-olds who were born small for gestational age at term in a regional cohort study. Pediatrics, 108(1), 111-115.
[26] Risnes, K. R., Vatten, L. J., Baker, J. L., Jameson, K., Sovio, U., Kajantie, E., … & Bracken, M. B. (2011). Birthweight and mortality in adulthood: a systematic review and meta-analysis. International journal of epidemiology, 40(3), 647-661.
[27] Unicef. Saving lives and giving newborns the best start: https://www.healthynewbornnetwork.org/hnn-content/uploads/Saving-lives-and-giving-newborns-the-best-start.pdf
[28] World Health Organization. Obesity and overweight. 9 Juni 2021. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/obesity-and-overweight
[29] World Health Organization. World Obesity Day 2022- Accelerating action to stop obesity. 4 Maret 2022. https://www.who.int/news/item/04-03-2022-world-obesity-day-2022-accelerating-action-to-stop-obesity
[30] The European Association for the Study of Obesity. https://easo.org/#:~:text=65%25%20of%20the%20world%E2%80%99s%20population,of%20being%20overweight%20or%20obese.
[31] World Health Organization. Obesity and overweight. 9 Juni 2021. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/obesity-and-overweight
[32] Felix Ritcher. Why the War in Ukraine Threatens Global Food Security. Statista. 11 April 2022. https://www.statista.com/chart/27225/russian-and-ukrainian-share-of-global-crop-exports/
Konsep dan penggunaan senjata biologis bukanlah konsep yang “baru”.[1] Penggunaan agen biologis dalam peperangan atau kegiatan kriminal jarang terjadi karena sebagian besar kasus penggunaan senjata biologis cenderung bersifat kriminal, seperti yang terlihat pada serangan Anthrax di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2001,[2] yang dikaitkan dengan Dr Buce Ivans, seorang ahli mikrobiologi Amerika,[3] tetapi belum tentu dikaitkan dengan kelompok teroris. Pertimbangan lain dalam penggunaan dan deteksi senjata biologis adalah identifikasi. Karena kemiripan pengembangan agen alami dengan pengembangan vaksin, sebagian besar bahan mudah diakses, dan dampaknya sulit dilacak.[4]
Bioatribusi adalah aspek inti dalam menetapkan pertanggungjawaban atas perang biologis atau infeksi biologis yang tidak disengaja pada tingkat massal. Bioatribusi mengacu pada atribusi forensik dari akuntabilitas berbasis pengembangan atau penggunaan.[5] Alat utama yang digunakan untuk menilai area ini saat ini adalah Konvensi Senjata Biologi (BWC).[6] BWC adalah perjanjian perlucutan senjata multilateral pertama yang melarang kategori senjata pemusnah massal (WMD). Konvensi ini melarang “pengembangan, produksi, akuisisi, transfer, penimbunan, dan penggunaan senjata biologis dan senjata beracun.” Pada November 2022, BWC mengadakan konferensi peninjauan kesembilan.[7] Mengenai potensi arah baru, konferensi peninjauan kesembilan merundingkan kegiatan untuk periode antar sesi mendatang hingga konferensi peninjauan kesepuluh, yang akan diadakan pada tahun 2027.[8] Perkembangan yang signifikan adalah Negara-negara Pihak memilih untuk memperpanjang mandat Unit Pendukung Implementasi (ISU).[9]
Namun, terdapat kesenjangan dalam diskusi. Negara-negara Pihak tidak bergerak maju dalam mengoperasionalkan BWC Pasal VII,[10] yang memberikan mandat kepada Negara-negara Pihak untuk saling membantu jika terjadi serangan senjata biologis, termasuk dalam hal bioatribusi. Delegasi India dan Perancis berusaha menyoroti kebutuhan akan basis data dan panduan dan Cina mempromosikan Panduan Biosekuriti Tianjin,[11] yang memastikan penggunaan inovasi secara etis dan menyiratkan bioatribusi jika terjadi penggunaan yang berbahaya; namun, proposal ini tidak mendapatkan daya tarik.[12] Karena kesenjangan ini, konferensi tinjauan kesepuluh harus membahas proposal-proposal ini dan tinjauan tambahan yang mungkin diperlukan, termasuk penggunaan kecerdasan buatan[13] dalam pengembangan agen biologis, agen biologis masa depan, pedoman etika, dan metode atribusi.
Termasuk metode bioatribusi nasional
Mengidentifikasi agen biologis dan pengembangan senjata masih sulit dan belum dibahas di bawah BWC, sehingga bioatribusi hanya terjadi di tingkat global dengan upaya regional dan global yang terbatas. Secara global, bioatribusi merupakan konsep yang kurang dipahami di sebagian besar negara, yang cenderung mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (AS) atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).[14]
Metode deteksi yang ada saat ini meliputi Sanger Sequencing, Metode Radosavljevic dan Belojevic, dan High-Throughput Sequencing, yang diadopsi sebagian oleh organisasi seperti NATO dan CDC.[15] Selain CDC, Strategi Biodefense Nasional AS, yang dirilis pada Oktober 2022, menguraikan komitmen AS untuk meningkatkan kapasitas atribusi nasionalnya.[16] Strategi ini menekankan prosedur terintegrasi yang melibatkan berbagai lembaga,[17] termasuk Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan (HHS) dan Biro Investigasi Federal (FBI) yang ditunjuk untuk memimpin upaya ini, dengan dukungan dari berbagai lembaga, termasuk Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertanian AS, Departemen Energi, Departemen Keamanan Dalam Negeri, Badan Perlindungan Lingkungan Hidup, dan Komunitas Intelijen. Selain itu, strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan Mekanisme Penyelidikan Dugaan Penggunaan Senjata Kimia dan Biologi Sekretaris Jenderal PBB (UNSGM) untuk memastikan fakta-fakta, termasuk atribusi, yang terkait dengan dugaan penggunaan senjata biologis atau racun. Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, dan FBI diidentifikasi sebagai entitas fundamental yang bertanggung jawab untuk memimpin aspek strategi ini.
Selain AS, tidak ada dokumen tata kelola nasional yang mencakup bioatribusi pada tingkat seperti itu. India, misalnya, memiliki rancangan manual keamanan hayati untuk laboratorium keselamatan publik yang dirilis di bawah Pusat Pengendalian Penyakit Nasional (NCDC).[18] Panduan ini secara singkat membahas bioterorisme dan mengidentifikasi penggunaan agen biologis yang tidak etis dan ilegal. Namun, metode ini perlu diperbarui lebih sering.
Namun, investigasi forensik terhadap serangan senjata biologis yang diduga atau yang sebenarnya, serta kegiatan bioproliferasi, masih memainkan peran penting dalam biosekuriti. Metode bioatribusi perlu diperkuat untuk mengatasi kesenjangan ini.
Mengidentifikasi dan meminta pertanggungjawaban pelaku dan pendukungnya melalui tindakan hukum atau kebijakan sangatlah penting.[19] Untuk kerangka kerja bioatribusi yang kondusif, penting untuk menekankan kesadaran, penilaian, pelatihan, upaya percontohan, dan menciptakan standar global.
Bioatribusi forensik perlu ditingkatkan secara teratur untuk memasukkan teknologi dan geopolitik yang sedang berkembang sebagai pertimbangan untuk tata kelola global yang efektif di bidang pengembangan senjata biologis.
Dengan demikian, tata kelola global harus mempertimbangkan pentingnya investigasi terpadu yang dilakukan oleh penegak hukum dan ilmu forensik, yang diinformasikan oleh sumber daya kesehatan masyarakat, untuk mengatribusikan ancaman biologis. Atribusi adalah dasar dari akuntabilitas, baik melalui penuntutan hukum atau tindakan kebijakan. Membangun perusahaan atribusi global[20] sangat penting untuk pendekatan yang lebih kuat dan komprehensif terhadap keamanan hayati.
Perusahaan bioatribusi global
Ada kebutuhan untuk menangani tindakan kriminal dan teroris, baik yang dilakukan oleh negara maupun non-negara, yang melibatkan agen biologis, patogen, dan racun yang berbahaya. Komponen penting dari program forensik dan atribusi bioterorisme-proliferasi meliputi lembaga internasional dan organisasi nasional yang berkolaborasi untuk mencakup investigasi penegakan hukum,[21] atribusi dalam konteks hukum dan kebijakan, investigasi kesehatan masyarakat, dan ilmu forensik. Organisasi seperti departemen bioteknologi yang ada, sayap pelucutan senjata dalam organisasi pertahanan, dan peningkatan Organisasi Kesehatan Dunia dapat menangani langkah-langkah ini. Komponen-komponen ini bekerja sama untuk mengidentifikasi agen penyebab, sumber, dan sifat wabah serta mendukung tindakan melalui peradilan pidana dan proses hukum.
Selain itu, aliansi internasional seperti Global Alliance For Genetic Health (GA4GH) atau organisasi yang serupa dengan platform tersebut dapat membuat panduan untuk pelatihan staf praktis dalam mekanisme pelaporan yang aman[22] dan mendorong serta berkoordinasi dengan integrasi penegakan hukum regional/nasional, kesehatan masyarakat, ilmu forensik, hukum, dan domain kebijakan, yang diperlukan untuk respons investigasi yang komprehensif. Memasukkan standar keamanan hayati[23] dan pelaporan dalam bioatribusi dapat membantu menilai asal-usul pandemi dari laboratorium keamanan hayati dengan lebih cepat dan menciptakan kerangka kerja bioatribusi yang lebih holistik. Komponen-komponen utama termasuk tim yang memiliki staf yang memadai, kemampuan forensik teknis, proses hukum, dan kerangka kerja pengambilan keputusan.
Meskipun metode yang disebutkan di atas dapat meningkatkan kerangka kerja bioatribusi saat ini dan dapat dicapai melalui struktur yang ada, ada kebutuhan untuk membangun perusahaan bioatribusi global yang menggabungkan hal-hal berikut[24]:
Sebuah platform baru dan berdedikasi untuk meningkatkan kesadaran akan agen biologis, menggunakan teknologi yang sedang berkembang dalam pengembangan dan penggunaan ganda serta meningkatkan keterlibatan para ahli teknis dan pembuat kebijakan. Perlunya konferensi kerja sama keamanan regional dan diskusi terstruktur untuk meningkatkan kesadaran dan pendidikan.
Pedoman etika[25] untuk mengembangkan agen biologis dan akuntabilitas untuk kegiatan laboratorium keamanan hayati kepada khalayak global.
Membuat penilaian negara untuk memastikan kemampuan dan kebutuhan yang ada menentukan investasi global yang setara. Kajian tersebut juga akan memastikan investasi diarahkan kepada pihak-pihak yang mengikuti pedoman etika dan terlibat secara global untuk kesejahteraan masyarakat.
Pentingnya pelatihan untuk mengintegrasikan penegakan hukum dan investigasi kesehatan masyarakat serta melakukan latihan di atas meja atau di lapangan untuk menerapkan pengetahuan.
Mendemonstrasikan dan berbagi pengetahuan teknis untuk proyek-proyek jangka pendek untuk meningkatkan kemampuan teknis, penelitian kolaboratif, dan kesepakatan internasional mengenai pedoman dan standar akan meningkatkan kerangka kerja keputusan atribusi.
Tantangan untuk memperkuat keamanan hayati melalui bioatribusi melibatkan penanganan kesenjangan dalam kerangka kerja internasional saat ini, terutama dalam Konvensi Senjata Biologi (BWC). Konferensi tinjauan kesembilan baru-baru ini mengungkapkan kemajuan dan kekurangan, dengan Negara-negara Pihak yang memperluas mandat Unit Pendukung Implementasi (ISU) tetapi gagal dalam mengoperasionalkan Pasal VII BWC.
Penekanan pada investigasi terpadu oleh penegak hukum dan ilmu forensik, yang diinformasikan oleh sumber daya kesehatan masyarakat, menyoroti pentingnya mengidentifikasi dan meminta pertanggungjawaban pelaku. Rekomendasi ini membuka jalan untuk membangun perusahaan atribusi global yang komprehensif, yang berkontribusi pada masa depan yang lebih aman.
Mirip dengan dunia maya, di mana yurisdiksi menjadi kabur, dengan tingkat transfer yang cepat dalam infeksi biologis, atribusi sulit untuk ditentukan dan dibedakan dari infeksi alami; namun, dengan pedoman yang ada dan metode identifikasi yang diselaraskan dengan persyaratan pelaporan yang sesuai, ruang lingkup bioatribusi meningkat.
Membangun perusahaan bioatribusi global sangat penting untuk meningkatkan kerangka kerja yang ada saat ini, mengintegrasikan teknologi yang sedang berkembang, dan mendorong kolaborasi internasional. Pendekatan komprehensif ini sangat penting untuk memastikan akuntabilitas, melindungi dari ancaman biologis, dan memajukan keamanan hayati global.
[1] Frischknecht, F. (2003). The history of biological warfare: Human experimentation, modern nightmares and lone madmen in the twentieth century. EMBO reports, 4(S1), S47-S52.
[2] Center for Diesease Control and Prevention. The Threat of an Anthrax Attack. https://www.cdc.gov/anthrax/bioterrorism/threat.html#:~:text=In%202001%2C%20powdered%20anthrax%20spores,of%20these%2022%20people%20died.
[3] FBI. Amerithrax or Anthrax Investigation. https://www.fbi.gov/history/famous-cases/amerithrax-or-anthrax-investigation
[4] Inglesby, T. V., O’Toole, T., & Henderson, D. A. (2000). Preventing the use of biological weapons: improving response should prevention fail. Clinical infectious diseases, 30(6), 926-929.
[5] Murch, R. S. (2015). Bioattribution needs a coherent international approach to improve global biosecurity. Frontiers in Bioengineering and Biotechnology, 3, 80.
[6] United Nations. Bilogical Weapons Convention. https://disarmament.unoda.org/biological-weapons/
[7] Office for Disarmaments Affairs. Biological Weapons Convention-Ninth Review Conference. United Nations. 2022. https://meetings.unoda.org/bwc-revcon/biological-weapons-convention-ninth-review-conference-2022
[8] Una Jakob. The 9th Review Conference of the Bilogical Weapons Convention. 7 Februari 2023. https://blog.prif.org/2023/02/07/the-9th-review-conference-of-the-biological-weapons-convention/
[10] United Nations. Bilogical Weapons Convention. https://disarmament.unoda.org/biological-weapons/
[11] Johns Hopkins. International Guidelines for Biosecurity Ethnics. https://centerforhealthsecurity.org/our-work/research-projects/international-guidelines-for-biosecurity-ethics
[12] Una Jakob. The 9th Review Conference of the Bilogical Weapons Convention. 7 Februari 2023. https://blog.prif.org/2023/02/07/the-9th-review-conference-of-the-biological-weapons-convention/
[13] Dan Milmo. AI chatbots could help plan bioweapon attacks, report finds. The Guardian. 17 Oktober 2023. https://www.theguardian.com/technology/2023/oct/16/ai-chatbots-could-help-plan-bioweapon-attacks-report-finds
[14] WHO. Strengthening national health emergency and disaster management capacities and resilience of health systems. 22 Januari 2011. https://apps.who.int/gb/ebwha/pdf_files/EB128/B128_R10-en.pdf?ua=1
[15] Shravishta Ajaykumar. Navigating global governance, national strategies, and ethics in biowarfare. Observer Research Federation. Agustus 2023. https://www.orfonline.org/wp-content/uploads/2023/08/ORF_OccasionalPaper_405_Biowarfare.pdf
[16]Administration for Strategic Preparedness & Response. National Biodefense Strategy. https://aspr.hhs.gov/biodefense/Pages/default.aspx#:~:text=Unveiled%20in%20September%202018%2C%20and,for%20addressing%20challenges%20arising%20from
[17] Tom Inglesby. Challenges and Opportunities to Investigating the Origigins of Pandemics and Other Bilogical Events. Johns Hopkins Center for Health Security. 1 February 2023. https://centerforhealthsecurity.org/our-work/testimonies-briefings/challenges-and-opportunities-to-investigating-the-origins-of-pandemics
[18] Government of India Ministry of Health. Biosafety Manual for Public Health Laboratories. https://ncdc.mohfw.gov.in/WriteReadData/l892s/File608.pdf
[19] Murch, R. S. (2015). Bioattribution needs a coherent international approach to improve global biosecurity. Frontiers in Bioengineering and Biotechnology, 3, 80.
[23] GAO. Pandemic Origins:Technnologies and Challenges for Biological Investigations. 27 Januari 2023. https://www.gao.gov/products/gao-23-105406
[24] Murch, R. S. (2015). Bioattribution needs a coherent international approach to improve global biosecurity. Frontiers in Bioengineering and Biotechnology, 3, 80.
[25] Shravishta Ajaykumar. Navigating global governance, national strategies, and ethics in biowarfare. Observer Research Federation. Agustus 2023. https://www.orfonline.org/wp-content/uploads/2023/08/ORF_OccasionalPaper_405_Biowarfare.pdf
Sejak bulan Juni, dunia mengalami suhu yang luar biasa tinggi setiap bulannya, bahkan Bulan November dinobatkan sebagai bulan terpanas sepanjang sejarah. Dengan gelombang panas yang memecahkan rekor, kebakaran hutan yang ganas, badai dahsyat, dan banjir yang merusak, para ilmuwan menyamakan dampak perubahan iklim tahun ini dengan “film bencana”.
Direktur eksekutif Institut Perubahan Iklim Edinburgh di Universitas Edinburgh, David Reay, mengatakan kepada CNN bahwa “kita sudah terlalu terbiasa dengan catatan iklim yang berjatuhan seperti kartu domino dalam beberapa tahun terakhir.” 12 bulan terpanas terjadi antara November 2022 dan akhir Oktober 2023, dengan suhu rata-rata 1,32 derajat Celcius lebih tinggi dibandingkan suhu di masa pra-industri, menurut analisis data global yang dirilis oleh organisasi penelitian nirlaba Climate Central.
Dalam konferensi telepon dengan wartawan, wakil presiden bidang ilmu pengetahuan Climate Central, Andrew Pershing, menyatakan, “Ini adalah suhu yang tidak boleh kita alami.” Di samping itu, analisis dari Climate Central juga menemukan bahwa El Niño, fenomena laut dan cuaca alami di Pasifik tropis, baru saja mulai menaikkan suhu. Pembakaran bahan bakar fosil merupakan penyebab utama terjadinya tren pemanasan global jangka panjang yang signifikan di bumi. Ini tidak lazim, dan itulah kuncinya.
Para peneliti menemukan bahwa selama periode 12 bulan ini, 90% populasi dunia, atau 7,3 miliar orang, mengalami setidaknya 10 hari suhu tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar umat manusia terkena dampak panas yang luar biasa. Delapan puluh enam persen penduduk India, atau 1,2 miliar orang, mengalami suhu tinggi selama setidaknya 30 hari, sebuah kejadian yang setidaknya tiga kali lebih sering terjadi akibat perubahan iklim.
Pada awal November lalu, suhu di Tiongkok memecahkan lebih dari selusin rekor suhu bulanan, dengan beberapa wilayah mengalami suhu setinggi 34 derajat Celcius. Di AS, minggu ini telah terjadi pemecahan beberapa rekor suhu panas; pada hari Rabu, 8 November 2023, suhu di beberapa bagian Texas mencapai 33,8 derajat Celcius, melampaui suhu sebelumnya yang tercatat pada bulan November.
Menurut penelitian, hanya dua negara—Islandia dan Lesotho—yang mengalami suhu di bawah normal selama periode tersebut. Hasil Climate Central mengikuti perkiraan lain yang dirilis pada 8 November oleh Copernicus Climate Change Service dari Uni Eropa, yang menyimpulkan bahwa tahun 2023 kemungkinan akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat, dengan kemungkinan “hampir pasti.”
Perkiraan tersebut didasarkan pada kesimpulan laporan bahwa Oktober bulan lalu adalah rekor terpanas, melampaui rekor sebelumnya yang dicatat pada tahun 2019 sebesar 0,4 Celcius. Rata-rata suhu pra-industri lebih dingin 1,7 Celcius sepanjang bulan. Samantha Burgess, wakil direktur Copernicus, menyatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “Oktober 2023 telah terjadi anomali suhu yang luar biasa.”
Memasuki bulan Desember, para peneliti dari Layanan Perubahan Iklim Copernicus UE telah menyatakan bahwa rekor panas dipecahkan pada bulan November, menjadikan suhu rata-rata global pada tahun 2023 sebesar 1,46 derajat Celcius dibandingkan suhu pra-industri. Bahkan di bulan yang sama, terdapat dua hari yang lebih hangat 2 derajat Celsius dibandingkan suhu pada masa pra-industri, hal yang belum pernah terjadi satu hari pun yang tercatat dalam sejarah. Namun dalam beberapa dekade, suhu global harus tetap di atas 1,5C agar benar-benar melampaui target Perjanjian Paris.