Ancaman laten akan kelangkaan air sedang dihadapi seluruh negara khususnya di Asia. Secara global dunia saat ini sedang menghadapi krisis air yang akan segera terjadi. Sebuah laporan terbaru dari Komisi Global untuk Ekonomi Air memperingatkan bahwa permintaan global akan air tawar akan melebihi pasokan sebesar 40% pada akhir dekade ini.
Begitupun Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa Indonesia akan mengalami musim kemarau 2023 yang lebih kering dibandingkan tiga tahun terakhir. Hal ini dikarenakan kondisi La Nina selama tiga tahun sejak 2020 hingga 2022 yang berdampak pada iklim basah intensitasnya mulai melemah. Efek daripada peningkatan kekeringan ini maka dapat berpotensi menimbulkan terjadinya kebakaran hutan di Indoensia. Sehingga pemerintah Indonesia perlu melakukan langkah antisipatif untuk meminimalkan potensi dampak kekeringan sebagai konsekuensi kondisi curah hujan rendah tersebut.
Beberapa instasi terkait telah mengupayakan langkah antisipasi seperti yang disampaikan oleh BRIN yang mempersiapkan Teknologi Modifikasi Cuaca dan menjalin komunikasi dengan kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan beberapa pengelola waduk. Dimana PUPR telah membentuk badan pengelolaan bendungan guna mensiagakan semua bendungan yang ada untuk meminimalisir dampak kekeringan. Selain itu PUPR menginventarisasi sarana prasarana yang sudah ada untuk pengelolaan dan melakukan kegiatan operasi pemeliharaan seluruh sumur eksisting yang ada. BRIN juga menjalin kerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KHLK) dan Badan Restorasi Gambut Dan Mangrove (BRGM) untuk keperluan pembasahan lahan gambut guna mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan dan lahan.
Di Asia sendiri, sebagian besar air berasal dari Dataran Tinggi Tibet dan wilayah Hindu Kush-Himalaya di sekitarnya yang dikenal sebagai ‘menara air Asia’, dimana merupakan sumber mata air dari 10 sungai utama. Kawasan ini menyimpan cadangan salju dan es terbesar ketiga di dunia setelah Kutub Utara dan Antartika, dan menyediakan air bersih bagi hampir 2 miliar orang, atau sekitar 25% dari populasi global. Namun, itu masih belum cukup. Lebih dari 50% populasi dunia yang tinggal di Asia, namun pasokan air tawar di kawasan ini hanya mencapai 3.920 meter kubik per orang per tahun-kurang dari benua mana pun selain Antartika. Dampak dari perubahan iklim, pertumbuhan penduduk yang cepat, dan permintaan air yang bersaing dari rumah tangga, pertanian, dan industri memberikan tekanan yang semakin besar terhadap sumber daya air yang terbatas di Asia.
Selain itu, pembagian sumber daya air antar negara dapat memperburuk ketegangan geopolitik. Air secara inheren terkait dengan pembangunan ekonomi, perubahan iklim, dan pertumbuhan populasi, dan pola aliran air dapat bergerak melintasi batas-batas politik dan berfluktuasi dalam volume sepanjang tahun. Akses dan kontrol terhadap saluran air dan sumber air dapat memberikan dukungan strategis dan stabilitas domestik bagi suatu negara. Hal ini pada gilirannya dapat memberikan pengaruh terhadap negara lain dan pengaruh yang lebih besar terhadap proyeksi militer dan perdagangan.
Masalah ini diperparah oleh proyek-proyek mega-hydroengineering seperti bendungan pembangkit listrik tenaga air di sungai-sungai besar lintas negara. Selain memaksakan rasa kekuasaan dan nasionalisme, proyek-proyek ini dapat meningkatkan kekhawatiran akan kelangkaan air di negara-negara tepi sungai, meningkatkan persaingan untuk mendapatkan akses dan kontrol atas sumber daya. China, ‘negara adidaya hulu’ dan hegemon hidro regional, telah membangun banyak bendungan pembangkit listrik tenaga air di sungai-sungai lintas batas tanpa mengadopsi kebijakan sungai lintas batas yang independen atau menandatangani perjanjian air lintas batas internasional. Hal ini membuat negara-negara di bagian hilir khawatir. Namun, China tidak sendirian. India, Tajikistan, dan Laos juga telah menerapkan pendekatan yang berfokus pada teknik untuk pengelolaan air domestik, yang membuat negara-negara tetangganya khawatir.
Selain itu, negara-negara Asia lainnya juga harus khawatir dengan peristiwa cuaca yang disebabkan oleh perubahan iklim yang memperburuk tekanan air, polusi air, dan eksploitasi air tanah, yang secara signifikan mengganggu kestabilan pasokan air, makanan, dan energi.
Pada tahun 2022, kekeringan di lembah Sungai Yangtze di China berdampak pada sekitar 900 juta orang di 17 provinsi. Kekeringan ini juga mengancam rantai pasokan industri di luar negeri, terutama ke Eropa dan Amerika Serikat, karena pabrik-pabrik tutup dan permukaan air di sungai-sungai di Tiongkok menjadi terlalu rendah untuk dilayari oleh kapal-kapal. Sungai Yangtze mengangkut kargo tahunan lebih dari 3 miliar ton, sehingga kekeringan memaksa China untuk mengganti kapal-kapal menjadi sejumlah besar truk untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Aksesbilitas air di prediksi akan terus memburuk di tahun-tahun mendatang. Berdasarkan lintasan dan tren saat ini, sumber daya air tawar akan terus berkurang, meningkatkan persaingan untuk sumber daya di masing-masing negara dan lintas batas. Proyek-proyek nasional yang sedang berlangsung untuk mengalihkan air, seperti proyek Red Flag River di China, akan berdampak lebih jauh pada pasokan di negara-negara tetangga.
Kawasan Asia selama ini tidak melakukan cukup banyak hal untuk mengatasi masalah ini-kebijakan yang lemah dan kurangnya kolaborasi yang kuat antar pemerintah di Asia. Negara-negara Asia harus memperlakukan air sebagai kepentingan bersama dan meningkatkan praktik pengelolaan air, tidak hanya untuk mengatasi krisis saat ini dan memenuhi permintaan di masa depan, tetapi juga untuk menghindari ketidakstabilan sosial ekonomi dan gejolak politik.
Di dalam negeri, negara-negara Asia perlu menggalang dukungan institusional, meningkatkan efisiensi air, dan berinvestasi pada solusi alternatif seperti penggunaan kembali air untuk pasokan air minum dan nonminum. Selain itu pemerintah negara-negara Asia termasuk Indonesia juga perlu membangun kerangka kerja yang mengakui peran sentral air dalam membentuk perubahan ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan, serta meningkatkan kesadaran publik dan menyiapkan program pendidikan.
Di tingkat regional, pemerintah Asia harus mengoordinasikan kebijakan, berkolaborasi dalam proyek-proyek bersama, dan berbagi data secara real-time. Hal ini sangat penting dalam menghadapi kejadian cuaca ekstrem seperti banjir, karena akan memungkinkan negara-negara yang berbatasan langsung dengan sungai untuk mengelola sumber daya dalam negeri dengan lebih baik dan mengurangi paparan risiko terhadap tekanan lintas batas. Hal ini juga akan membantu meredakan ketegangan antara negara hulu dan hilir dan mendorong negara-negara tepi sungai untuk menghindari ketergantungan yang berlebihan pada sumber daya air lintas batas. Organisasi bilateral dan multilateral di kawasan ini juga harus menjadikan kerja sama air dan inisiatif diplomasi terkait sebagai prioritas utama.
Ketidakamanan air akan menjadi salah satu isu geopolitik utama abad ini, terutama di Asia. Pemerintah di negara Asia harus bertindak sekarang dan mengadopsi pendekatan yang lebih radikal dalam menilai dan mengelola pasokan air.