Pemilu Iran Menjadi Pemilihan dengan Partisipasi Terendah
Iran mengadakan pemilihan presiden ke-14 nya untuk mencari pengganti mendiang Ebrahim Raisi yang meninggal dalam kecelakaan helikopter bulan lalu. Proses pemilihan ini berlangsung selama 18 jam, di mana juru bicara dari pemilihan pusat Iran, Mohsen Eslami, menyatakan bahwa proses pemilihan selesai pada tengah malam waktu setempat.
Menteri Dalam Negeri Iran yang mengawasi pemilihan mememperpanjang pemungutan suara sebanyak tiga kali agar lebih banyak pemilih dapat memberikan suara.
Dikarenakan penghitungan suara dilakukan secara manual, hasil akhir diperkirakan akan diumumkan hanya dalam dua hari meskipun angka awal mungkin akan keluar lebih cepat.
Sebelumnya enam kandidat, namun akhirnya terdapat empat kandidat yakni Mohammad Baqer Qalibaf, Saeed Jalili, Masoud Pezeshkian dan Mostafa Pourmohammadiyang bersaing memperebutkan kursi kepresidenan Republik Islam Iran. Diperkirakan sekitar 64 juta pemilih di Iran memenuhi syarat untuk memberikan suara dalam pemilu, mayoritas dari mereka berusia muda. Pada pemilihan presiden tahun 2021 lalu, setidaknya 59,3 juta orang memenuhi syarat untuk memilih.
Mohammad Baqer Qalibah merupakan ketua parlemen garis keras Iran dan mantan komandan Garda Revolusi. Saeed Jalili yakni seorang konservatif yang merupakan mantan kepala negosiator nuklir dan pernah menjabat sebagai kepala kantor Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei selama empat tahun. Selanjutnya, ada Massoud Pezeshkian, seorang anggota parlemen yang reformis. Terdapat juga Mostafa Pourmohammadi, seorang garis keras dan mantan menteri dalam negeri, dan Amir-Hossein Ghazadeh Hasemi, seorang politisi konservatif.
Persentase pemilih menurun signifikan
Jumlah partisipasi pemilu nasional masih sangat diperdebatkan karena data menunjukkan partisipasi hanya mencapai 40% yang menandai jumlah pemilih terendah dalam sejarah Iran. Klaim pemerintah mengenai tingkat partisipasi sebesar 40 persen menunjukkan tren penurunan keterlibatan masyarakat dalam pemilihan umum di bawah Republik Islam.
Lebih dari 24 juta suara diberikan dalam pemilihan untuk menggantikan mendiang Presiden Ebrahim Raisi. Berdasarkan hasil sementara dari otoritas pemilihan umum Iran, Pezeshkian meraih 42,4 persen suara; Jalili meraih 38,6 persen suara. Selain itu, Ketua parlemen konservatif Mohammad Bagher Qalibaf meraih 13,8 persen suara dan ulama konservatif Mostafa Pourmohammadi mendapatkan kurang dari 1 persen suara.
Juru bicara otoritas pemilu Mohsen Eslami menambahkan bahwa tidak ada satupun kandidat yang dapat meraih mayoritas mutlak suara.
Dibandingkan dengan pemilu parlemen di tahun 2019, partisipasi tercatat sebanyak 42 persen, dan dibandingkan dengan pemilu presiden tahun 2021 lalu, partisipasi pemilih mencapai 48 persen, di mana sekitar 13 persen hasil memilih dinilai tidak sah.
Berkaitan dengan isu partisipasi ini, meskipun ada upaya ekstensif dan propaganda untuk memobilisasi para pemilih, namun tetap saja mengindikasikan rendahnya jumlah pemilih di antara warga Iran.
Angka resmi menunjukkan bahwa sekitar 77% pemilih yang memenuhi syarat di wilayah Teheran Raya tidak memberikan suara mereka untuk kandidat presiden pemerintah.
Dewan Nasional Perlawanan Iran, sebuah koalisi kelompok-kelompok oposisi Iran yang mengadvokasi penggulingan Republik Islam, melaporkan bahwa “kurang dari 7,4 juta orang, yang mewakili hanya 12 persen dari jumlah pemilih yang memenuhi syarat, berpartisipasi secara sukarela atau di bawah tekanan dalam pemilihan presiden rezim ulama.”
Dewan tersebut menekankan bahwa akibat dari kondisi ini, sekitar 88 persen rakyat Iran memboikot pemilihan presiden palsu rezim Khamenei, dengan tegas menolak kediktatoran agama. Mereka menyatakan bahwa suara utama mereka adalah untuk menggulingkan rezim tersebut.
Banyak pengunjuk rasa, keluarga korban, aktivis politik dan sipil, dan berbagai organisasi politik sebelumnya telah mengumumkan penolakan mereka untuk berpartisipasi dalam “penunjukan pemerintah” dan “sirkus pemilu”.