Isu Xinjiang masih menjadi salah satu isu sensitif bagi hubungan China dengan negara-negara Barat dan aliansinya. Bagi Barat dan aliansinya, isu ini berkaitan dengan hak asasi manusia, namun bagi China isu berkaitan dengan keamanan dan kedaulatan. Baru-baru ini para diplomat dari Afrika membagikan pengalamannya di sebuah forum akademisi di China setelah berkunjung ke wilayah Barat Laut China di Xinjiang dan menyatakan dukungannya pada China dalam mengatasi permasalahan keamanan dan ekonomi di sana. Lalu, bagaimana perbedaan pandangan antar aktor negara ini terjadi?
Xinjiang bagi China: dari Identitas hingga Keamanan
Secara geografis, Xinjiang merupakan wilayah di perbatasan Barat China yang ditempati dua kelompok etnis yakni Muslim Turki Uighur yang datang lebih awal, lalu disusul etnis Han China.[1] Wilayah Xinjiang yang berbatasan dengan negara-negara Asia Tengah ini mengalami perkembangan ekonomi yang pesat dan perubahan sosial dengan banyaknya pendatang dari etnis negara lain seperti Kazakhstan , Uzbekistan, dll. Wilayah ini memiliki sumber daya alam yang melimpah[2] mulai dari mineral, kapas, hingga tomat, sehingga menjadi salah satu penghasil komoditas yang diekspor ke wilayah global, termasuk perusahaan besar seperti Nike dan H&M. Secara sosial politik, sejak tahun 1957 lalu wilayah ini diberi nama “Daerah Otonomi Uighur Xinjiang” oleh Mao, namun masyarakat Uighur Turki merasa status ini membuat masyarakat Uighur Turki di bawah ancaman. Terlebih, masyarakat Uighur Turki juga merasa pemerintah China melakukan diskriminasi perkembangan ekonomi sosial yang lebih menguntungkan hanya pada kelompok Han China.
Kondisi ini membuat masyarakat Uighur Turki merasa diabaikan di tanahnya sendiri, sehingga mendorong otonomi ekonomi, bahkan kemerdekaan dari China.[3] Diskriminasi secara sosial ini juga diperburuk dengan kondisi geografis yang berdekatan dengan wilayah konflik seperti Afghanistan dan rentan kelompok teroris seperti Taliban yang semakin dekat dengan wilayah perbatasan. Maka dari itu, menggunakan konsep kepentingan nasional, negara akan berupaya mencapai keamanan, kekuasaan, dan kesejahteraan di lingkup nasional dan globalnya. Hal ini juga yang dilakukan China, mengingat Uighur menjadi wilayah strategis bagi China tidak hanya dalam perkembangan ambisi ekonomi dan sumber daya China, namun juga kestabilan keamanan karena berbatasan langsung dengan negara-negara rentan konflik yang dikhawatirkan dapat meningkatkan pergerakan dan perluasan kekuatan kelompok bersenjata dan terorisme di China dan regional. Dalam hal ini, China menekankan pada Taliban untuk membuat batasan pada kekuatan teroris hanya di wilayah Afghanistan sembari mendukung dialog dengan pemerintah Afghanistan.[4] Hal ini dikarenakan Taliban saat ini memiliki posisi dan kekuatan di Afghanistan, sehingga pimpinan Taliban juga membuka pintu untuk bantuan dan kerja sama ekonomi dengan China.
Negara Barat dan Afrika terkait isu Xinjiang China
Sebagai penyebar ideologi demokrasi dan turunan nilai-nilainya seperti kebebasan dan hak asasi, AS memfokuskan pada isu kerja paksa dan pelanggaran hak asasi manusia seperti pembangunan kamp-kamp atas Uighur, yang diklaim China sebagai upaya deradikalisasi dan tidak banyak berbeda dengan upaya deradikalisasi yang dilakukan Eropa.[5] Meskipun begitu, Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan yang melarang impor dari sumber bahan bakunya dari Xinjiang dan akan memberlakukan sanksi ekonomi.[6] Pernyataan ini membuat perusahaan-perusahaan tersebut turut menyatakan ketidaksetujuannya dengan isu hak asasi di Xinjiang, namun juga dibalas China dengan ancaman boikot.[7] Bagi AS, penekanan isu HAM di Xinjiang tidak hanya mengenai isu sosial HAM, namun juga menjadi instrumen untuk memperlambat perkembangan dan kerja sama ekonomi China di global, sekaligus penyebaran sentimen politik anti-China. Imej dan sentimen anti-China ini akan menjadi penghambat bagi negara-negara lain yang mendukung China, namun juga membutuhkan negara AS dan Eropa dalam hubungan politik antar negara.
Namun, pembentukan imej dan penekanan isu HAM tersebut tidak berlaku bagi beberapa negara Afrika yang mendukung China. Beberapa diplomat negara Afrika seperti dari Sudan, Zimbabwe, Guinea-Bissau, Namibia, Uni Afrika, dan lain-lain secara berkala mengunjungi Xinjiang. Diplomat Sudan yang sudah mengunjungi Xinjiang sebanyak tiga kali menilai Xinjiang sebagai wilayah yang aman dan berkembang dengan baik, dimana pemerintah lokal terus berupaya meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat Xinjiang.[8] Para diplomat Afrika untuk China lainnya juga menyatakan pandangan serupa pada forum di Akademi Ilmu Sosial China dengan menekankan bahwa negara-negara Barat menekankan isu hak asasi manusia yang bukan permasalahan mendasar di Xinjiang. Dukungan ini juga diperlihatkan pada forum pembahasan isu China atas Xinjiang dan Hong Kong pada sesi ke-47 di Dewan Hak Asasi Manusia PBB, di mana para diplomat Afrika menyatakan suara positif untuk China dengan total lebih dari 90 negara turut mendukung China.[9] Negara-negara pendukung ini juga datang dari negara sesama komunis dan anti-AS yang menilai Barat dan AS menggunakan “double standard” dalam isu hak asasi manusia.
Dukungan-dukungan yang didapatkan China ini merupakan proses dari diplomasi jangka panjang China atas negara-negara Afrika melalui peningkatan hubungan politik dan kerja sama ekonomi China dengan negara Afrika. Arus investasi asing menjadi kontributor terbesar peningkatan perdagangan dan ekonomi industri negara yang membantu pengembangan di Afrika, di mana perusahaan multinasional China menguasai 90% investasi negara tersebut yang menjadikannya sebagai investor terbesar di Afrika.[10] Dominasi ini membentuk sebuah ketergantungan di mana negara Afrika menjadi terikat secara politik dengan China, sehingga menyatakan dukungannya pada China atas isu Xinjiang dengan menekankan tidak adanya bukti pelanggaran HAM di Xinjiang. China juga membuat pernyataan ini disebarluaskan baik secara langsung dan melalui sosial media, sehingga tekanan internasional atas China bisa diminimalisir.
[1] Graham Fuller dan Frederrick Star, (n.d), The Xinjiang Problem, Central Asia-Caucasus Institute, https://www.files.ethz.ch/isn/30301/01_Xinjiang_Problem.pdf
[2] China Through a Lens, (n.d.), Xinjiang’s Natural Resources, China Through a Lenshttp://www.china.org.cn/english/MATERIAL/139230.htm
[3] Ibid.,
[4] Kunal Gaurav, (2021), China asks Taliban to make ‘clean break’ from terrorists, return to mainstream, Hindustan Times, https://www.hindustantimes.com/world-news/china-asks-taliban-to-make-clean-break-from-terrorists-return-to-mainstream-101626254774269.html
[5] Sarah Anne Arup, (2021), China: Xinjiang camps take similar approach to US, UK, France, Politico, https://www.politico.eu/article/china-to-eu-xinjiang-deradicalization-centers-are-just-like-ones-in-the-west/
[6] Ana Swanson, (2021), U.S. Bans All Cotton and Tomatoes From Xinjiang Region of China, The New York Times, https://www.nytimes.com/2021/01/13/business/economy/xinjiang-cotton-tomato-ban.html
[7] BBC, Nike, H&M face China fury over Xinjiang cotton ‘concerns’, BBC, https://www.bbc.com/news/world-asia-china-56519411
[8] Liu Xin, (2021), African envoys defend China on Xinjiang, say ‘no visit, no say, Global Times, https://www.globaltimes.cn/page/202107/1227994.shtml
[9] Liu Xin, (2021), More than 90 countries express support to China amid rampant anti-China campaign at UN human rights body, Global Times, https://www.globaltimes.cn/page/202106/1226834.shtml
[10] Shirley Ze Yu, (2021), Why substantial Chinese FDI is flowing into Africa, London School of Economics and Political Science, https://blogs.lse.ac.uk/africaatlse/2021/04/02/why-substantial-chinese-fdi-is-flowing-into-africa-foreign-direct-investment/