Darurat Militer Korea Selatan: Institution Building Menghadapi Self Coup
Pada pukul 22:22 waktu Korea (KST) 3 Desember 2024 Presiden Korea Selatan Yoon Sook-yeol mendeklarasikan darurat militer untuk menghancurkan elemen anti-negara serta menyelamatkan demokrasi liberal Korea Selatan yang menurutnya terkekang oleh dominasi partai oposisi di Majelis Nasional Korea Selatan dan elemen pro Korea Utara yang sedang berusaha untuk mengganti sistem pemerintahan negara. Tak lama setelah Yoon mendeklarasikan darurat militer, Ketua Majelis Nasional Korea Selatan mendesak majelis mengadakan sesi darurat untuk membuat sebuah resolusi yang membatalkan deklarasi darurat militer yang dibuat oleh Presiden Yoon. Hal tersebut berhasil dilakukan pada pukul 01:00 KST 4 Desember 2024, pada pukul 04:30 KST Presiden Yoon resmi menarik deklarasi darurat militer.
Aksi yang Presiden Yoon lakukan merupakan contoh paling nyata dari sebuah self coup. Dalam aksi ini seorang pemimpin negara yang naik atau terpilih secara sah berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya degan cara tidak sah. Dalam konteks sejarah Korea Selatan, aksi yang dilakukan Presiden Yoon merupakan self coup kedua yang dilancarkan oleh Presiden Korea Selatan sejak tahun 1972. Pada saat itu Presiden Park Chung-hee melancarkan Restorasi Oktober (October Restoration) yang memperkokoh posisinya sebagai diktator Korea Selatan dan menggantikan konstitusi tahun 1962 dengan Konstitusi Yushin. Selain itu deklarasi darurat militer yang disiarkan pada 3 Desember 2024 merupakan deklarasi pertama sejak tahun 1980 pada saat kepala Komando Pertahanan dan Keamanan (DSC) Angkatan Bersenjata Korea Selatan dan pemimpin kelompok militer rahasia Hanahoe Jendral Chun Doo-hwan mendeklarasikan darurat militer setelah melancarkan kudeta yang menumbangkan pemerintah transisi Korea Selatan yang dipimpin oleh Presiden Choi Kyu-hah pada 12 Desember 1979.
Akan tetapi self coup yang dilancarkan oleh Presiden Yoon merupakan kegagalan besar karena seluruh partai politik yang berada di Majelis Nasional berhasil mengeliminasi upaya tersebut dengan suara bulat. Selain itu terdapat juga tekanan besar dari masyarakat sipil Korea Selatan karena sebelum mendeklarasikan darurat militer Presiden Yoon telah terlibat dalam berbagai kontroversi yang membuat popularitasnya menurun drastis. Hal ini membuat 58 persenwarga Korea Selatan menginginkan Presiden Yoon mengundurkan diri atau dilengserkan. Setelah darurat militer berakhir lebih banyak warga Korea Selatan yang menginginkan Presiden Yoon untuk mengundurkan diri atau dimakzulkan karena mereka geram terhadap upaya self coup yang dilakukan presiden. Alhasil wajar saja jika self coup yang dilakukan oleh Presiden Yoondianggap oleh beberapa ahli seperti Peneliti Senior di Center for A New American Security Dr. Duyeon Kim sebagai bunuh diri politik (political suicide). Pandangan yang serupa juga disampaikan oleh Profesor Gi-Wook Shin dari Universitas Stanford karena setelah upaya self coup gagal Presiden Yoon harus menghadapi dua pilihan berat yakni pengunduran diri atau pemakzulan.
Dari penjelasan ini bisa dilihat bahwa walaupun saat ini politik domestik Korea Selatan terpolarisasi, komitmen masyarakat dan institusi terhadap keberlangsungan demokrasi tetap kokoh. Komitmen ini ada karena dua hal yaitu institution building yang mumpuni serta masyarakat sipil yang sehat (healthy civil society) dan aktif dalam berdemokrasi. Dari segi institution building Korea Selatan merupakan negara yang memiliki kemajuan besar dalam berdemokrasi. Kemajuan tersebut bisa terjadi karena institusi pemerintahan Korea Selatan yang harus menjalankan fungsi checks and balances berjalan secara efisien dan hal tersebut dapat dilihat dalam bagaimana Majelis Nasional memobilisasi diri mereka untuk menghentikan deklarasi darurat militer ilegal yang dilakukan oleh Presiden Yoon. Akan tetapi aksi tersebut bukan yang pertama kalinya karena pada 9 Desember 2016 Majelis Nasional Korea Selatan berhasil melengserkan Presiden Park Geun-hye yang terjerat kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Kedua contoh tersebut menunjukan kemajuan Korea Selatan dalam menjalankan sistem pemerintahan demokrasi. Hal ini tentu merupakan suatu lompatan besar karena sebelum tahun 1987 institusi pemerintahan Korea Selatan belum bisa menjalankan fungsi checks and balances karena politik mereka pada saat itu didominasi oleh militer. Hal ini bisa dilihat di masapemerintahan Park Chung-hee dan Chun Doo-hwan yang mana kedua presiden menggunakan kekuatan militer untuk menghadapi masalah yang berpotensi mengancam kekuasaan mereka. Hal ini terlihat dengan dua contoh peristiwa sejarah Korea Selatan yang hingga saat ini masih diperingati yaitu Pemberontakan Busan-Masan dan Pemberontakan Gwangju.
Sementara itu dari segi masyarakat sipil yang sehat warga Korea Selatan juga telah menunjukan komitmen mereka untuk menjaga sistem demokrasi, hal ini terlihat pada saat ratusan demonstran berusaha untuk menghentikan pasukan darurat militer memasuki gedung Majelis Nasional. Selain itu para demonstran juga aktif melakukan protes di area gedung Majelis Nasional agar darurat militer dibatalkan walaupun pada saat itu sudah malam menuju dini hari. Komitmen warga Korea Selatan untuk menjaga demokrasi sendiri datang dari tahun 1960an pada saat pemerintah Korea Selatan masih menghadapi banyak masalah seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kecenderungan untuk bersikap otoriter. Gerakan masyarakat sipil sendiri merupakan akibat dari otoritarianisme pemerintahan Korea Selatan karena masyarakat menginginkan kebebasan untuk memberikan pendapat. Alhasil tujuan utama dari gerakan ini secara garis besar adalah untuk menghancurkan otoritarianisme dan melakukan demokratisasi. Gerakan ini berhasil dalam mencapai tujuan tersebut dengan melengserkanpemerintahan otoriter Presiden Syngman Rhee pada tahun 1960 dan kediktatoran militer yang dipimpin Chun Doo-hwan pada 1987 dengan aksi protes besar dan spontan yang terjadi di berbagai wilayah Korea Selatan.