Pembentukan pemerintahan merupakan suatu proses politik untuk melakukan pemilihan perdana menteri dan anggota-anggotanya dalam pemerintahan. Pemerintahan yang dibentuk dan didukung oleh Parlemen akan mendapatkan legitimasi yang lebih kuat yang juga dapat mendukung implementasi kebijakan yang lebih efektif. Dalam sistem semi presidensial kesatuannya, seperti di Tunisia, presiden memiliki peran yang terbatas, sebaliknya perdana menteri sebagai kepala pemerintahaan berfungsi dalam pembuatan kebijakan dalam pemerintahan yang dibentuk.
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) menyatakan dalam proses pembentukan atau perubahan pemerintahan perlu melihat prinsip dasar mekanisme demokrasi parlementer.[1] Perdana Menteri tidak secara langsung dipilih oleh masyarakat, namun normalnya akan dinominasikan atau dipilih oleh kepala negara.[2] Berdasarkan hal tersebut, maka peran pemimpin atau kepala negara dalam pembentukan pemerintahan juga penting karena kepala negara perlu memilih perdana menterinya.
Pemilihan atau penunjukkan perdana menteri didasari berbagai faktor baik tingkatan individual, domestik, dan internasional. Isu pemegang kekuasaan ini juga berkaitan dengan isu gender karena terdapat ketimpangan yang bahkan untuk negara-negara maju pun, sebagai penyebar nilai demokrasi dan nilai turunannya, hanya sedikit wanita yang mampu mencapai posisi teratas pembuat kebijakan. Secara global, terdapat pertumbuhan pemimpin wanita yakni dari 21,3 persen di 2020 dan naik sebesar 0,6 persen menjadi 21,9 persen di tahun 2021.[3] Dari jumlah tersebut, hanya ada sepuluh negara yang memiliki wanita sebagai Kepala Negara dan ada sekitar tiga belas negara yang menjadikan wanita sebagai kepala pemerintahan.[4] Total hanya sekitar 23 dari 193 negara yang memiliki pemimpin wanita, di mana kebanyakan berada di negara Eropa, dan beberapa lain di Asia dan Afrika.[5]
Isu peran dan kepemimpinan wanita ini berkaitan dengan fenomena politik yang terjadi di Tunisia, di mana Presiden Tunisia, Kaeis Saeid, yang dikritik akan mencederai demokrasi domestiknya mengumumkan pada 29 September lalu terkait perdana menteri pemerintahan terbarunya. Menariknya untuk pertama kali dalam sejarah perpolitikan Tunisia, seorang wanita menjadi perdana menteri. Konstruksi sosial dan kepercayaan setempat yang membuat hak dan kebebasan wanita, sehingga keterlibatan wanita dalam politik Tunisia seakan menjadi nafas baru peningkatan peran wanita. Najla Bouden Romdhane menjadi wanita terpilih tersebut, namun mengapa Said memilih wanita dalam pemerintahan terbarunya?
Pemerintah Baru Tunisia Pasca “Kudeta” Saeid
Pada bulan Juli lalu, politik domestik Tunisia dikejutkan dengan pencabutan kekuasaan perdana menteri oleh presiden Tunisia. Keadaan ini masih membuat kacau sosial dan politik Tunisia karena masyarakat turun ke jalan dan elit politik terutama dari partai koalisi oposisi presiden Tunisia menuding Saeid akan mengubah demokrasi di Tunisia. Presiden Tunisia Kaeis Said pun mendapat banyak tekanan untuk segera membentuk pemerintahan baru agar formulasi kebijakan dan arah pemerintahan menjadi lebih jelas. Penunjukkan Romdhane menjadi Perdana Menteri Tunisia yang baru membuatnya menjadi wanita pertama yang memimpin di Tunisia bahkan di wilayah negara-negara Arab.[6]
Saeid menyatakan penunjukkan Romdhane sebagai suatu sejarah, kebanggaan, serta semangat bagi wanita Tunisia.[7] Saied sebagai kepala negara menugaskan Romdhane sebagai kepala pemerintahan untuk membentuk pemerintahan Tunisia secepatnya, sehingga permasalahan krisis politik ekonomi domestik bisa diselesaikan.[8] Namun mengapa memilih wanita dan mengapa sekarang? Keputusan ini berkaitan dengan isu domestik dan internasional. Sejak tindakan “sepihak” Saeid membubarkan parlemen, beberapa partai oposisi membentuk koalisi anti-Saeid. Penyortiran anggota parlemen oleh Presiden Saeid dilakukan dengan menurunkan elit yang dianggap korup dan menghambat pembangunan sosial politik Tunisia.
Elit-elit politik yang Saeid bekukan dan turunkan jabatannya, terutama mantan Perdana Menteri, Hichem Mechichi, merupakan elit yang didukung partai terbesar di parlemen Tunisia yakni Ennahda.[9] Sebagai pihak yang dirugikan, gejolak perpolitikan pun semakin terasa karena ratusan anggota Ennahda mengundurkan diri. Sekitar 113 pejabat terdiri dari anggota parlemen dan mantan menteri di Partai Ennahda melakukan pengunduran diri massal dikarenakan dampak dari pembekuan parlemen oleh Saeid dan juga permasalahan kepemimpinan serta perpecahan internal partai politik terbesar tersebut. Pamor Partai Ennahda ini juga diperburuk dengan menurunnya kualitas pelayanan publik dan kondisi stagnasi ekonomi di Tunisia, sehingga dukungan masyarakat pada partai ini juga melemah yang menyebabkan mereka harus kalah di pemilihan umum terakhir.
Lebih jauh lagi, setidaknya terdapat empat partai yakni The Democratic Current Party (Attayar), Ettakatol (FDTL), Partai Republik (Al Jomhouri) dan Afek Tounes yang menyatakan penolakan pada monopoli kekuasaan Saeid.[10] Dengan dasar membela demokrasi dan konstitusi, partai-partai ini menekan Saeid yang disertai aksi protes baik dari masyarakat dan elit politik. Ketakutan kembali ke masa kepemimpinan “diktator” membuat setidaknya ratusan bahkan ribuan masyarakat pro-kontra turun ke jalan.[11] Banyaknya kursi kosong pemerintahan akan menghambat formulasi kebijakan Tunisia, sehingga langkah Saeid memilih Romdhane, seorang wanita, menjadi salah satu upaya pembentukan segera pemerintahan dan cerminan realisasi penggunaan dan peningkatan peran wanita dalam politik Tunisia. Sebelumnya Saeid berjanji akan membawa perubahan bagi Tunisia, termasuk di dalamnya peningkatan partisipasi wanita dalam sosial politik Tunisia.[12] Dengan penunjukkan Romdhane, setidaknya terdapat satu janji politiknya tersebut yang terealisasikan.
Dari lingkup internasional, Prancis dan Jerman menekankan pentingnya untuk tetap mempertahankan dan mengimplementasikan demokrasi di Tunisia. Pencapaian demokrasi ini akan mendukung kondisi kestabilan domestik di Tunisia termasuk hubungan bilateral dengan Jerman.[13] Bagi Eropa, demokrasi di Tunisia penting tetap berjalan untuk mengedepankan nilai demokrasi, sehingga sebagai gantinya Eropa akan mendukung perekonomian Tunisia. Dengan waktu dan kondisi yang mendesak ini, Saeid cukup cerdik dengan mengangkat isu kesetaraan yakni peningkatan partisipasi wanita dalam perpolitikan domestik yang sebenarnya sudah bergejolak sejak tahun 2018 lalu.
Kepemimpinan Wanita dalam Masa Krisis dan Skeptisme
Sejak masa pencalonan, Saeid secara tegas menolak konsep kesetaraan gender dalam isu hak waris, namun Saeid juga menekankan Ia setuju dengan perlunya kesetaraan sosial-ekonomi di Tunisia.[14] Pandangan ini berkaitan dengan prinsip hak waris dalam agama Islam yang Saeid nilai tidak berdasarkan kesetaraan, namun lebih pada keadilan. Kondisi sosial Tunisia yang masih konservatif dan tradisionalis membuat Saeid perlu memperhatikan dukungan politik masyarakatnya untuk mempertahankan suara dan legitimasi kekuasaannya. Saeid menyadari sensitifnya isu ini terutama jika dilihat pada tahun 2018 lalu, Caid Essebsi, mantan Presiden Tunisia, yang didukung karena mengangkat isu kesetaraan gender, namun disaat yang sama kehilangan suara dari masyarakat yang memiliki pandangan konservatif.
Selain itu, visi dan misinya yang ingin membawa perubahan cukup mampu mengambil hati para pemilih, terlihat dari kemenangannya di pemilihan sebelumnya. Namun, masalahnya memang cara yang diambil Saeid cukup ekstrem karena tidak ingin mendengarkan elit yang lainnya dan pembekuan parlemen beberapa waktu lalu.[15] Dalam sistem demokrasi ini, Saeid tetap perlu penyeimbang penerima masukan-masukan elit dan masyarakatnya. Di satu sisi Romdhane memang termasuk baru dalam perpolitikan, sehingga para kritikus menilai Saeid hanya menggunakan isu kepemimpinan wanita untuk meningkatkan citra dirinya dan tetap memberikan pengaruh serta kendali politik atas Romdhane dan Tunisia.[16] Dengan pengalaman yang sedikit, banyak juga yang menilai Saeid akan mengeksploitasi Romdhane karena keterbatasan tersebut.
Namun, jika dilihat dari sisi Romdhane sendiri, Romdhane pernah memegang posisi senior di Kementerian Pendidikan Tinggi Tunisia. Romdhane juga memandang positif peningkatan partisipasi wanita ini. Dengan kondisi krisis sosial, ekonomi, dan politik Tunisia saat ini, Romdhane akan mendapat banyak tekanan dan sorotan domestik dan dunia. Terkait isu kepemimpinan wanita, Harvard Business Review dalam publikasi risetnya menemukan bahwa wanita merupakan pemimpin yang lebih baik selama masa krisis, salah satunya krisis Covid-19.[17]
Riset tersebut menemukan pandangan terkait efektivitas kepemimpinan wanita dan pria dalam masa krisis mengindikasikan wanita memberikan kepemimpinan yang lebih baik. Wanita dinilai lebih memiliki inisiatif, kecerdasan, lebih menginspirasi dan megembangkan hubungan yang lebih baik dengan pihak lain. Dalam masa krisis, nilai yang dibutuhkan dari seorang pemimpin adalah keinginan untuk belajar kemampuan baru dan memperhatikan perkembangan anggota meskipun dalam keadaan sulit, serta memiliki empati yang kebanyakan ditunjukkan oleh seorang wanita.
Sifat dan nilai-nilai ini dibutuhkan juga dalam konteks Tunisia, karena krisis baik ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi di Tunisia memerlukan pandangan dan campur tangan wanita, bersama dengan pemimpin lainnya. Meskipun Romdhane cukup baru dalam perpolitikan, namun latar belakang pekerjaan, kepemimpinannya, serta sifat-sifat wanita menjadi beberapa variabel yang membantu dalam proses pembentukan pemerintahan di Tunisia. Melihat ribuan masyarakat anti-Saeid kembali turun ke jalan dan memprotes cara Saeid yang bertentangan dengan demokrasi, Saeid juga di sisi lain perlu mengubah pendekatannya. Dengan adanya Romdhane, isu ini digunakan Saeid untuk menurunkan tensi sosial masyarakat, namun tetap Saeid perlu mendengarkan dan bekerja sama dengan Romdhane mengatasi krisis berkepanjangan Tunisia.
[1] Elliot Bulmer, (2017), Government Formation and Removal Mechanisms, http://constitutionnet.org/sites/default/files/2017-10/government-formation-and-removal-mechanisms-primer.pdf
[2] Ibid.,
[3] UN Women, 2021, Women in politics: 2021, https://www.unwomen.org/en/digital-library/publications/2021/03/women-in-politics-map-2021
[4] UN Women, (2021), Facts and figures: Women’s leadership and political participation, https://www.unwomen.org/en/what-we-do/leadership-and-political-participation/facts-and-figures#_edn3
[5] Rachel Vogelstein dan Alexandra Bro, (2021), Women’s Power Index, https://www.cfr.org/article/womens-power-index
[6] Scott Neuman, (2021), Tunisia’s New Prime Minister Is The 1st Woman To Lead A Government In The Arab World, https://www.npr.org/2021/09/29/1041431089/tunisias-new-prime-minister-is-the-first-woman-to-lead-an-arab-world-government
[7] Ibid.,
[8] Sami Hamdi, (2021), Saied’s Appointment of Tunisia’s First Woman Prime Minister is a PR Stunt, https://insidearabia.com/saieds-appointment-of-tunisias-first-woman-prime-minister-is-a-pr-stunt/
[9] Nur Aini, (2021), Empat Partai Politik Tunisia Menentang Presiden Saeid, https://www.republika.co.id/berita/r06dkj382/empat-partai-politik-tunisia-menentang-presiden-saeid
[10] Ibid.,
[11] Al Jazeera, (2021), Hundreds of Tunisians protest President Saied’s ‘power grab,’ https://www.aljazeera.com/news/2021/9/26/hundreds-gather-in-tunisia-to-oppose-president-saieds-power-grab
[12] DW, (2021), Tunisia: President promises constitutional changes amid opposition, https://www.dw.com/en/tunisia-president-promises-constitutional-changes-amid-opposition/a-59156269
[13] Reuters, (2021), Merkel stresses importance of Tunisia’s democratic achievements, https://www.reuters.com/world/europe/merkel-stresses-importance-tunisias-democratic-achievements-2021-09-29/
[14] Iman Zayat, (2020), Tunisian president rejects gender equality in inheritance, https://thearabweekly.com/tunisian-president-rejects-gender-equality-inheritance
[15] Vivian Yee, (2021), Populist Hero or Demagogue: Who Is Tunisia’s President?, https://www.nytimes.com/2021/08/26/world/middleeast/tunisia-president-kais-saied.html
[16] Jennifer Holleis, et al., (2021), Tunisia’s first female PM: Mere symbolism or credible change?, https://www.dw.com/en/tunisias-first-female-pm-mere-symbolism-or-credible-change/a-59367133
[17] Jack Zenger dan Joseph Folkman, (2020), Research: Women Are Better Leaders During a Crisis, https://hbr.org/2020/12/research-women-are-better-leaders-during-a-crisis