Dikenal dengan Persian Gulf War atau Gulf War, pasukan Irak melintasi perbatasan masuk ke Kuwait pada awal 2 Agustus 1990. Pemimpin Irak pada masa tersebut, Saddam Hussein, memerintahkan invasi dan pendudukan Kuwait. Terdapat kepentingan ekonomi, politik, serta keamanan dalam invasi Irak ke Kuwait. Beberapa adalah tujuan mendapatkan cadangan minyak besar negara tersebut, membatalkan hutang besar yang dimiliki Irak kepada Kuwait, dan memperluas kekuasaan Irak di wilayah tersebut. Namun terdapat berbagai spekulasi mengenai niat sebenarnya di balik tindakan Irak, termasuk ketidakmampuan Irak untuk membayar lebih dari USD14 miliar yang telah dipinjam dari Kuwait untuk membiayai Perang Iran-Irak, serta peningkatan produksi minyak Kuwait yang menurunkan pendapatan bagi Irak.
Meskipun ada beberapa perlawanan dari pasukan Kuwait, pasukan Irak dengan cepat mendirikan kendali atas Kota Kuwait dan segera setelahnya seluruh wilayah Kuwait. Emir Kuwait, anggota keluarganya, dan anggota pemerintah melarikan diri dari Kuwait segera sebelum pasukan Irak memasuki Kota Kuwait. Emir membentuk pemerintahan dalam pengasingan di Arab Saudi, yang terus melakukan urusan eksternal yang sangat luas bagi Kuwait, dan wakil-wakilnya terus mewakili Kuwait di Perserikatan Bangsa-Bangsa serta negara-negara yang menjalin hubungan diplomatik dengannya.
Invasi ini juga terjadi setelah periode ketegangan tinggi di mana Irak telah mengajukan beberapa tuntutan kepada Kuwait dan menuduh tindakan-tindakan yang merugikan hak dan kepentingan Irak. Berbagai upaya Arab untuk meredakan ketegangan tersebut gagal. Setelah invasi, Irak menyatakan bahwa intervensinya dilakukan atas permintaan rakyat Kuwait (dan untuk sementara waktu, pemerintahan yang disponsori oleh Irak didirikan di Kuwait), tetapi pada tanggal 8 Agustus, Irak menggabungkan Kuwait dan pada tanggal 28 Agustus menyatakan bahwa Kuwait, kecuali sebagian wilayahnya yang diatribusikan kepada Basra, menjadi sebuah provinsi Irak.
Sepanjang tahun 1980-an, produksi minyak Kuwait berada di atas kuota OPEC yang wajib dipatuhi, yang membuat harga minyak tetap rendah. Irak menafsirkan penolakan Kuwait untuk mengurangi produksi minyaknya sebagai tindakan agresi. Persepsi ancaman berkaitan dengan teori-teori tentang perang, pencegahan, keterikatan, dan penyelesaian konflik. Pada awalnya, ancaman diartikan sebagai kekuatan militer, tetapi kemudian berkembang menjadi aspek untuk mempertimbangkan ‘niat’ atau intensi sebagai sumber ancaman dari kapabilitas militer. Konsep ini menghasilkan model-model “rasionalis” tentang perang dan pencegahannya di mana sinyal dan kredibilitas menjadi inti dari analisis. Berkaitan dengan ini, maka perlu juga melihat psikologi politik dengan memperhatikan perspektif pemimpin dalam melihat ancaman dan bukti tentang niat dan kapabilitas militer yang terjadi.
Perspektif Sadam Hussein dalam invasi Kuwait
Pada tahun 1989, Saddam Hussein semakin melihat masalah ekonomi dan politik domestiknya sebagai bagian dari upaya lebih besar yang diintervensi dari luar Irak untuk mengguncang rezimnya dan mengurangi peran Irak di wilayah tersebut. Pemimpin rezim ini percaya pada tahun itu bahwa sejumlah kekuatan asing, termasuk Iran, Arab Saudi, dan Amerika Serikat, berusaha menyusup ke dalam masyarakat Irak untuk mengumpulkan informasi dan memberikan tekanan pada pemerintahan. Pada bulan Oktober 1989, dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, James Baker, Tariq Aziz, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Irak, menuduh Washington melakukan upaya rahasia untuk menggulingkan rezim Irak. Baker mencoba meyakinkan Aziz bahwa kebijakan Amerika Serikat sebaliknya, yaitu mencari hubungan yang lebih baik dengan Irak. Presiden Bush juga menyampaikan pesan yang sama kepada Saddam pada bulan April 1990, melalui duta besar Arab Saudi di Washington, Pangeran Bandar bin Sultan Al Sa’ud, ketika Saddam, melalui Arab Saudi, menyampaikan kecurigaan serupa tentang niat Amerika.
Pada awal tahun 1990, Irak menuduh Kuwait mencuri minyak Irak melalui pengeboran miring lintas batas, meskipun beberapa sumber Irak mengindikasikan bahwa keputusan Saddam Hussein untuk menyerang Kuwait sudah dibuat beberapa bulan sebelum invasi sebenarnya. Invasi ini merupakan krisis internasional utama pertama dalam era pasca Perang Dingin, dan juga menjadi awal keputusan AS untuk penggunaan kekuatan militer selama beberapa dekade berikutnya. Mengingat ukuran dan keunggulan teknis pasukan koalisi yang dipimpin Amerika terhadap Irak, serta kesediaan Washington menggunakan kekuatan militer seharusnya menjadi pertimbangan Hussein untuk menarik mundur pasukan Kuwait guna menyelamatkan Irak dari kekalahan dan mungkin sanksi PBB juga akan dicabut. Namun, ia memilih jalur yang lebih berisiko dengan perlawanan militer, dan mengalami kekalahan yang menghancurkan.
Setelah invasi Kuwait, pemerintah Irak menjustifikasi tindakannya dengan mengklaim bahwa Kuwait sebenarnya adalah bagian sah dari Irak (provinsi “ke-19”), yang terpisah dari Irak akibat kolonialisme Inggris. Klaim Irak didasarkan pada kenyataan bahwa Kekaisaran Utsmaniyah tidak pernah melepaskan klaimnya atas Kuwait, menganggapnya sebagai bagian dari provinsi Basra. Mandat Liga Bangsa-Bangsa, yang menciptakan negara Irak, menyebutnya sebagai gabungan dari bekas provinsi-provinsi Utsmaniyah yaitu Basra, Baghdad, dan Mosul. Oleh karena itu, menurut logika Irak, Kuwait seharusnya telah menjadi bagian dari Irak sejak awal. Dua kali sebelumnya pemerintah Irak telah mengajukan klaim ini. Pada tahun 1938, monarki Hashemite menyatakan klaim tersebut, tetapi tidak mengambil tindakan. Pada tahun 1961, setelah Kuwait merdeka dari Inggris Raya, pemerintah Irak di bawah Abd al-Karim Qasim menghidupkan kembali klaim tersebut dan memindahkan pasukan ke arah perbatasan. Inggris Raya segera mengirim pasukan untuk membela Kuwait, dan sejumlah negara Arab yang menentang Irak atas alasan lain juga mengirim pasukan untuk mendukung kemerdekaan Kuwait.