Pada 17 Mei 2021, Direktur Jenderal World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan bahwa dunia sedang dalam kondisi apartheid vaksin yang telah dikhawatirkan WHO setelah beredarnya vaksin COVID-19 di hampir seluruh negara. Pada Forum Perdamaian Musim Semi Paris, Ghebreyesus mengatakan bahwa dunia tidak hanya berisiko mengalami apartheid vaksin, tetapi sudah dalam keadaan apartheid vaksin.[1] Hal ini membuktikan bahwa isu kesehatan saat ini menjadi salah satu hal terpenting yang mengancam keselamatan manusia atau sering disebut human security yang harus ditangani oleh negara. Bukan hanya virus yang menyerang keamanan negara, tetapi bagi beberapa negara, cara menghilangkannya juga menjadi kegentingan lain yang harus ditangani. Menurut UNDP, human security sendiri adalah kondisi dimana manusia terbebas dari ketakutan dimana salah satu dimensinya adalah kesehatan.
Penyebaran COVID-19 yang sangat cepat ini telah ditetapkan menjadi pandemi sejak 11 Maret 2020. Semenjak WHO mendapatkan informasi mengenai COVID-19 pada akhir Desember 2019 hingga ditetapkan pandemi terjadi, tercatat 118.000 kasus di 114 negara, dan 4.291 kematian.[2] Tentu dengan dunia dihadapkan kepada pandemi, para peneliti vaksin sejak awal Januari 2020 berusaha secepat mungkin untuk menemukan vaksin COVID-19. Tepat setahun sejak informasi penyebaran COVID-19 pertama kali, vaksin Pfizer-BioNTech COVID-19 diberikan persetujuan untuk digunakan pertama kali di Inggris oleh The Medicines and Healthcare products Regulatory Agency (MHRA) dimana seorang wanita di Inggris menjadi penerima vaksin pertama pada 8 Desember 2020, 6 hari setelah persetujuan peredaran vaksin.[3] Selain Inggris, Amerika Serikat (AS) juga berusaha mendapatkan vaksin secepat mungkin, perusahaan vaksin Moderna telah memasok pemerintah AS dengan 18 juta dosis dan proyek untuk menyediakan hampir 100 juta dosis bagi orang AS pada akhir kuartal pertama tahun 2021.[4]
Hampir 6 bulan semenjak vaksin pertama disuntikkan, mayoritas dari seluruh negara berusaha menyelenggarakan program vaksin, namun ketimpangan antara negara maju berpenghasilan tinggi dan menengah ke bawah mulai terlihat. Dari pernyataan Ghebreyesus, negara maju menyumbang hanya 15% dari populasi dunia, namun memiliki 45% dari total vaksin dunia.[5] Sedangkan negara-negara menengah ke bawah menyumbang hampir setengah dari populasi dunia, tetapi hanya menerima 17% dari total vaksin dunia.[6] Hal ini lah yang menyebabkan terjadinya apartheid vaksin, di negara-negara berkembang, terdapat masyarakat dengan profesi yang berisiko terpapar virus dan belum mendapatkan vaksin, sedangkan masyarakat biasa dan anak-anak di negara maju sudah bersiap untuk mendapatkan vaksin karena persediaan vaksin yang banyak.
Apartheid vaksin ini tentu juga berkaitan dengan bagaimana sebuah negara menyikapi human security di negaranya. Misalnya, hingga Maret 2021, China telah mengekspor sekitar 60% dari vaksin yang telah diproduksi karena sebagian besar virus dapat terkendali, sedangkan AS sama sekali belum melakukan ekspor karena keinginannya untuk memvaksin semua masyarakat dewasa di AS.[7] AS mempersepsikan bahwa untuk mencapai human security, ia harus memvaksinasi sebanyak mungkin masyarakatnya, sedangkan China mampu membagikan vaksinnya walau masih terdapat banyak masyarakatnya yang belum di vaksin.
Negara maju dengan kekuatan ekonominya tentu menjadikan akses terhadap produksi vaksin lebih mudah, menurut Dr. Peter Hortez, seorang peneliti vaksin dan dekan National School of Tropical Medicine di Baylor College of Medicinedi Texas “Masalah dengan vaksin adalah memiliki infrastruktur dan sumber daya manusia untuk mengetahui cara membuat vaksin”.[8] Bagi negara maju, tentu anggaran dan sumber daya manusia akan lebih mudah tersedia, sebaliknya untuk negara-negara menengah ke bawah. Tidak banyak negara menengah ke bawah yang dapat memiliki infrastruktur dan sumber daya manusia untuk memproduksi vaksin.
Lonjakan kasus di India juga menjadi kasus yang seharusnya ditangani bersama, karena efek dari insiden ini tidak hanya berdampak pada satu negara saja. Negara-negara dengan kepemilikan vaksin yang banyak seharusnya membantu negara-negara yang kesulitan mendapatkannya. Namun, konsep dari human security ini sendiri masih sangat luas, sehingga banyak perbedaan definisi, tentu untuk selamat dari human insecurity tidak semua negara bertindak dengan cara yang sama. Sebelum vaksin COVID-19 ditemukan, negara-negara di sekitar Italia menutup perbatasannya karena takut adanya penyebaran massal COVID-19 Italia di awal tahun 2020.
Sekarang, setelah vaksin diproduksi masal, selain banyak negara maju yang menyimpan banyak dosis vaksin untuk masyarakat negaranya, kelangkaan vaksin di negara-negara menengah ke bawah ini bukan hanya terjadi karena kasus yang meningkat, tetapi karena akses yang sulit dan juga daya beli yang rendah. Dilansir dari UNAIDS, Afrika Selatan dan negara-negara berpenghasilan rendah harus membayar lebih dari dua kali lipat harga yang dibayarkan oleh Uni Eropa untuk vaksin Astra Zeneca.[9] Melansir Independent, Ghebreyesus telah berulang kali mengkritik “bencana moral”.[10]Hal ini terjadi karena vaksin paling banyak didistribusikan dan disimpan oleh negara kaya tanpa membagikannya ke negara-negara yang tingkat urgensi vaksin tinggi. Jika tidak ada perubahan dari tindakan negara-negara maju ini, angka penyebaran COVID-19 sendiri juga tidak akan menurun walaupun masyarakat seperti di AS hampir seluruhnya mendapatkan vaksin karena penyebaran virus ini masih tinggi di belahan bumi yang lain. Walaupun suatu negara telah berhasil memvaksin seluruh masyarakatnya, namun jika masyarakat dari negara lain masih berpotensi memaparkan virus, tidak akan tercipta keamanan dari rasa takut atas COVID-19.
[1] “Director-General’s opening remarks at Paris Peace Forum Spring Meeting – 17 May 2021”, World Health Organization, 17 Mei 2021, https://www.who.int/director-general/speeches/detail/director-general-s-opening-remarks-at-paris-peace-forum-spring-meeting-17-may-2021
[2] “Coronavirus disease (COVID-19) pandemic”, World Health Organization Regional Office For Europe, https://www.euro.who.int/en/health-topics/health-emergencies/coronavirus-covid-19/novel-coronavirus-2019-ncov#:~:text=On%2031%20December%202019%2C,2019%2DnCoV”
[3] Medicines and Healthcare products Regulatory Agency, “UK medicines regulator gives approval for first UK COVID-19 vaccine”, Gov.uk, 2 Desember 2020, https://www.gov.uk/government/news/uk-medicines-regulator-gives-approval-for-first-uk-covid-19-vaccine
[4] AJMC Staff, “A Timeline of COVID-19 Vaccine Developments in 2021”, AJMC, 11 Mei 2021, https://www.ajmc.com/view/a-timeline-of-covid-19-vaccine-developments-in-2021
[5] Op.cit., “Director-General’s opening remarks at Paris Peace Forum Spring Meeting – 17 May 2021”
[6] Ibid.
[7] Dave Lawler, “Where COVID-19 vaccines are coming from”, AXIOS, 17 Maret 2021, https://www.axios.com/covid-coronavirus-vaccines-astrazeneca-pfizer-357c2fa9-3df8-4115-9baa-c5b2375beb44.html
[8] Jessica Glenza, “Coronavirus: how wealthy nations are creating a ‘vaccine apartheid’”, The Guardian, 31 Maret 2021, https://www.theguardian.com/world/2021/mar/30/coronavirus-vaccine-distribution-global-disparity
[9] Winnie Byanyima, “A global vaccine apartheid is unfolding. People’s lives must come before profit”, UNAIDS, 3 Februari 2021, https://www.unaids.org/en/20210203_oped_guardian
[10] Graeme Massie, “‘Vaccine apartheid’: US under fire for sitting on stockpile while developing nations face deadly shortage”, Independent, 25 April 2021, https://www.independent.co.uk/news/world/americas/covid19-vaccine-apartheid-us-coronavirus-b1837039.html