Lembaga Survei Indikator Politik merilis survei mengenai tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Tingkat kepuasan publik dinilai kembali menurun ke angka 58,1 persen dari awalnya 64,1 persen. Meskipun masih cukup tinggi, namun penurunan persentase ini juga menimbulkan komentar yang beragam.
Penurunan sekitar enam persen ditanggapi oleh Partai Demokrat yang mengklaim bahwa pada masa pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tingkat kepuasan tersebut tidak pernah berada dalam titik serendah Presiden Jokowi. Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendrta Putra, menilai bahwa menurunnya kepuasan atas presiden Jokowi sesuai dengan prediksi PD yang menilai pemerintah belum mengatasi permasalahan riil di masyarakat.
Klaim dari PD dibalas oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menilai perbandingan angka kepuasan kinerja presiden tidak elok untuk dibandingkan dikarenakan terdapat perbedaan zaman dan tantangan yang ada. Namun, penurunan indikator kepuasan tetap perlu diberi perhatian khusus oleh pemerintah untuk terus bekerja keras.
Penyebab turunnya tingkat kepuasan
Indikator Politik berdasarkan hasil surveinya menilai publik tidak puas dengan inflasi yang meningkat. Jika pada Juli 2020 hingga akhir 2021 inflasi rendah, sehingga tingkat kepuasan pun cenderung stabil. Namun saat inflasi meningkat 4 persen, tingkat kepuasan turut menurun sekitar 2 persen. Selain itu, adanya bantuan tidak merata dan harga minyak goreng yang naik tajam juga menjadi isu penting yang dilihat masyarakat.
Di sisi lain, masyarakat yang puas dengan kinerja Jokowi menilai adanya upaya pembangunan infrastruktur yang baik, pemberian bantuan kepada rakyat kecil, serta upaya penanggulangan Covid-19.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) menanggapi hasil survei
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Edy Priyono, menilai kondisi kenaikan harga kebutuhan pokok menjadi salah satu pemicu menurunnya kepuasan atas kinerja Jokowi. Padahal, kenaikan harga kebutuhan pokok juga tidak terlepas dari dinamika global seperti pandemi Covid-19, konflik Rusia-Ukraina, cuaca, dsb.
Ketidakpastian global mempengaruhi harga kebutuhan pokok tidak hanya di Indonesia, namun juga negara lainnya. Peningkatan inflasi, penurunan daya beli masyarakat, serta tekanan fiskal memperlambat pertumbuhan ekonomi. Terlebih, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga banyak digunakan untuk membantu sosial dan ekonomi khususnya kelompok kurang mampu.
Meskipun begitu, Edy menilai bahwa perekonomian Indonesia cukup mampu mengatasi risiko global yang ada karena per triwulan I 2022 saja pertumbuhan ekonomi Indonesia berada dikisaran 5,01 persen. Jumlah ini dikarenakan adanya peningkatan permintaan domestik, termasuk kinerja ekspor yang tinggi, serta peningkatan aktivitas ekonomi saat Lebaran.
Sisi permintaan ekonomi juga mengalami peningkatan meskipun harga kebutuhan pokok meningkat, sehingga konsumsi rumah tangga turut naik hingga 4.34 persen, di mana naik dari persentase sebelumnya 3.55 persen. Persentase meningkat dikarenakan pelonggotan mobilitas yang disertai pandemi dan akselerasi vaksin yang terkendali.