Diskriminasi Meningkat, Runtuhnya Sekuler India?
Seorang perempuan bernama Pooja Shakun Pandey dalam pertemuan di wilayah utara India menyerukan serangan pada masyarakat Muslim. Pandey merupakan anggota partai Akhil Bharat Hindu Mahasabha (ABHM) yakni partai politik sayap kanan India. “Jika 100 orang dari kita siap untuk membunuh 2 juta dari populasi mereka, maka kita akan menang dan membuat India sebagai negara Hindu,” kata Pandey.
Dilaporkan NPR, dalam pertemuan tersebut terdapat juga dua politisi yang dekat dengan Perdana Menteri India Narendra Modi. Partai Akhil Bharat Hindu Mahasabha (ABHM) dan Partai Modi yakni Bharatiya Janata Party (BJP), salah satu partai terbesar di India, sama-sama merupakan partai sayap kanan.
Kritik bermunculan usai video Pandey menyebarkan ancaman atas masyarakat muslim India beredar di internet. Mulai dari kepala militer, matan jaksa, akademisi, dan aktivis hak asasi mengkritik pernyataan tersebut. Peristiwa ini bukan yang pertama kali karena sebelumnya Pandey di tahun 2020 juga ditangkap karena melontarkan kalimat provokatif atas anggota Tablighi Jamaat.
Awal kejadian, petugas berwenang tidak melakukan penangkapan, sehingga memunculkan kritik dan tekanan publik. Akademisi dan mahasiswa bahkan mengirimkan surat ke Modi. Mereka mempertanyakan tindakan ‘diam’ Modi dan ancaman integritas serta kesatuan India. Lambatnya tindakan petugas berwenang mengetahui adanya perlindungan para pelaku dari elit politik.
Setelah itu, Mahkamah Agung India melaksanakan investigasi atas ujaran kebencian dan ancaman genosida Pandey karena mencemarkan kepercayaan agama lain.
Ancaman pembunuhan pada masyarakat Muslim berpotensi meningkatkan tindakan persekusi dan diskriminasi atas masyarakat Muslim di India. Lalu, mengapa para pemimpin Hindu berani menyuarakan ancaman pembantaian Muslim di India?
‘Diskriminasi’ dan pesimisme harmonisasi agama di India
Kestabilan keadaan sosial penting guna menjaga kesatuan dan integritas India. Salah satu aspek pentingnya termasuk menjaga dan mendukung keadilan dan kesetaraan hak semua pemeluk agama di India, baik muslim maupun Hindu.
Milan Vaishnav dalam tulisannya “Religious Nationalism and India’s Future” menjelaskan bahwa terdapat beberapa variabel yang sama dalam pergerakan nasionalisme. Salah satunya yakni politik agama seringkali berupaya mendefinisikan kembali dasar identitas nasional dengan cara mengecualikan atau meminggirkan pemeluk agama minoritas.
Sejak Modi memegang kekuasaan di tahun 2014, terdapat peningkatan kekerasan, diskriminasi, dan persekusi atas 14 persen populasi muslim India. Kejadian diskriminasi pada akhir tahun 2019 tersebut terus bergulir hingga tahun 2020. Pada saat itu, India menyetujui amandemen aturan tahun 1955 mengenai hak kewarganegaraan.
Aturan undang-undang kewarganegaraan baru kontroversial tersebut mempercepat proses naturalisasi bagi kaum minoritas agama yang mengalami persekusi di wilayah Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan. Namun, agama Muslim menjadi agama yang dikecualikan dari aturan tersebut.
Diskriminasi ini membuat masyarakat Muslim India protes ke jalan. Pada tahun 2020 tersebut, sekitar 20 orang tewas saat terjadi bentrokan antara masyarakat Muslim dan Hindu.
Perbedaan perlakuan atas Muslim India memunculkan polarisasi antar masyarakat dan politisi. Perubahan pemahaman kelompok di India berpotensi semakin menekan kesetaraan akses hak asasi atas Muslim India di negara nya sendiri.
Menurut laporan dari Centre for the Study of Developing Societies (CSDS), terdapat tensi bahwa Muslim India lebih didiskriminasi daripada minoritas lain di India seperti Kristen dan Sikh. Sekitar 44 persen dari responden Muslim India menyatakan mereka mengalami diskriminasi dari teman-temannya. Dari orang-orang ini, sekitar 13 persen mengaku diskriminasi sering terjadi, dan 31 persen menyatakan diskriminasi terjadi beberapa kali.
Kritik “Diamnya” Modi atas diskriminasi Muslim India
Seperti kebanyakan negara, India menolak adanya anggapan bahwa terdapat tindakan diskriminasi atas Muslim India. Mantan Dubes India untuk Indonesia, Pradeep Kumar Rawat, juga menilai tidak ada diskriminasi pada Muslim India. Rawat menggambarkan kondisi pluralisme di India yang mirip dengan di Indonesia. Kontak sosial antar agama di India cukup sering terjadi, dan tidak jarang berujung kekerasan.
Minimnya tindakan Modi atas diskriminasi Muslim berkaitan dengan pandangan dan arah politik partai Modi. Pandangan politik partai Modi yakni BJP berkaitan erat dengan nilai nasionalis Hindu, dan tidak jarang memprioritaskan kepentingan umat Hindu. Tidak mengherankan karena memang mayoritas masyarakat India beragama Hindu.
Namun, kondisi ini tidak membenarkan tindakan mendiskriminasi kepentingan warga negara India minoritas di bawah kelompok lainnya. Para pemimpin Hindu, terutama Pandey yang sudah beberapa kali mengutarakan ancaman atas Muslim India menjadi refleksi masih kentalnya kaitan etnonasionalisme dengan sosial di India.
Peningkatan kekerasan dan diskriminasi terjadi karena adanya pembiaran dan dukungan atas tindakan tersebut.
Hindu dan Pilihan Politik
Lemahnya perlindungan atas Muslim di India dikaitkan dengan perpolitikan pemerintahan Modi. Meskipun India negara sekuler, namun Modi secara signifikan melakukan fokus perubahan ideologi India menjadi lebih Hindu nasionalis. Secara domestik, hal ini penting karena keadaan masyarakat yang memang melihat pentingnya keyakinan dalam lingkup sosial.
Pandangan ini terlihat dari survey Pew Research atas sekitar 30,000 orang dewasa di India pada tahun 2019 pasca kemenangan partai Modi. Lebih dari setengah yakni 64 persen responden menilai memiliki agama Hindu dan bisa berbahasa Hindi menjadi aspek paling penting atau utama. Dari jumlah ini, sekitar 60 persen yang percaya pentingnya agama dan bahasa Hindu juga memilih dan mendukung partai BJP.
Partai BJP menggunakan isu yang sama pada awal kemenangan Modi sejak tahun 2014 lalu. Resep kemenangannya yakni menyatukan umat Hindu dan membuat mereka memilih sebagai satu kesatuan. Tidak jarang mereka juga meningkatkan isu Islamofobia dan mempromosikan pentingnya teks Hindu kuno.
Pendekatan dari bawah yakni masyarakat kalangan bawah semakin menguatkan kepopuleran Modi. Dukungan politik Modi menurun, namun kepopulerannya masih paling kuat di India.
Memiliki dukungan kepopuleran politik dapat meningkatkan kesempatan untuk memenangkan kembali kekuasaan. Namun, Modi tetap harus mampu menyatukan berbagai kepentingan dari kelompok sosial dan politik yang berbeda karena negara India merupakan negara sekuler. Semua warga negara memiliki kesempatan dan hak yang sama dalam memenuhi kebutuhannya.