Perspektif Konstruktivis dalam Pelegalan Pernikahan Sesama Jenis di Thailand
Thailand telah mencatat sejarah sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang melegalkan pernikahan sesama jenis melalui pengesahan Undang-Undang Kesetaraan Pernikahan pada 23 Januari 2025 yang didalamnya memberikan hak setara kepada pasangan sesama jenis, termasuk hak hukum, keuangan, dan medis. Dengan diberlakukannya undang-undang ini, istilah “suami-istri” akan digantikan dengan “pasangan hidup” dalam mencerminkan prinsip kesetaraan yang tercantum dalam Konstitusi Thailand, yang menyatakan bahwa setiap individu setara di mata hukum. Langkah ini sekaligus menempatkan Thailand sebagai negara ketiga di Asia yang mengakui pernikahan sesama jenis, setelah Taiwan dan Nepal. Perjalanan menuju legalisasi ini dimulai sejak Undang-undang tersebut disetujui oleh parlemen Thailand melalui pemungutan suara 400 berbanding 10 pada bulan Maret, dan kemudian disetujui oleh senat Thailand dengan suara 130 berbanding 10 pada bulan Juni, hingga kemudian diratifikasi oleh Raja Maha Vajiralongkorn pada Agustus 2024.
Keputusan ini mendapat banyak dukungan dari pejabat pemerintah, termasuk Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra, yang menekankan pentingnya pengakuan identitas gender. Masyarakat Thailand, terutama komunitas LGBTQ+, menyambut gembira langkah ini sebagai hasil dari perjuangan panjang selama dua dekade untuk kesetaraan hak pernikahan. Meskipun dinilai sebagai langkah maju yang signifikan, aktivis dan pendukung hak LGBTQ+ menekankan perlunya reformasi hukum lebih lanjut untuk meningkatkan perlindungan dan inklusivitas. Mereka berharap bahwa legalisasi ini akan mendorong perubahan budaya yang lebih luas dan meningkatkan penerimaan terhadap komunitas LGBTQ+ di Thailand dan kawasan sekitarnya.
Salah satu alasan Thailand lebih terbuka terhadap komunitas LGBT+ adalah karena agama Buddha yang dianut oleh mayoritas penduduk negara ini tidak melarang perilaku homoseksual. Selain itu, Thailand tidak pernah dijajah oleh negara Barat, yang membawa serta hukum-hukum yang melarang homoseksualitas seperti di banyak negara Asia lainnya. Dr. Naruphon Duangwiset dari Pusat Antropologi Putri Maha Chakri Sirindhorn, seorang pakar sejarah, budaya, dan keberagaman komunitas LGBTQ Thailand telah meneliti LGBTQ lebih dari 10 tahun dan menyebutkan bahwa agama Buddha tidak memiliki larangan atau hukuman bagi orang-orang LGBTQ dan hanya melarang “bandhaka”, yaitu melarang individu biseksual atau kasim untuk menjadi biksu. “Dalam komunitas Buddha, orang-orang ini tidak ditangkap, dipenjara, atau dipukuli, seperti yang kadang-kadang ditemukan dalam masyarakat ajaran lainnya.” Ia juga menambahkan bahwa “Menurut cara hidup umat Buddha Theravada, jika seseorang tidak menyebabkan masalah bagi orang lain, orang tersebut dapat hidup sebagai setengah perempuan, setengah pria, atau transgender.” Karena alasan inilah, Ia melihat bahwa masyarakat Thailand, yang relatif multikultural, adalah masyarakat yang fleksibel.
Konteks legalisasi pernikahan sesama jenis di Thailand ini dapat dilihat melalui perspektif konstruktivisme yang menekankan bahwa aspek-aspek penting dalam hubungan internasional juga dapat dikonstruksi secara sosial, budaya, dan identitas nasional melalui sejarah dan interaksi antar aktor. Konstruktivisme menekankan bahwa kebijakan negara dapat lahir dan dipengaruhi oleh norma sosial yang berkembang di masyarakat.
Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, Thailand memiliki masyarakat yang lebih terbuka terhadap komunitas LGBTQ+ . Beberapa faktor yang menjadikan Thailand terbuka terjadap LGBTQ+, sebagai berikut:
1) Pengaruh Agama Buddha: Agama mayoritas di Thailand yakni Budha tidak memiliki larangan eksplisit terhadap homoseksualitas. Dalam ajaran Buddha, seseorang dapat hidup sesuai dengan identitas gendernya selama tidak menyebabkan masalah bagi orang lain. Hal inilah yang membentuk budaya yang lebih toleran terhadap keberagaman gender dan seksual.
2) Sejarah yang Berbeda dari Negara Asia Lainnya: Tidak seperti banyak negara Asia yang pernah dijajah oleh Barat dan mewarisi hukum anti-LGBT dari kolonialisme, Thailand memiliki sistem hukum serta norma sosial yang berkembang secara independen.
Tidak hanya itu, konstruktivisme juga melihat bagaimana norma dapat berubah seiring waktu, dipengaruhi oleh interaksi antara aktor domestik dan global. Dalam kasus Thailand, terjadi evolusi norma sosial dimana masyarakat Thailand, terutama generasi muda, semakin menerima pernikahan sesama jenis karena paparan terhadap gerakan hak asasi manusia global dan perubahan dalam nilai-nilai sosial. Selain itu, aktivis LGBTQ+ di Thailand juga telah berjuang selama dua dekade untuk hak pernikahan. Mereka turut berperan dalam membentuk wacana publik dan mendesak pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif. Thailand mungkin juga terdorong untuk mengikuti langkah negara-negara lain seperti Taiwan dan Nepal dalam mengakui pernikahan sesama jenis, terutama karena posisi Thailand sebagai tujuan wisata internasional yang populer di kalangan LGBTQ+.
Konstruktivisme menjelaskan perubahan kebijakan Thailand. Legalisasi pernikahan sesama jenis di Thailand bukan hanya hasil keputusan politik, tetapi juga dipengaruhi oleh norma budaya, sejarah, dan perubahan identitas nasional. Norma inklusivitas yang telah lama berkembang di Thailand menjadi faktor kunci yang memungkinkan kebijakan ini diterima, berbeda dengan negara-negara lain di kawasan yang masih menolak pernikahan sesama jenis karena norma sosial yang lebih konservatif.