China menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-14 pada 23 Juni 2022. KTT ini diikuti oleh seluruh anggota BRICS yang merupakan akronim dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan secara daring untuk membahas isu-isu yang menjadi perhatian bersama sebagai bagian dari KTT yang bertema “era baru” untuk pembangunan global.
BRICS pertama kali digagas pada tahun 2001 oleh Goldman Sachs sebagai bagian dari latihan pemodelan ekonomi untuk meramalkan tren ekonomi global selama setengah abad berikutnya. Agenda pertemuan BRICS telah meluas selama bertahun-tahun yang mencakup isu-isu global topikal seperti perkembangan politik yang relevan seperti situasi di kawasan, lembaga pemerintahan global, terorisme internasional, perubahan iklim, ketahanan pangan dan energi, situasi ekonomi dan keuangan internasional, dan lainnya.[1]
Agenda tahun ini mencakup berbagai topik, tetapi penekanan khusus akan diberikan pada pembaruan multilateralisme untuk pemulihan ekonomi global, memperdalam koordinasi aksi iklim, dan memperkuat koordinasi pandemi dan kesehatan masyarakat.
“BRICS adalah semacam serangan balasan diplomatik oleh China terhadap kebangkitan NATO dan peningkatan mekanisme Indo-Pasifik yang dirancang untuk menjaga kekuatannya tetap terkendali,” Huang Yanzhong, rekan senior untuk kesehatan global di Dewan Hubungan Luar Negeri , kepada Al Jazeera.[2]
“Ini sangat relevan di forum yang berfokus pada Global South,” kata Phar Kim Beng, mantan Direktur Komunitas Politik-Keamanan di sekretariat ASEAN kepada Al Jazeera.[3] Ungkapan Global South merujuk secara luas ke negara-negara di wilayah Amerika Latin, Asia, Afrika, dan Oseania Selain mengkritik AS, China juga diharapkan menyoroti perannya sendiri dalam ekonomi global.
“Ekonomi China bergantung pada perdagangan internasional untuk kemakmurannya. Apa yang kami lihat adalah negara-negara secara sadar mendiversifikasi rantai pasokan mereka dari China dan membentuk perjanjian penetapan standar baru seperti Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik, atau secara proaktif membuat koalisi yang berdagang satu sama lain,” kata Stephen Nagy, spesialis Indo-Pasifik dan rekan senior di MacDonald-Laurier Institute di Kanada.[4]
Di samping tujuan China untuk memajukan aspek ekonomi anggota BRICS dan negara-negara dunia ketiga. Putin yang ikut hadir pada pertemuan itu secara virtual mengatakan, Moskow sedang dalam proses mengalihkan perdagangan dan ekspornya ke negara-negara BRICS sebagai akibat dari sanksi Barat.[5] Membuat setidaknya Rusia memiliki alternatif pasar lain setelah kehilangan pasar minyak dan energi di Eropa dan AS. Moskow menginginkan agar China dan India menjadikan Rusia sebagai pasar minyak utamanya walaupun tampaknya akan sedikit mengalami kendala akibat sanksi negara-negara Barat kepada Rusia untuk menghentikan asuransi pelayaran bagi kapal-kapal Rusia.
Usaha melawan hegemoni Amerika Serikat?
Dengan latar belakang geopolitik seperti invasi Rusia di Ukraina dan juga tidak dilibatkannya China dalam berbagai kerja sama ekonomi AS, KTT ini dapat menjadi wadah yang tepat bagi China untuk visinya tentang bagaimana hubungan internasional harus dilakukan, menurut para analis.
KTT ini diharapkan dapat menyumbang sekitar seperempat dari ekonomi global – untuk meningkatkan “kerja sama multilateral dengan gaya, bentuk, dan prinsip non-Barat,” Pada bulan Mei lalu, Xi meminta anggota-anggota kelompok itu untuk “menolak mentalitas Perang Dingin dan konfrontasi blok, dan bekerja sama untuk membangun komunitas keamanan global untuk semua”.
Negara-negara BRICS sendiri juga memilih untuk berada di posisi tengah terkait tindakan Rusia di Ukraina. Tak satu pun dari para pemimpin Brasil, China, India, atau Afrika Selatan secara terbuka mengutuk Vladimir Putin atas invasi negaranya ke Ukraina.
Tindakan China dapat dilihat sebagai cara untuk menentang hegemoni AS. Konsep ini secara konvensional telah digunakan untuk menandakan kondisi ketidakseimbangan kekuasaan dalam sistem internasional. Hegemoni dapat digunakan sebagai kapasitas sebuah negara untuk melakukan pemaksaan dan/atau tingkat pengaruh atau kontrol yang besar atas struktur sistem internasional dan perilaku internasional unit-unitnya.[6]
Menurut Morgenthau, faktor-faktor keunggulan negara hegemon antara lain seperti geografi, kapasitas ekonomi, kapasitas dan kesiapan militer, dan lainnya.[7] Di sini, China sebagai negara emerging power yang dapat dikatakan kuat dari segi ekonomi dengan berbagai kerangka kerja sama dan proyek di bidang ekonomi yang melibatkan negara-negara global south berusaha mengalihkan pengaruh hegemoni AS baik secara tersurat dan juga tersirat.
Lebih jauh lagi, jika dilihat dari berbagai aktifitas China di ranah internasional, China juga dapat menjadi kekuatan hegemoni baru yang potensial. Ditambah dengan situasi politik yang tengah terpecah akibat tindakan Rusia, China dan negara anggota BRICS lainnya dapat membuat sebuah kekuatan yang lebih kuat untuk mengalahkan pengaruh AS terutama di negara-negara global south.
[1] “About BRICS”, Embassy of the People’s Republic of China in the Republic of South Africa, https://www.mfa.gov.cn/ce/cezanew/eng/zt/BRICS5/archive/t1012813.htm
[2] Liam Gibson, “At BRICS summit, China sets stage to tout its governance model”, Al Jazeera, 22 Juni 2022,
https://www.aljazeera.com/economy/2022/6/22/at-brics-summit-china-seeking-stage-for
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Deutsche Welle (DW), “Putin Ingin Kelompok BRICS Jadi Pasar Utama Ekspor Rusia”, Detik, 24 Juni 2022, https://news.detik.com/dw/d-6144325/putin-ingin-kelompok-brics-jadi-pasar-utama-ekspor-rusia Deutsche Welle
[6] Andreas Antoniades, “Hegemony and international relations”, International Politics, 55 (5), 2018, http://sro.sussex.ac.uk/id/eprint/70470/3/Hegemony%20and%20International%20Relations_SRO.pdf
[7] Ibid.