“Varian Corona Virus Baru Yang Mengkhawatirkan” Ditemukan Di Berbagai Negara
Mendekati akhir tahun 2021, virus Covid-19 belum juga usai. Pasalnya, virus Covid-19 ini bermutasi dengan cepat dan menghasilkan berbagai varian baru yang berbahaya. Menurut Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa mengatakan bahwa dunia sedang berpacu dengan waktu dengan virus Omicron, sebuah varian dari virus Corona.
Ursula juga mengatakan bahwa para peneliti setidaknya membutuhkan waktu beberapa minggu untuk memahami jenis varian Omicron ini. Varian ini pertama kali teridentifikasi oleh peneliti di Afrika Selatan dengan jumlah kasus meningkat secara tidak wajar. Penemuan varian ini dikonfirmasi pada 9 November dari sebuah data sampel. Walaupun pertama kali ditemukan di Afrika Selatan, varian Omicron ini juga ditemukan di banyak negara di benua Eropa, Afrika, dan Asia.
Pada 28 November, pemerintahan Belanda mengumumkan setidaknya 13 orang positif Covid-19 di Bandara Schipol Amsterdam setelah perjalanan dari Afrika Selatan. Profesor biostatistik Sheila Bird mengatakan hasil tes Covid-19 di Amsterdam mengkhawatirkan tetapi diperlukan lebih banyak data. Menurut Sheila, kemungkinan akan ada cluster baru dari 13 orang yang terkonfirmasi positif itu, mulai dari cluster bandara sampai cluster rumahan.
Sebelumnya, varian Omicron ini disebut dengan vaian B.1.1.529, sebuah varian yang “dikhawatirkan”. Pernyataan terkahir dari World Health Organization (WHO) sendiri menyatakan bahwa peneliti di berbagai negara masih mencari tahu apakah varian Omicron lebih mudah menyebar dibandingkan varian lain. WHO juga belum mengetahui secara pasti apakah varian ini menyebabkan penyakit yang lebih parah dibandingkan dari varian lain.
Para peneliti mengkhawatirkan varian baru ini karena dianggap lebih berbahaya dari varian Delta walaupun masih menjadi hipotesis. Hal ini dikarenakan varian Omicron memiliki lebih dari 30 mutasi pada spine protein mahkota virus-nya, lebih dari dua kali lipat dari yang ditemukan di varian Delta. Perubahan dramatis semacam itu telah menimbulkan kekhawatiran bahwa antibodi dan vaksinasi sebelumnya mungkin tidak efektif.
WHO menyarankan agar negara-negara untuk mengambil langkah pencegahan seperti melakukan dan meningkatkan pengawasan dan pengurutan kasus varian Omicron. Hal ini untuk mempermudah penanganan dan penelitian varian baru yang mengkhawatirkan ini. Langkah yang tepat harus diambil oleh negara. Banyak negara dengan kasus terkonfirmasi positif telah melakukan penutupan akses perjalanan dari negara-terkonfirmasi varian Omicron. Negara-negara terkonfirmasi ini mayoritas berada di daerah selatan benua Afrika.
Penutupan akses perjalanan ini menimbulkan kemarahan dari negara-negara di selatan Afrika. Menurut Cyril Ramaphosa, presiden Afrika Selatan “Penutupan akses ini tidak memiliki dasar sains yang pasti dan belum tentu efektif dalam mencegah penyebaran varian ini. Satu-satunya hal terjadi adalah merusak ekonomi negara yang terkena dampak dan melemahkan kemampuan mereka untuk menanggapi dan pulih dari pandemi. Namun tindakan ini tentu merupakan respon dan pembelajaran dari lonjakan kasus varian Delta sebelumnya.
Belajar dari lonjakan kasus varian Delta akibat libur Idul Fitri, Indonesia menetapkan kebijakan PPKM Level 3 selama libur Natal dan Tahun Baru 2022. Kebijakan ini tertuang dalam instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 62 Tahun 2001. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan selain PPKM Level 3, akan ada beberapa pengetatan tambahan. Langkah antisipasi ini tentu akan membantu Indonesia untuk menangani penyebaran virus Omicron, walaupun begitu Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sendiri mengatakan bahwa varian tersebut belum terdeteksi di Indonesia.
Penerapan kebijakan PPKM Level 3 ini menjadi langkah tepat untuk Indonesia sebagai salah satu langkah pencegahan virus di level masyarakat. Namun terkait dengan varion Omicron yang lebih berbahaya, masyarakat Indonesia harus lebih berhati-hati. Banyak peneliti yang menyarankan agar negara memberikan dosis booster, namun jumlah masyarakat Indonesia yang telah divaksinasi baru sekitar 94 juta dari 272 juta jiwa. Pemberian booster saat ini tentu akan menghasilkan ketimpangan vaksinasi, karena baru sekitar 35% masyarakat Indonesia yang mendapatkan vaksin.