Pertaruhan Minyak China di Afghanistan yang dikuasai Taliban
Penandatanganan kesepakatan bernilai jutaan dolar antara Xinjiang Central Asia Petroleum and Gas Co dan Taliban di Kabul pada kamis (18/1/2023) digadang-gadang oleh Taliban sebagai kemenangan ekonomi besar pertamanya sejak kembali memegang tampuk Pemerintah Afghanistan pada Agustus 2021. Kesepakatan tersebut, yang diperkirakan bernilai $540 juta, memberikan Beijing akses ke cekungan Amu Darya di Afghanistan utara.
Afghanistan memiliki ladang mineral berukuran kecil dan menengah, yang sebagian besar masih belum dieksplorasi. Meskipun kesepakatan ini telah menciptakan banyak kebisingan, cekungan ini sebenarnya telah diperuntukkan oleh kepemimpinan Republik yang sekarang lebih dari satu dekade yang lalu untuk dikembangkan oleh China. Pemerintah sementara yang dipimpin Taliban sedang mencari kemenangan ekonomi yang besar dengan menggantungkan sebagian besar kekayaan mineral negara itu di depan China sembari juga mencoba untuk memberi sinyal kepada negara-negara lain.
Tujuan dan tantangan China di Afghanistan
Di luar dimensi politik dan sikap, kepraktisan kesepakatan dan implementasi kesepakatan akan menjadi kuncinya. Bagi China, menjaga Afghanistan dan Asia Tengah dari jangkauan Negara Barat telah menjadi tujuan strategis yang penting, namun hal ini ditantang ketika Rusia menginvasi Ukraina tahun lalu. Banyak negara di kawasan ini, kecuali Tajikistan, menerima kedatangan Taliban karena mereka tidak ingin memicu konflik di perbatasan mereka. Hari ini, mereka secara terbuka mendiskusikan kerja sama regional dengan kelompok tersebut. Invasi Rusia ke Ukraina juga memberikan ruang bagi AS untuk terlibat kembali di Asia Tengah.
Namun, China telah menerima Taliban semenjak berapa waktu yang lalu hingga sekarang telah menjadi kekuatan yang paling terlihat aktif di Kabul sejak Taliban mengambil alih. Beijing telah menjadi tuan rumah bagi beberapa delegasi Taliban. Pada tahun 2021, di Tianjin, beberapa bulan sebelum tampuk pemerintahan Afghanistan direbut oleh Taliban, Menteri Luar Negeri China saat itu, Wang Yi, menjamu Abdul Ghani Baradar, yang sekarang menjabat sebagai Penjabat Deputi Perdana Menteri Afghanistan.
Bukan berarti China tidak memiliki masalah keamanan. Hal ini telah mendorong Taliban untuk bertindak melawan kelompok-kelompok militan yang dipimpin oleh Uighur yang beroperasi di dalam wilayah Afghanistan, seperti Partai Islam Turkistan, yang menargetkan akan tindakan China di Xinjiang yang bergolak. Seberapa kooperatifnya Taliban dengan China dalam hal ini masih diperdebatkan.
Secara ekonomi, pendekatan China terhadap Afghanistan akan menempatkan Pakistan sebagai pusatnya, sehingga kedua negara tersebut akan terikat pada proyek-proyek yang lebih besar seperti Belt and Road Initiative dan Koridor Ekonomi China-Pakistan. Namun, memburuknya situasi keamanan yang cepat antara Taliban dan Pakistan, khususnya mengenai Tehrik-i-Taliban Pakistan, mungkin akan mengganggu rencana Beijing. Serangan baru-baru ini yang menargetkan China di Kabul dan di Pakistan akan menguji khususnya citra catatan buruk China dalam berurusan dengan Islam baik sebagai agama, masyarakat, dan budaya. Fakta bahwa strategi Pakistan di Afghanistan juga bisa jadi mencerminkan masih minimnya kepercayaan pada koridor kekuasaan Beijing.
Perspektif Taliban
Sementara itu, Taliban bertujuan untuk membangun sebuah pemerintahan Islam yang sukses, yang berbeda dari versi sebelumnya. Untuk mencapai hal ini, mereka membutuhkan ekonomi yang cukup fungsional untuk mendanai tidak hanya negara, tetapi juga faksi-faksi individu di bawah payung gerakan Taliban. Saat ini, masyarakat Afghanistan hidup dalam kondisi ekonomi dan sosial yang buruk. Taliban telah menerapkan kebijakan regresif, seperti melarang pendidikan bagi perempuan. Depresi ekonomi yang berkepanjangan akan menantang otoritas rezim saat ini. Tantangan tersebut mungkin tidak datang dari publik, tetapi dari dalam gerakan. Hal ini tidak selalu berarti tantangan kepemimpinan terhadap Pemimpin Tertinggi Hibatullah Akhundzada, tetapi dapat menyebabkan pengasingan lebih lanjut terhadap rezim tersebut oleh komunitas global, yang berusaha dihindari oleh beberapa pemimpin Taliban. Visi ekonomi dari beberapa anggota Taliban, termasuk mereka yang bernegosiasi dengan Negara Barat dan juga kelompok Haqqani, sebuah kelompok yang berbeda dengan inti ideologi Taliban, yang dipegang oleh Akhundzada dan lingkaran penasihat serta orang kepercayaannya. Tidak mungkin Taliban akan membuat konsesi ideologis hanya untuk memfasilitasi keuntungan ekonomi tertentu setelah membangun narasi telah mengalahkan negara adidaya.
Kenyataan ini, kemudian, menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah Beijing siap untuk secara ekonomi mengangkat rezim Taliban secara sendirian dengan imbalan sumber daya alam? Dan apakah biaya dari strategi semacam itu terjangkau? China memiliki catatan yang tidak jelas dalam menjalankan investasi dan bisnis di wilayah-wilayah yang bergejolak secara politik dari jauh. Jika Beijing berharap untuk menjalankan strategi ekonominya di Afghanistan melalui buku cek kosong dan Pakistan yang secara ekonomi tidak stabil yang menghadapi tantangan politik dan strategis yang berat, sekarang mungkin perlu dipikirkan kembali.
Keberhasilan atau kegagalan kesepakatan minyak dapat menentukan masa depan kerja sama Afghanistan dan China. Meskipun begitu, Beijing akan berhati-hati agar tidak menjadi catatan kaki lain dalam kisah “kerajaan yang terkubur”.