‘Tsunami’ COVID-19 India: Indonesia Selanjutnya?
India mencatatkan dirinya sebagai salah satu negara penyumbang kasus positif dan kematian akibat COVID-19 terbesar saat ini. Hal ini terjadi setelah gelombang kedua COVID-19 menghatam negara itu pada pertengahan April 2021. Penambahan jumlah kasus positif dan kematian di India itu bahkan dikatakan sebagai ‘Tsunami’ COVID-19. Kuatnya ‘Tsunami’ ini menghantam, pemerintah India mengalami kesulitan dalam penanganan lonjakan kasus dan kematian ini dan beberapa negara tercatat telah mengirimkan bantuan medis ke India.
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa ‘Tsunami’ COVID-19 di India disebabkan oleh tiga faktor utama yakni perkumpulan massa, tingkat vaksinasi yang rendah dan mutasi baru COVID-19.[1] Beberapa hari sebelum puncak ‘Tsunnami’ itu, terjadi perkumpulan massal karena sebuah festiva bernama Kumbh Mela. Polisi India memperkirakan sekitar 650,000 orang ikut dalam festival itu untuk “mandi bersama”, tanpa menggunakan masker dan tidak menjaga jarak. Sehari setelah festival ini, terjadi lonjakan kasus yang sangat tinggi dan semakin tinggi di hari-hari berikutnya.[2] Sehingga festival ini dianggap menjadi salah satu yang memperarah penularan covid-19 di India.
‘Tsunami’ covid-19 yang terjadi di India sekali lagi menunjukan bahwa kita masih belum bisa mengalahkan virus itu. Kejadian ini harus menjadi refleksi dan dipelajari untuk menghindari terjadinya ‘Tsunami’ tersebut, terutama bagi Indonesia. Tiga faktor yang menurut WHO sebagai faktor utama dari ‘Tsunami’ di India pada kenyataan juga ada di Indonesia; tingkat vaksinisasi yang rendah, perkumpulan massa dan kemungkinan varian baru.
Indonesia memang mencatatkan dirinya sebagai salah satu negara yang pertama kali melakukan vaksinisasi kepada masyarakatnya. Namun, tingkat vaksinisasi masih sangat rendah. Baru sekitar 2.70% (29/04) dari total populasi yang telah mendapatkan 2 dosis suntikan vaksin atau dipaksin secara penuh.[3] Sementara mayoritas masyarakat belum memiliki kekebalan yang menyebabkan penularan virus masih akan terus.
Berbicara mengenai perkumpulan massa, kegiatan ini sejak awal telah dinilai sebagai sumber penularan virus COVID-19.[4] Tentunya, kita di Indonesia tidak asing dengan acara bekumpul bahkan memiliki ‘budaya kumpul-kumpul’. Berkumpul untuk perayaan ulang tahun, buka puasa bersama di bulan Ramadhan sampai acara arisan adalah beberapa contoh kegiatan berkumpul yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia. Selain itu, ada juga praktik keagamaan tidak bisa dipungkiri sebagai acara perkumpulan paling besar dan paling sering di lakukan oleh masyarakat Indonesia.
Pemerintah Indonesia sempat memberlakukan kebijakan pembatasan dan pemberhentian pada bentuk-bentuk perkumpulan untuk menekan penularan virus. Sistem Work From Home (WFH) diberlakukan untuk perkantoran, semua aktvitas dunia pendidikan dilakukan secara daring, pembatasan jumlah pelanggan pada tempat makan dan pusat perbelanjaan sampai pemberhentian pada perkumpulan praktik keagamaan juga dilakukan. Sayangnya, kebijakan ini mendapatkan kecaman dari masyarakat yang menganggap pemerintah berupaya untuk menghentikan aktivitas keagamaan mereka. Akibatnya, kebijakan ini hanya membuahkan hasil sementara dan tidak secara signifikan menurunkan tingkat penularan.
Walaupun sempat mengambil kebijakan untuk menutup pintu masuk penerbangan internasional, kebijakan ini tidak berlangsung lama. Indonesia kembali membuka pintu untuk turis tanpa protokol karantina yang ketat. Nampaknya, perekonomian Indonesia memang masih sangat bergantung pada turis yang masuk ke negara ini. Akibatnya, potensi mutasi virus masuk ke Indonesia sangat beragam dan semakin tinggi.
Penularan COVID-19 saat ini masih sangat tinggi dan variasi baru yang lebih berbahaya masih sangat mungkin muncul. Oleh karenanya, WHO menyatakan bahwa pengawasan terhadap varian baru COVID-19 masih tetap harus dilakukan. Hal ini penanganan terhadap COVID-19 semakin akan sulit untuk dilakukan jika virus itu berhasil bermutasi dan menghasilkan varian baru.[5] Vaksin yang sekarang tersedia bisa menjadi percuma karena varian baru itu.
Kondisi Indonesia saat ini ternyata sangat mirip dengan kondisi India. Jika kita terus menormalisasi perkumpulan massa dan perpindahan masyarakat dari satu daerah ke daerah lain yang disaat bersamaan tingkat vaksinisasi masih rendah, dalam waktu dekat ‘Tsunami’ juga akan terjadi di Indonesia. Lalu, apa yang harus dilakukan? Pertanyaan ini cukup sulit dijawab karena pada dasarnya penanganan terhadap COVID-19 sangat kompleks. Pemerintah dan masyarakat selalu diperhadapkan pada situasi sulit dan tidak punya banyak pilihan.
[1] Hannah Ellis-Petersen, “WHO Blames ‘Perfect Storm’ of Factors for India COVID Crisis”, TheGuardian.com, 27 April 2021, https://www.theguardian.com/world/2021/apr/27/international-aid-arrives-in-india-to-combat-deadly-covid-crisis
[2] Neha Arora, dkk. “ ‘Super-spreader’ Erupts as Devout Hindus Throng Indian Festival”, Reuters.com, April 15 2020 https://www.reuters.com/world/india/super-spreader-erupts-devout-hindus-throng-indian-festival-2021-04-14/
[3] Coronavirus Resource Center, “Vaccine Tracker: Indonesia”, John Hopkins University. Data diambil pada 29 April 2021, 14.00 WIB.
[4] Brian McCloskey, dkk. “Mass Gathering Events and Reducing Further Global Spread of COVID-19:A Political and Public Health Dilemma”, Elsevier Public Health Emergency Collection, Lancet 2020 4-10 April, 2020. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7138150/
[5] World Health Organization, “SARS-CoV-2 Variants”, Disease Outbreak News, 31 Desember 2020, https://www.who.int/csr/don/31-december-2020-sars-cov2variants/en/#:~:text=While%20mutations%20of%20SARS%2D,make%20control%20more%20difficult.