Harga minyak dunia telah melonjak di atas $92 per barel pada minggu ke dua di bulan September, yang merupakan kali pertama dalam hampir 10 bulan terakhir. Kenaikan harga minyak yang baru ini akan berdampak pada kenaikan harga bagi konsumen dan akan berkontribusi pada tingkat inflasi yang lebih tinggi di seluruh perekonomian Amerika Serikat. Banjir di Libya terjadi hanya seminggu setelah Rusia dan Arab Saudi mengumumkan rencana untuk memperpanjang pemangkasan pasokan minyak secara agresif, yang telah membuat harga minyak naik.
Para ahli menyebutkan bahwa lonjakan harga minyak ini adalah akibat dari banjir parah yang melanda Libya, yang sementara waktu akan mengganggu ekspor minyak dari negara OPEC tersebut. Libya biasanya menghasilkan sekitar 1 juta barel minyak per hari pada bulan Agustus, menurut data dari OPEC. Selain itu, Libya memiliki pelabuhan penting, “Libya memiliki beberapa pelabuhan yang saat ini tidak dapat melakukan ekspor,” kata Matt Smith, seorang ahli analisis minyak untuk Amerika di Kpler.
Kementerian dalam negeri pemerintah timur Libya melaporkan pada hari Selasa bahwa setidaknya 5.300 orang diperkirakan tewas. Dari mereka yang tewas, sedikitnya 145 orang adalah warga Mesir, menurut pejabat di kota Tobruk, Libya, pada hari Selasa. Di kota Derna di bagian timur, yang mengalami kerusakan paling parah, sekitar 6.000 orang masih belum ditemukan, kata Othman Abduljalil, menteri kesehatan di pemerintahan timur Libya, saat berbicara dengan Almasar TV Libya.
Badai mematikan ini terjadi di tengah tahun yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan bencana iklim dan cuaca ekstrem yang mencetak rekor, termasuk kebakaran hutan dahsyat dan suhu panas yang berlebihan. Sama seperti suhu laut di seluruh dunia yang meningkat drastis akibat polusi yang menyebabkan pemanasan global, suhu di Mediterania jauh di atas rata-rata, yang menurut para ilmuwan telah memperkuat hujan lebat dari badai ini. “Air yang lebih hangat tidak hanya meningkatkan intensitas hujan dalam badai ini, tetapi juga membuatnya menjadi lebih ganas,” kata Karsten Haustein, seorang ilmuwan iklim dan meteorologi di Universitas Leipzig di Jerman.