Polemik RUU Pilkada Konsolidasi Kekuasaan Ala Machiavelli
Pada 21 Agustus 2024, Indonesia digemparkan dengan berita bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan mencoba untuk menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batasan umur untuk calon kepala daerah dengan merevisi undang-undang pemilihan kepala daerah (UU Pilkada). Revisi ini menyebabkan amarah dari seluruh elemen masyarakat Indonesia yang menganggap aksi DPR sebagai salah satu cara yang dilakukan oleh partai-partai dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang saat ini memiliki supermajority di DPR untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang lebih dikenal sebagai Jokowi, dengan mengubah peraturan yang ada agar anak keduanya Kaesang Pangarep, dapat maju sebagai calon dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2024. Selain itu, banyak pakar hukum seperti Benediktus Hestu Cipto dan Rapin Mudiarjo yang mengatakan bahwa revisi UU Pilkada dapat merusak demokrasi Indonesia dan sekaligus menciptakan sebuah krisis konstitusi karena aksi yang dilakukan oleh DPR merupakan pembangkangan terhadap undang-undang dasar 1945 (UUD 1945).
Setelah DPR mengumumkan hal tersebut, berbagai elemen masyarakat Indonesia dari akademisi, mahasiswa, buruh, jurnalis, aktivis, dan lain-lain menyuarakan amarah dan kekesalan mereka melalui beberapa gerakan di media sosial berbagai media sosial seperti Twitter/X dan Instagram dengan menggunakan beberapa hashtag seperti #KawalKeputusanMK, #TolakPolitik Dinasti, dan #TolakPilkadaAkal2an. Akan tetapi, gerakan yang melambangkan kemarahan ini adalah sebuah meme emergency announcement system (EAS) fiktif dengan latar belakang biru tua yang menggunakan lambang negara dan dengan tulisan ‘Peringatan Darurat’. Lambang ini pertama kali digunakan sebagai sebuah konsep dasar untuk genre analog horror yang pertama kali diunggah oleh akun Blocky Brain di Youtube pada 1 Desember 2022. Modifikasi dari EAS ini pertama kali dibagikan di Twitter/X setelah DPR mengumumkan penolakan terhadap keputusan MK dan revisi UU Pilkada. Setelah itu, EAS ini disebarkan secara luas oleh berbagai influencer, selebriti, artis, seniman, dan tokoh publik lainnya di berbagai media sosial untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap pembangkangan terhadap UUD 1945 yang dilakukan oleh DPR dan sekaligus ajakan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk melakukan protes menolak revisi tersebut dan mempertahankan konstitusi dari pembangkangan yang dilakukan oleh KIM.
Protes tersebut terjadi sehari setelah DPR memberikan pengumuman tersebut dan skala nya sangat besar karena selain di Jakarta, protes ini juga terjadi di berbagai kota Indonesia seperti Bandung, Medan, Semarang, Malang, Surabaya, Makassar, Manado, Balikpapan, Pekanbaru, Yogyakarta, Padang, Denpasar, Lhokseumawe, dan Manokwari. Skala besar dari protes-protes ini merupakan sebuah reaksi dari masyarakat Indonesia untuk mempertahankan demokrasi mereka dari upaya penggerusan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif dan legislatif terhadap kepentingan kelompok mereka. Amarah yang saat ini diberikan oleh masyarakat Indonesia terhadap DPR dan pemerintah merupakan sebuah reaksi besar yang menandakan komitmen mereka terhadap demokrasi Indonesia, karena jika revisi yang dilaksanakan oleh DPR berhasil disahkan, pilkada Indonesia akan didominasi oleh kotak kosong dan calon boneka karena peraturan tersebut akan mempersulit calon oposisi.
Banyak elemen masyarakat yang menganggap bahwa yang dilakukan oleh DPR merupakan upaya untuk memperkuat pengaruh Presiden Joko Widodo dalam perpolitikan Indonesia dengan memperkokoh dinasti politiknya. Presiden Joko Widodo sendiri secara tidak langsung menyetujui atau tidak mempermasalahkan pembangkangan yang dilakukan oleh DPR karena dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh akun instagram nya pada 21 Agustus, beliau menganggap hal yang terjadi sebagai sebuah proses dari checks and balances antara lembaga negara. Dari fakta ini, Presiden Joko Widodo terlihat memiliki pendekatan Machiavellian terhadap politik karena sebelumnya, beliau banyak dipuji sebagai bapak pembangunan desa, bapak pembangunan infrastruktur, dan lain-lain. Akan tetapi, setelah keputusan MK tentang batas umur calon wakil presiden, banyak masyarakat, termasuk pendukungnya kecewa karena dalam masa akhir pemerintahannya, nepotisme dan penggerusan terhadap demokrasi Indonesia semakin besar yang pada akhirnya berkontribusi terhadap julukan negatif yang diberikan oleh kelompok akademisi terhadap presiden yaitu bapak politik dinasti Indonesia.
Machiavellian sendiri merupakan sebuah faham politik yang dipelopori oleh Niccolo Machiavelli, seorang diplomat dan negarawan dari Italia pada masa Italian Renaissance. Dalam pemikiran Machiavellian, seorang pemimpin harus siap mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara bahkan jika cara-cara tersebut bisa dikatakan keji, bermuka dua, dan licik. Dalam hal ini, revisi UU Pilkada dipandang sebagai contoh dari praktik Machiavellian yang dilakukan oleh KIM di DPR dimana aksi tersebut juga dianggap oleh berbagai pakar hukum seperti Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dahliana Hasan, sebagai salah satu corak dari autocratic legalism yang mana sebuah peraturan dibuat secara tertutup dan tergesa-gesa untuk kepentingan dinasti politik atau kelompok tertentu.
Hal ini jelas merusak prestasi yang sudah diberikan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo karena sebelumnya, selain dipuji sebagai bapak pembangunan infrastruktur, Jokowi memiliki reputasi sebagai seorang reformis yang dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dengan lebih baik.