Dampak Pengetatan Aturan Covid-19, Ribuan Masyarakat Eropa Protes

Peningkatan kasus Covid-19 di Eropa, terutama dengan varian baru Delta secara signifikan mempengaruhi kondisi sosial dan kesehatan di wilayah Eropa. Gelombang terbaru yang disebut sebagai gelombang keempat membuat Jerman dan Belanda mengeluarkan kebijakan ketat.
Belanda memberlakukan lockdown sebagian, sedangkan Jerman sudah memperingatkan warganya mengenai rencana batasan baru yang akan dirilis. Di wilayah Jerman, tingkat infeksi saat ini menunjukkan adanya rata-rata kematian per-hari mencapai 200 orang.
Lothar Wieler, Kepala Badan pengendalian penyakit Jerman, Robert Koch Institute, menyatakan pada konferensi pers bahwa kegiatan publik harus dilarang dan pengembangan vaksin terbaru harus terus dilakukan. Wieler juga menambahkan, dengan penambahan kasus sekitar 50,000 per hari, maka akan terjadi peningkatan pasien di rumah sakit.
Sejauh ini, hampir 100,000 masyarakat Jerman meninggal akibat Covid-19, sehingga tingkat infeksi juga lebih tinggi dari biasanya. Pemerintah Jerman banyak bergantung pada paspor vaksin dan batasan akses di wilayah tertentu.
Di sisi lain, pemerintah Belanda menghadapi peningkatan kasus hingga 21,000 per hari, sehingga pemerintah memberlakukan kembali keharusan memakai masker dan kartu vaksin.
Dr. Hans Kluge mengingatkan bahwa akan terdapat pertambahan kematian akibat Covid-19 mencapai 500,000 orang jika aksi darurat segera ditetapkan.
Protes Lockdown di Eropa
Sejak mengalami lockdown ketiga di tahun lalu, banyak pemuda turun ke jalan guna menolak pembatasan terbaru yang dilakukan oleh pemerintah. Di Belanda, setidaknya 50 orang ditangkap dan lima petugas kepolisian terluka di tengah keramaian di Rotterdam yang disertai dengan tembakan.
Demonstrasi awalnya berlangsung secara damai, namun berubah menjadi kerusuhan disertai kekerasan saat ratusan orang mulai menyerang kepolisian, menghancurkan mobil, dan membakar tempat sampah.
Wali Kota Rotterdam, Ahmed Aboutaleb, menilai kerusuhan yang terjadi membuat polisi perlu menggunakan senjata untuk melindungi diri mereka sendiri. Otoritas Belanda menggunakan gas air mata, anjing polisi, dan peralatan lain untuk menghentikan para pemuda yang menjadi provokator.
Para demonstran berteriak “Kebebasan, kebebasan, kebebasan!” Kebanyakan dikarenakan pengetatan aturan, terutama bagi mereka yang belum divaksin. Keharusan vaksinansi vaksin Covid-19 membuat masyarakat baik yang sudah divaksin, terutama yang belum divaksin, kesulitan masuk ke restoran, pusat pembelanjaan, dan acara olahraga di wilayah lokal mereka.
Bahkan terdapat masyarakat yang menilai saat kebijakan pemerintah sebagai tirani yang dijadikan aturan hukum, sehingga kerusahan disertai kekerasan adalah sebuah kewajiban.
Di wilayah lain yakni Austria, sekitar 40,000 orang melakukan demonstrasi menolak pembatasan yang dinilai berlebihan, terutama melihat rendahnya tingkat vaksinasi nasional. Austria juga turut membatasi arus masuknya turis hingga tanggal 13 Desember karena pemberlakuan lockdown. Negara Austria menjadi negara Eropa pertama yang mengumumkan bahwa vaksinasi Covid-19 menjadi sebuah keharusan hukum. Peraturan yang diharapkan berlaku pada Februari nanti isu masih dalam tahap diskusi menyeluruh.
Ribuan masyarakat Eropa lain juga tidak ketinggalan menolak pembatasan Covid-19 seperti terjadi di Kroasia, Italia, Prancis, dan Denmark. Meskipun di beberapa wilayah Eropa tingkat vaksinasi sudah tinggi, namun kampanye vaksinasi tetap diperlukan untuk mencapai kekebalan kelompok.
Andrea Ammon, Direktur Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa menilai keharusan vaksin merupakan gambaran adanya “pedang bermata dua” di mana aturan ketat mampu memberikan pemikiran pada masyarakat yang meragukan vaksin.