Rusia mengadakan pertemuan Dewan Keamanan PBB atas pemboman jalur pipa Nord Stream setelah mengedarkan resolusi yang menyerukan penyelidikan mendesak dari organisasi internasional itu. Draf Rusia meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk segera mendirikan penyelidikan internasional independen atas sabotase untuk mengidentifikasi “pelaku, sponsor, penyelenggara, dan kaki tangan“.
Sebelumnya, para perwakilan Denmark, Swedia, dan Jerman telah mengirim surat kepada DK PBB yang menyatakan mereka sepakat bahwa pipa-pipa itu rusak yang diduga kuat karena sabotase. Di Jerman, jaksa federal telah meluncurkan investigasi kriminal untuk menetapkan jika kejahatan sabotase berdasarkan pasal 88 dari KUHP dilakukan. Sedangkan draf Rusia meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk segera mendirikan penyelidikan internasional independen.
Pakar Dewan Keamanan PBB mengadakan konsultasi tertutup pada 21 Februari lalu tentang resolusi rancangan Rusia, tetapi para diplomat dewan mengatakan ada oposisi terhadapnya. Pipa Nord Stream 1 membawa gas Rusia ke Jerman hingga Moskow memotong pasokan pada akhir Agustus 2022 lalu. Sedangkan pipa 2-nya belum pernah mengirimkan pasokan ke Jerman karena Berlin menangguhkan proses sertifikasi sesaat sebelum Rusia menyerbu Ukraina pada 24 Februari 2022.
Ledakan pada jalur pipa Nord Stream 1 dan 2 yang terjadi pada 26 September telah membuat Rusia dan pihak Barat saling tuduh atas dalang di balik insiden tersebut. Rusia menuduh AS berada di belakang serangan itu, dan resolusi Moskow yang dikirimkan ke DK PBB mengatakan sabotase “terjadi setelah ancaman berulang terhadap aliran Nord oleh kepemimpinan Amerika Serikat“.
Di sisi lain, AS telah membantah tuduhan itu. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price pekan lalu menyebutnya sebagai “disinformasi murni“. Sedangkan pihak Denmark, Swedia, dan Jerman juga menegaskan kembali bahwa tindakan sabotase terhadap pipa-pipa itu “tidak dapat diterima, membahayakan keamanan internasional, dan memberikan alasan untuk kekhawatiran kami yang mendalam”.
Negara-negara di Uni Eropa (UE) mengalami kenaikan harga gas alam pada pertengahan November 2021. Sebelumnya pasar gas alam mengalami kelangkaan karena lonjakan permintaan gas alam akibat pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19 dan juga dimulainya musim dingin. Selain kegelisahan pasar akibat melonjaknya permintaan, Jerman juga mengumumkan bahwa mereka telah menangguhkan proses sertifikasi pipa gas baru milik Rusia, Nord Stream 2.
Akibat dari lonjakan dan kebijakan Jerman, harga gas alam berjangka di Eropa meningkat sejak 16 November dan terus naik. Hal ini berdampak ke banyak hal seperti mempengaruhi harga grosir gas Inggris yang melonjak seperti awal Oktober lalu. Lonjakan itu menyebabkan beberapa pabrik di Eropa dan Inggris ditutup karena kerugian akibat harga gas.
Sebelumnya, pada akhir September lalu harga gas alam melonjak ke rekor tertinggi di Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman, dan Italia. Hal ini membuat negara-negara mengambil langkah cepat untuk menanggulangi krisis gas alam. Spanyol telah mengumumkan langkah darurat untuk memotong tagihan energi, sementara Prancis berencana mensubsidi hampir 6 juta rumah tangga berpenghasilan rendah. Di Inggris, batas harga gas alam berusaha dipertahankan oleh pemerintah, namun menyebabkan banyaknya perusahaan energi kecil di Inggris bangkrut.
Selain tingkat produksi yang menurun akibat musim dingin, keputusan Jerman untuk tidak menyetujui jalur pipa Nord Stream 2 karena operator pipa yang berbasis di Swiss terhambat masalah birokrasi. Pipa sepanjang 1.200 kilometer lebih ini banyak dikritik di dalam dan di luar UE karena melanggengkan ketergantungan blok tersebut pada bahan bakar fosil dan memperluas pengaruh geopolitik Rusia yang bertentangan dengan komitmen negara-negara UE.
Belum diratifikasinya proyek Nord Stream 2 ini menunda produksi gas alam yang diperkirakan akan mulai mengalir di awal Februari 2022. Carlos Torres Diaz, kepala pemasaran gas dan listrik di Rystad Energy mengatakan bahwa “Nord Stream 2 adalah saluran pipa yang dapat mengubah permainan pasokan di Eropa”. Ditambah dengan cuaca dingin di Eropa, Eurasia Group juga mengatakan bahwa UE akan mengalami kelangkaan gas alam dalam waktu yang lebih panjang akibat berbagai faktor dan mengatakan operasi gas kemungkinan tidak akan dimulai sampai kuartal kedua 2022”.
Gas alam dan batu bara sendiri masih memasok lebih dari 35% dari total produksi sumber energi UE. Sesuai dengan kesepakatan di COP 26 dimana batu bara secara bertahap dihapus. Banyak negara menggunakan gas alam sebagai sumber daya transisi untuk bertindak sebagai jembatan sebelum alternatif hijau, seperti turbin angin dan panel surya diluncurkan. Selain itu, gas juga digunakan untuk pemanas dan aktifitas sehari-hari perumahan, membuat lonjakan harga semakin terlihat pada pengeluaran akhir konsumen terutama di musim dingin.
Meski Jerman sempat menyatakan akan mengurangi ketergantungan energi gas-nya pada Rusia, namun kedua negara menandatangani sebuah proyek pipa bernama “Nord Stream 2” bernilai USD11 miliar yang sudah hampir selesai 95 persen.[1] Proyek ini ternyata memunculkan banyak pertentangan baik dari negara-negara di Eropa sendiri termasuk juga Amerika Serikat (AS) yang sampai memberikan sanksi ekonomi. Namun, mengapa pembangunan jalur pipa ini menjadi permasalahan besar bagi AS?
Proyek pipa Nord Stream 2 dan isu keamanan
Proyek Nord Stream 2 merupakan sebuah proyek tambahan jalur pipa kembar di bawah air yang akan mengalirkan gas dari Rusia langsung ke Jerman dengan panjang 1,230 kilometer melalui jalur Laut Baltik. Jalur ini melewati berbagai jalur ekonomi negara Eropa lain seperti Denmark, Finlandia, Swedia, Jerman, dan Rusia. Meski mendapat berbagai pertentangan dari negara Eropa yang khawatir terkait keamanan Eropa, namun Jerman dan beberapa elit politik domestiknya menilai jalur ini akan mengatasi isu keamanan energi Eropa. Hal ini dikarenakan adanya “trauma” masa lalu, di mana pada eskalasi politik tahun 2006 dan 2009 lalu, Rusia memutus jalur gas melalui Ukraina sehingga jutaan warga Eropa tidak memiliki akses gas pada musim dingin.[2] Melalui hal ini, terlihat besarnya ketergantungan Eropa pada gas dari Rusia bagi pemenuhan kebutuhan regionalnya.
Selain itu, pengerjaan pipa ini juga berisiko pada isu keamanan informasi dan maritim yang semakin meningkatkan kehadiran kekuatan laut Rusia di sekitar Laut Baltik, terutama bagi Ukraina dan Swedia yang menilai informasi dan data kelautan bisa dieksploitasi sehingga meningkatkan pandangan ancaman keamanan militer di Eropa juga ikut meningkat. Terlebih, agresivitas militer Rusia di wilayah Arktik, Baltik, dan wilayah lain juga perlu dipertimbangkan dalam proyek pipa Nord Stream 2. Selain itu, proyek ini juga bisa meningkatkan ketergantungan gas yang menyebar pada ketergantungan lain seperti politik dan ekonomi, dimana permainan harga gas bisa dimonopoli oleh Rusia dan menyebabkan hambatan ekonomi bagi negara-negara di Eropa.
Nord Stream 2: AS tidak ingin kehilangan wilayah ekspornya?
Dilihat menggunakan konsep kepentingan nasional dari Karl Deutsch yakni negara memiliki tiga fokus area yang fundamental sebagai upaya pencapaian kepentingannya yang bukan hanya berkaitan dengan isu keamanan dan ekonomi, namun juga komunitas yang memiliki persamaan pandangan.[3] AS melihat proyek ini sebagai “proyek buruk” bagi Eropa dan AS, di mana penolakan ini memiliki tujuan melindungi berbagai kepentingan AS dengan Eropa karena berkaitan dengan rivalnya yakni Rusia dan upaya pemulihan hubungan AS dengan Eropa. Perlindungan kepentingan AS di Eropa ini yang selanjutnya akan menentukan pendekatan dan tindakan AS pada Jerman dan Rusia.
Salah satu faktor yang berpengaruh yakni faktor ekonomi karena AS menjadi salah satu eksportir gas pada Eropa dalam bentuk Liquefied Natural Gas (LNG) sejak 2016 lalu, di mana melalui perjanjian antara AS-Eropa tahun 2019, disetujui kerja sama strategis terutama dalam isu keamanan energi yang ditingkatkan mencapai 181%.[4] AS sudah mengirimkan sebanyak 7,9 miliar meter kubik gas dan diperkirakan akan terus meningkat mengingat Eropa saat ini mengimpor lebih dari 70 persen kebutuhan gas negaranya dari luar.[5] Melihat adanya pengembangan pipa Nord Stream dari Rusia yang ternyata harganya lebih murah, hal ini dapat menurunkan profit kerja sama ekonomi AS-Eropa dan pengembangan kapasitas LNG AS di Eropa yang diupayakan AS. Ditambah, mulai muncul negara Eropa yang membatasi impor gas dari AS seperti Italia, Irlandia, dan negara lain karena Eropa ingin mencapai “Green New Deal” sehingga mengutamakan visi penurunan karbon yang berkaitan dengan isu keamanan lingkungan.
Secara domestik, produsen gas di AS juga bergantung pada ekspor LNG ke Eropa dan Asia untuk menjaga pengembangan dan keseimbangan harga yang bisa menurun jika kelebihan pasokan. Maka dari itu, untuk melindungi pangsa pasarnya, AS melalui sekretaris negaranya Antony Blinken, melayangkan sanksi terkait proyek pipa termasuk pada Direktur Nord Stream yakni Matthias Warnig yang merupakan teman dekat Presiden Rusia Vladimir Putin, namun sebaliknya AS tidak melakukan sanksi pada Jerman.[6] AS mendesak penghentian sementara pembangunan, di mana selain karena faktor ekonomi, namun juga faktor politik karena proyek Nord Stream ini bisa merusak hubungan politik AS dengan Eropa yang sedang diupayakan Biden untuk erat kembali, termasuk dengan Jerman yang memiliki pengaruh besar di Brussels. Meskipun sudah melakukan sanksi, namun Biden juga tidak menampik proyek Nord Stream sudah hampir selesai dan AS tidak bisa “mendikte” Jerman terkait kebijakan domestiknya karena bisa lebih merusak hubungan dengan Jerman, serta tidak akan juga menghentikan Putin dalam proses membangun Nord Stream 2.
Melihat perbedaan pendekatan antara AS terhadap Rusia dan AS terhadap Jerman menunjukkan bahwa Biden tidak ingin semakin merusak hubungan dengan Jerman lebih jauh lagi. Hal ini mengingat berbagai negara di komunitas Eropa masih memiliki persamaan pandangan dengan AS terkait tindakan Rusia dan keputusan Jerman untuk tetap menuntaskan proyek Nord Stream 2. Meski banyak tekanan baik secara domestik dan internasional terkait sanksi lebih tegas, namun Biden dan Merkel masih sama-sama berupaya mengedepankan diplomasi dan negosiasi demi pemulihan hubungan kedua negara.[7] Hal ini sesuai dengan pendekatan multilateralisme dan diplomasi Biden dalam kebijakan luar negerinya.
[1] Kate Abnett, (2021), EU says it does not need Nord Stream 2, but only Germany can block it, Reuters, https://www.reuters.com/article/us-eu-energy-russia-nordstream-idUSKBN2AN2B7
[2] Mark Temnycky, (2021), The Security Implications of Nord Stream 2 for Ukraine, Poland, and Germany, The Wilson Center, https://www.wilsoncenter.org/blog-post/security-implications-nord-stream-2-ukraine-poland-and-germany
[3] Charles Chong-Han Wu, (2017), Understanding the Structures and Contents of National Interests: An Analysis of Structural Equation Modeling, The Korean Journal of International Studies Vol.15, No.3, p. 391-420, file:///C:/Users/Chatrine/Downloads/kjis015-03-03.pdf
[4] European Commission, (2019), EU-U.S. Joint Statement: Liquefied Natural Gas (LNG) imports from the U.S. continue to rise, up by 181%, EU, https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/es/IP_19_1531?cookies=disabled
[6] DW, (2021), Nord Stream 2: US to waive sanctions against leading company, DW, https://www.dw.com/en/nord-stream-2-us-to-waive-sanctions-against-leading-company/a-57577345
[7] DW, (2021), Nord Stream 2: Biden says sanctions ‘counterproductive’ to US-European ties, DW, https://www.dw.com/en/nord-stream-2-biden-says-sanctions-counterproductive-to-us-european-ties/a-57664272
Presiden Rusia, Vladimir Putin mengatakan Moskow siap untuk melanjutkan pasokan gas ke Uni Eropa melalui jalur pipa Nord Stream 2 yang menuju Jerman di bawah Laut Baltik. Putin mengatakan bahwa jika pemeriksaan membuktikan pipa Nord Stream 2 aman untuk dioperasikan, Rusia siap menggunakan pipa untuk memompa gas ke Eropa, menambahkan kapasitasnya mencapai 27 miliar meter kubik (bcm) per tahun yang kemudian ditolak dengan cepat oleh Jerman.
Dalam forum energi di Moskow pada 12 Oktober 2022, Putin mengatakan bahwa salah satu dari dua jalur pipa tetap bertekanan meskipun serangkaian pipa putus pada bulan lalu yang menyebabkan kebocoran besar dan meluap ke lepas pantai Denmark dan Swedia pada September lalu.
Para pejabat Barat mengaitkan insiden itu dengan “sabotase“, tetapi menahan diri untuk tidak menuduh siapapun yang bertanggung jawab atas ledakan itu sementara penyelidikan oleh pejabat Jerman, Denmark dan Swedia terus berlanjut. Pipa Nord Stream 2 belum pernah membawa gas alam ke Eropa karena Jerman mencegah aliran dimulai tepat sebelum Rusia melancarkan invasi di Ukraina pada 24 Februari.
Putin juga menegaskan tuduhan sebelumnya bahwa Amerika Serikat kemungkinan berada di balik ledakan di jalur pipa Nord Stream, tanpa memberikan bukti apa pun untuk mendukung klaimnya, dan melontarkan gagasan untuk menciptakan pusat gas alternatif Eropa melalui Turki.
“Tindakan sabotase Nord Stream 1 dan 2 adalah tindakan terorisme internasional yang bertujuan merusak keamanan energi di seluruh benua dengan memblokir pasokan energi murah,” kata Putin, menuduh bahwa AS ingin memaksa Eropa untuk beralih ke impor gas alam cair yang lebih mahal, dilansir dari Al Jazeera.
Namun, juru bicara pemerintah Jerman, Christiane Hoffmann mengatakan bahwa Berlin tidak akan mengimpor energi dari Rusia. “Terlepas dari kemungkinan sabotase dari dua jaringan pipa, kami telah melihat bahwa Rusia tidak lagi menjadi pemasok energi yang dapat diandalkan, dan bahkan sebelum kerusakan pada Nord Stream 1, tidak ada lagi aliran gas,” katanya kepada wartawan di Berlin. “Jadi bagi kami, tidak ada alasan untuk percaya bahwa itu akan berubah,” katanya. Ditanya apakah dia akan mengesampingkan penggunaan Nord Stream 2, Hoffmann menjawab: “Ya.”
Sementara Rusia masih memompa gas ke Eropa melalui Ukraina, ledakan di jalur pipa Nord Stream telah memperburuk kekurangan energi yang dihadapi oleh 27 negara anggota Uni Eropa saat musim dingin di benua itu semakin dekat.
Sebelum ledakan, Rusia telah memangkas pasokan di sepanjang Nord Stream 1. Moskow menyalahkan masalah teknis terkait dengan sanksi Barat untuk penghentian, tetapi para pemimpin Eropa menuduh Putin sengaja memotong ekspor dalam upaya untuk mengikis dukungan mereka untuk Ukraina.
Gas alam merupakan energi penting bagi negara-negara di Eropa yang berfungsi untuk berjalannya pabrik, pemanas, penghasil listrik yang telah diusahakan disimpah oleh pemerintah Eropa untuk cadangan musim dingin. Namun, pemotongan telah menyebabkan harga melonjak, mendorong inflasi, menekan pemerintah untuk membantu meringankan rasa sakit dari tagihan energi yang tinggi untuk rumah tangga dan bisnis dan meningkatkan kekhawatiran penjatahan dan resesi.
Uni Eropa (UE) mengeluarkan sanksi putaran ke-12 terhadap Rusia; paket sanksi ini akan menargetkan impor dan ekspor, anggota keluarga elit Kremlin, dan akan berfokus pada sanksi sekunder. Evolusi sanksi terhadap Rusia sangat mematikan, dan berbanding lurus dengan petualangan geopolitiknya di Eropa Timur. Aneksasi Rusia terhadap Krimea pada tahun 2014[1] menjadi awal dimulainya sanksi ekonomi oleh negara-negara Barat-Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), Selandia Baru, Australia, dan Kanada-terhadap Federasi Rusia. Sejak saat itu, Rusia telah menjauh dari ekonomi politik internasional.
Tahun depan akan menandai satu dekade sejak tahap pertama sanksi dijatuhkan. Sanksi, yang dijuluki sebagai ‘perang ekonomi’ oleh Woodrow Wilson, bertujuan untuk menundukkan agresor dalam sistem internasional dengan menggunakan cara-cara ekonomi, membatasi kekuatan impor/ekspor suatu negara. Perang ekonomi dapat dilancarkan melalui embargo, pengucilan finansial, larangan bepergian, dan membatasi ekspor dan impor suatu negara. Sejarah pengenaan sanksi ekonomi sudah ada sejak zaman kuno, yaitu pada tahun 432 SM ketika Athena menjatuhkan sanksi ekonomi berupa embargo impor Megarian terhadap negara-negara kota yang menolak untuk bergabung dengan liga Delia yang dipimpin oleh Athena.[2] Pada akhir abad ke-19, sanksi digunakan dalam bentuk kontrol ekspor terhadap pasokan strategis atau embargo dan blokade terhadap negara target. Prancis memberikan sanksi kepada Inggris selama perang Napoleon.[3] Bentuk sanksi ini tetap ada hingga abad ke-19 dan mendapat dukungan institusional dengan munculnya Liga Bangsa-Bangsa. Sanksi ekonomi digunakan terhadap Italia atas penaklukan Abyssinia,[4] dan terhadap Jepang untuk mencegahnya melakukan ekspansi ke arah timur.[5] Dengan berakhirnya Perang Dunia Kedua, Liga Bangsa-Bangsa digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan mandat yang lebih besar. Antara tahun 1950 hingga 2022, telah ada lebih dari 1.325 sanksi ekonomi.[6]
Dengan pergantian abad, sanksi keuangan diperkenalkan, di mana bank dan individu menjadi target pembekuan aset. Negara yang menjadi target akan kehilangan akses ke negara pengirim – negara yang memberlakukan sanksi – mata uang. Sanksi keuangan pertama kali diperkenalkan terhadap Korea Utara dan digunakan secara luas dalam kampanye Iran.[7] Sejak saat itu, kompleksitas sanksi semakin meningkat seiring berjalannya waktu, sehingga memberikan tugas berat bagi petugas kepatuhan perusahaan untuk mengikuti sanksi ekonomi yang dijatuhkan terhadap suatu negara, perusahaan, dan individu.
Sanksi yang dijatuhkan terhadap Rusia perlu dianalisis, karena hal ini menunjukkan fragmentasi tatanan geoekonomi dunia, dan menjadi contoh bagaimana sanksi dipersepsikan oleh lembaga-lembaga keuangan di berbagai negara. Pengenaan sanksi terhadap Rusia harus dibagi menjadi dua periode: periode pertama akan melihat sanksi yang dijatuhkan terhadap Rusia dari 2014-2021, dan periode kedua akan melihat sanksi yang dijatuhkan sejak invasi ke Ukraina.
Sanksi 2014
Berbeda dengan sanksi tahun 2022, sanksi ekonomi tahun 2014 tidak bersifat sepihak. Uni Eropa tidak sepenuh hati menjatuhkan sanksi terhadap Rusia karena integrasi ekonominya dengan rantai nilai energi Federasi Rusia. Sebagai contoh, AS, Kanada, dan Australia menjatuhkan sanksi kepada Igor Sechin (CEO Rosneft),[8] Alexey Miller (CEO Gazprom),[9] dan Vladimir Yakunin (CEO perkeretaapian Rusia saat itu).[10] Namun, Uni Eropa tidak memberikan sanksi kepada mereka. Negara-negara Uni Eropa berebut untuk menyelesaikan pipa Nord Stream 2, karena Office of Foreign Assets Control (OFAC) memantau dengan cermat aspek-aspek kecil dari proyek ini untuk menjatuhkan sanksi sekunder pada perusahaan-perusahaan Barat.[11] Pada tahun 2015, sanksi sektoral dijatuhkan kepada Rusia, bertepatan dengan jatuhnya pesawat Malaysia Airlines Penerbangan 17 oleh kelompok separatis yang didukung Rusia. Selama fase ini, sektor energi Rusia, sektor pertahanan, dan elemen-elemen sektor keuangan dijatuhi sanksi. Sektor-sektor ekonomi Rusia dibagi menjadi sektor penghasil rente (Sektor A)[12] – minyak, gas, konstruksi mesin tenaga nuklir, produksi pertanian dan pertahanan – dan sektor pemburu rente (Sektor B) – industri otomotif, penerbangan, galangan kapal, pensiun, dan peralatan operasi minyak dan gas. Sektor B bergantung pada rente dari Sektor A. Pada awal sanksi, ekonomi sedang dikonfigurasi ulang dan Kremlin memperkenalkan kebijakan substitusi impor di sektor-sektor yang sangat bergantung pada Barat. Selama periode ini, keracunan Sergei Skripal menarik sanksi lebih lanjut terhadap negara Rusia dan mengalami peningkatan kecil hingga invasi ke Ukraina pada tahun 2022.[13]
Gambar 1.1: Jumlah total sanksi berbasis daftar yang dijatuhkan kepada Rusia oleh wilayah dan organisasi di seluruh dunia dari 22 Februari 2022 hingga 10 Februari 2023, berdasarkan target.
Sumber: Russia; OpenSanctions.org; Corrective; February 22, 2022 to February 10, 2023
Gambar: 1.2: Persentase cadangan dolar (menandakan efek de-dolarisasi) 2023.
Sanksi tahun 2022
Beberapa jam setelah pasukan pertama menyeberang ke wilayah-wilayah yang memisahkan diri di Ukraina, AS, Inggris, Australia, dan Uni Eropa menjatuhkan sanksi terhadap bank-bank Rusia. Bersamaan dengan itu, Kanada dan Selandia Baru memberlakukan kontrol ekspor pada perangkat lunak, peralatan, dan teknologi. Uni Eropa mengeluarkan “tindakan pembatasan yang ditargetkan” terhadap 27 individu dan entitas terkenal dan “tindakan” terhadap semua anggota Duma Negara Rusia. Bahkan jurnalisme penyiaran pun menjadi korban sanksi ketika Uni Eropa melarang Sputnik dan Russia Today. Pada 8 Maret, AS melarang impor minyak, gas, dan sumber energi lainnya dari Rusia. Pada April 2022, ada usulan pelarangan batu bara Rusia oleh Uni Eropa dan larangan lebih lanjut bagi kapal-kapal Rusia dan kapal yang dioperasikan oleh Rusia untuk memasuki negara-negara Uni Eropa. Empat bank besar: VTB, Sovcombank, Novikombank, dan Otkrite Financial Corp, yang mewakili 23 persen pasar negara itu, dijatuhi sanksi.[14] Pada Juni 2022, Uni Eropa mengadopsi paket sanksi keenam,[15] yang membuat Sberbank-bank kredit Moskow-dikeluarkan dari SWIFT. Pada Oktober 2022, para oligarki, pejabat militer senior, dan anggota majelis legislatif di wilayah-wilayah yang diduduki dijatuhi sanksi. Pada 2 Desember, batas harga US$60 ditetapkan sebagai harga minyak mentah Rusia. Hampir setahun setelah invasi, G7 menyepakati dua batasan harga untuk produk minyak bumi yang berasal dari Rusia. Sekitar waktu yang sama, Uni Eropa melarang minyak, gas, dan produk minyak bumi olahan lainnya. Keanggotaan FATF (Financial Action Task Force) Rusia ditangguhkan. Pada pertengahan 2023, sanksi sekunder dijatuhkan pada perusahaan-perusahaan yang berbasis di Turki dan Dubai yang terlibat dalam ekspor ulang dan pengiriman minyak Rusia di bawah batas harga. Singkatnya, keuangan, energi, penerbangan sipil, pertahanan, perdagangan, dan teknologi Rusia dijatuhi sanksi oleh Barat. Tujuan dari sanksi pasca-invasi ini mirip dengan paket sanksi Iran, yaitu untuk mencekik ekonomi Rusia menjadi paksaan. Namun, hal ini tidak terjadi, karena Bank Sentral Federasi Rusia telah mempersiapkan konfigurasi ekonomi seperti itu sejak 2014.
Intervensi Bank Sentral dan de-dolarisasi
Bahkan sebelum perang, Bank Sentral bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Upaya ini dipercepat pada kuartal ketiga tahun 2022. Porsi dolar dan euro menurun dalam cadangan devisa Rusia; satu tahun sejak invasi, transaksi dalam dolar dan euro telah menurun dari 52 persen menjadi 34 persen dan dari 35 persen menjadi 19 persen,[16] sementara porsi yuan telah meroket dari 3 persen menjadi 44 persen, dan terus meningkat.[17] Saat ini, Rusia memiliki aset dan cadangan sebesar US$28 miliar di Dana Moneter Internasional (IMF), US$145 dalam bentuk cadangan emas, dan US$20 miliar dalam bentuk rupee India, di luar dari aset-aset yang dibekukan.
Pada laju de-dolarisasi saat ini dan Yuanisasi ekonomi Rusia selanjutnya,[18] cadangan dan pembayaran Rusia akan dipengaruhi oleh kebijakan Bank Rakyat Tiongkok. Sementara sanksi melemahkan rubel, pengaruh yuan semakin meningkat, dan, dalam jangka waktu tertentu, yuan berpotensi menjadi mata uang cadangan global. Sistem Pembayaran Antar Bank Lintas Batas (CIPS) China yang dijuluki sebagai SWIFT versi China telah mengalami peningkatan 75 persen dalam transaksi yang diselesaikan pada tahun 2022 dibandingkan dengan tahun 2021. Meskipun volume perdagangannya masih kecil dibandingkan dengan SWIFT yang menggerakkan US$5 triliun per hari, yuan China dan CIPS disukai oleh beberapa negara dan hanya akan meningkat karena kebijakan yang bebas dari sanksi dari Departemen Keuangan AS.
Ketahanan dan penghancuran sanksi
Beberapa strategi telah digunakan untuk menghindari sanksi dan melanjutkan perdagangan dengan Rusia. Beberapa negara mencoba langkah-langkah hukum, seperti Hungaria yang mampu menegosiasikan pengecualian sanksi untuk impor gas mereka dari Rusia. Pangsa impor minyak dan gas dari Eropa telah menurun; namun, hal ini tidak menghentikan negara-negara untuk membeli hidrokarbon Rusia. Minyak diimpor kembali dari India, Uni Emirat Arab (UEA), dan Turki. Turki memiliki perusahaan pelayaran khusus yang membantu Rusia mengimpor kembali barang-barang di Laut Hitam. Pada Agustus 2022, volume gas alam cair Jepang dibandingkan dengan tahun 2021 meningkat sebesar 211 persen meskipun ada sanksi terhadap Rusia.[19] Meskipun ada batasan harga yang diberlakukan untuk mencegah perdagangan spot, beberapa perusahaan masih memperdagangkan minyak Rusia di atas batasan harga yang ditetapkan untuk minyak mentah Rusia.[20] Legislasi dan pengenaan sanksi adalah tugas yang mudah. Namun, pemantauan secara real-time adalah hal yang sulit. Untuk meningkatkan daya saing impor, Moskow telah memesan 29 kapal kontainer tambahan, yang akan dikirim tahun ini. Pesanan ini akan dibeli atas nama China. Hal ini menunjukkan kecenderungan yang meningkat untuk berdagang dari Moskow. Namun, terlepas dari mekanisme ketahanan yang disiapkan oleh negara Rusia, tidak benar jika dikatakan bahwa Rusia tidak terpengaruh oleh sanksi.
Sanksi yang diberlakukan pada tahun 2014 memberikan waktu bagi kedua belah pihak untuk berkenalan dengan kondisi normal yang baru. Bagi Moskow, hal ini berarti kembali ke konfigurasi geoekonomi seperti Perang Dingin dan mempertimbangkan untuk beralih ke pasar Asia sembari mengupayakan kebijakan substitusi impor. Bagi Barat, 2014 adalah tahun di mana mereka mulai berpikir untuk mendiversifikasi investasi energi mereka dari Rusia. Dan tahun 2022 adalah tahun di mana menjadi jelas bahwa Barat harus mendapatkan sumber energinya dari tempat lain. Namun, keduanya telah salah memperhitungkan besarnya tujuan mereka.
[1] Wojciech Konończuk. Russia’s Real Aims in Crimea. Carnegie Endowment for International Peace. 13 Maret 2014. https://carnegieendowment.org/2014/03/13/russia-s-real-aims-in-crimea-pub-54914
[2] The Economist. Sanctions are now a central tool of governments’ foreign policy. 22 April 2021. https://www.economist.com/finance-and-economics/2021/04/22/sanctions-are-now-a-central-tool-of-governments-foreign-policy
[3] Demarais, A. (2022). Backfire: How sanctions reshape the world against US interests. Columbia University Press.
[4] Baer, G. W. (1973). Sanctions and security: The League of Nations and the Italian–Ethiopian war, 1935–1936. International Organization, 27(2), 165-179.
[5] Office of The Historian. Japan, China, the United States and the Road to Pearl Harbor, 1937-41. https://history.state.gov/milestones/1937-1945/pearl-harbor
[6] WFO Working Papers 651/2022. The Global Sanctions Data Base Release 3: COVID-19, Russia, and Multilateral Sanctions. https://www.econstor.eu/bitstream/10419/267717/1/1827897171.pdf
[7] Demarais, A. (2022). Backfire: How sanctions reshape the world against US interests. Columbia University Press.
[8] Belyi, A. V. (2019). Russia’s Response to Sanctions. How Western Economic Statecraft is Reshaping Political Economy in Russia: Richard Connolly, Cambridge: Cambridge University Press, 2018, xv+ 227pp.,£ 85.00 h/b.
[11] Holly Ellyatt. US greenlights sanctions on mega Russia-EU gas pipeline, but it’s probably too late. CNBC. 18 Desember 2019. https://www.cnbc.com/2019/12/18/us-sanctions-on-nord-stream-2-pipeline.html
[12] Rajoli Siddharth Jayaprakash. The politics of Western sanctions in Russia; its effects and response. Financial Express. 10 Februari 2023. https://www.financialexpress.com/world-news/the-politics-of-western-sanctions-in-russia-its-effects-and-response/2977693/
[13] France 24. US announces new sanctions against Russia over Skripal poisoning. 3 Agustus 2019. https://www.france24.com/en/20190803-usa-announces-new-sanctions-against-russia-skripal-poisoning
[14] Retail Banker International. EU announces full blocking sanctions against four Russian banks. 11 April 2022. https://www.retailbankerinternational.com/news/eu-block-four-russian-banks/?cf-view
[15] European Commission. Russia’s war on Ukraine: EU adopts sixth package of sanctions against Russia. 3 Juni 2022. https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/ip_22_2802
[16] Alexandra Prokopenka. The Risks of Russia’s Growing Dependence on the Yuan. The Moscow Times. 2 Februari 2023. https://www.themoscowtimes.com/2023/02/02/the-risks-of-russias-growing-dependence-on-the-yuan-a80127
[17] Global Times. Share of yuan in Russia’s forex transactions hits new high amid closer bilateral cooperation. 10 Agustus 2023. https://www.globaltimes.cn/page/202308/1296008.shtml
[18] Alexandra Prokopenka. The Risks of Russia’s Growing Dependence on the Yuan. The Moscow Times. 2 Februari 2023. https://carnegieendowment.org/politika/88926
[19] Tass. Japan’s trade with Russia up by 31:% due to growing fuel prices. 15 September 2022. https://tass.com/economy/1507593?utm_source=google.com&utm_medium=organic&utm_campaign=google.com&utm_referrer=google.com
[20] Financial Times. Almost no Russian oil is sold below $60 cap, say western officials. https://www.ft.com/content/09e8ee14-a665-4644-8ec5-5972070463ad
China dan Rusia memiliki hubungan yang panjang, beragam, dan kompleks sejak abad ke-17 ketika Dinasti Ming China mencaplok wilayah yang sekarang menjadi Rusia Timur Jauh (1858-60). Kedua negara ini telah menjadi sekutu sekaligus musuh selama bertahun-tahun, tetapi dalam beberapa dekade terakhir mereka telah tumbuh lebih dekat, membentuk kemitraan strategis dan menantang tatanan internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS). Saling melengkapi ekonomi mereka, aparat politik yang serupa, kedekatan geografis, dan tujuan strategis yang sama telah mendorong kedua peradaban kuno ini semakin dekat.
Pada tanggal 4 Februari 2022, pada hari pembukaan Olimpiade Musim Dingin di Beijing, Presiden Xi Jinping dan Presiden Vladimir Putin mendeklarasikan kemitraan ‘tanpa batas’ yang ‘melampaui aliansi’. Pernyataan bersama yang dirilis setelahnya menyatakan bahwa kemitraan ini lebih tangguh daripada aliansi Perang Dingin mana pun dan bahwa kedua negara ini bermaksud untuk menjungkirbalikkan tatanan internasional liberal yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Dua puluh hari kemudian, Rusia menguji kemitraan yang baru saja dibangun ini dengan meluncurkan ‘operasi militer khusus’ di perbatasan timur Ukraina.
Dampak dari operasi ini cukup signifikan karena, setelahnya, China menangguhkan atau menunda beberapa proyek investasi di Rusia. Namun, lebih dari setahun kemudian, China telah melanjutkan beberapa aktivitas investasi.
Dari Nord Stream ke Kekuatan Siberia
Setelah invasi Rusia ke Ukraina, signifikansi China sebagai mitra energi bagi Moskow telah tumbuh secara substansial. Dengan Rusia menghadapi sanksi Barat dan perusahaan-perusahaan minyak Barat yang berhenti beroperasi, Kremlin telah memperluas kebijakan “Poros ke Timur“.
Sebelumnya, Rusia sangat terlibat dengan pasar minyak Eropa. Rusia mengekspor 155 miliar meter kubik gas per tahun ke Eropa pada periode sebelum perang. Jaringan pipa bawah laut Nord Stream yang berasal dari Rusia bagian barat memasok gas ke Jerman, dan dari sana gas didistribusikan ke seluruh Eropa. Jalur pipa ini melewati Ukraina. Meskipun hal ini menguntungkan seluruh Eropa, ini bukan pertanda baik bagi Ukraina karena kehilangan royalti transit senilai 2 miliar dolar AS per tahun, dan kehilangan kapasitas untuk mengganggu ekspor gas Rusia, yang berpotensi menjadi penangkal yang signifikan terhadap agresi Rusia. Namun, sejak perang dimulai, Rusia mematikan suplai dari pipa-pipa ini untuk menghalangi dukungan Eropa untuk Ukraina.
Penghentian pasokan dari pasar Eropa ini telah memberikan kesempatan bagi Beijing untuk memperluas keterlibatannya dengan Rusia, terutama Timur Jauh Rusia.
Timur Jauh Rusia: Sebuah teater baru untuk investasi China
Sudah sejak lama, provinsi Khabarovsk Krai di timur jauh Rusia telah menarik minat Beijing. Provinsi ini memiliki cadangan energi dan mineral yang belum dieksplorasi dan menyediakan rute pasokan energi darat ke China. China memiliki hubungan historis dengan wilayah ini. Pada abad ke-19, China menandatangani serangkaian perjanjian dengan kekuatan kolonial Barat, dan Tsar Rusia mencaplok Amur dan wilayah timur jauh di Rusia saat ini sebagai hasil dari salah satu perjanjian – Perjanjian Tientsin, 1860. Sejarah China dengan wilayah timur jauh selalu menghalangi Rusia untuk memberikan akses kepada China ke sumber daya utama di wilayah tersebut. Pada tahun 2014, ketika Rusia meluncurkan Rencana Pembangunan Arktik, Rusia tidak menyebutkan keterlibatan China atau bahkan memprioritaskan kebutuhan China dalam mengembangkan wilayah tersebut.
Namun, saat ini, dinamika dalam hubungan bilateral telah berubah. Dengan Global North yang sebagian besar mengasingkan Rusia, Moskow telah beralih ke mitra kontemporernya yang paling setia – China – untuk menopang ekonominya dengan menopang cadangan minyak dan gas China dan membuka jalan bagi pembangunan dan eksplorasi energi yang dibiayai China di kawasan Amur, Siberia, dan Rusia Utara.
Pipa Power of Siberia, yang mengekspor gas sebesar 24 bcm/tahun ke China, adalah buktinya. Sejak perang dimulai, China telah setuju untuk menambahkan dua cabang lagi ke pipa ini: Power of Siberia 2 dan 3 akan membawa 28 dan 34 bcm/tahun gas ke China setelah selesai, masing-masing pada tahun 2025 dan 2029.
Namun, investasi China di Rusia sejak perang Ukraina tidak hanya berpusat pada energi, tetapi juga mencakup sektor pertambangan dan pembangunan infrastruktur.
Pada Mei 2023, Wakil Perdana Menteri Rusia Yury Trutnev menyatakan bahwa lebih dari 90 persen Penanaman Modal Asing (PMA) di Timur Jauh – 26 proyek infrastruktur senilai 1,6 miliar dolar AS – didanai oleh perusahaan-perusahaan pemerintah China. Hal ini mengindikasikan peningkatan 150 persen dari tahun ke tahun (YoY) dalam investasi regional China. China juga merupakan mitra dagang terbesar di kawasan ini, dengan rekor peningkatan YoY sebesar 45 persen antara Januari-Agustus 2022 (US$14,3 miliar). Timur Jauh adalah aset terpenting Rusia dalam menarik investasi China.
Kedua negara juga telah memanfaatkan jaringan pipa Power of Siberia untuk memisahkan diri dari rantai pasokan energi Barat. Rusia telah menjadi penyedia energi utama China pada tahun 2023 dari pemasok terbesar ketiga pada tahun 2021 setelah Arab Saudi dan Iran. China juga membeli minyak mentah Rusia karena diskonnya yang besar. Minyak mentah Rusia bernilai rata-rata US$73,53/b, 13,7 persen lebih rendah dari rata-rata pasar minyak internasional sebesar US$85,23/b. Dengan impor minyak Rusia senilai US$83,7 miliar pada tahun 2022, Beijing menghemat hampir US$11 miliar untuk impor energi tahun lalu.
Selain itu, kedua negara telah menggunakan pertukaran mata uang bilateral untuk perdagangan ini, sehingga melindungi pembayaran dari sanksi Barat. Bank Harbin China, China Construction Bank dan Agricultural Bank of China, yang tidak terlalu terhubung dengan SWIFT dan sistem keuangan internasional yang didominasi oleh dolar AS, digunakan untuk berdagang dalam mata uang bilateral.
Selain mengamankan pasokan energi Timur Jauh Rusia, perusahaan-perusahaan China juga berusaha mengisi kekosongan yang diciptakan oleh keluarnya 1000 perusahaan multinasional Barat setelah Februari 2022. Sebelas perusahaan mobil China seperti Chery, Greatwall, dan Geely diproyeksikan akan menguasai 40 persen pasar Rusia, dibandingkan dengan 6 persen pada tahun 2021. Ada juga peningkatan 40 persen YoY dalam ekspor peralatan rumah tangga dari China pada tahun 2022. Penguasaan pasar yang paling cepat terlihat di sektor ponsel pintar, di mana perusahaan-perusahaan China seperti Xiaomi dan Realme menguasai 70 persen pasar pada tahun 2022.
Namun, ada juga tren yang kontradiktif. Ketakutan akan sanksi Barat telah mengusir perusahaan-perusahaan teknologi besar China seperti Huawei dan DJI dari Rusia, yang membuat Moskow kecewa. Bahkan bank-bank pemerintah China seperti ICBC dan China Development Bank telah membatasi operasi mereka.
Investasi China di Rusia telah melonjak di berbagai sektor, termasuk energi, infrastruktur, dan transportasi. Masuknya modal China ini telah membantu Rusia mengurangi dampak buruk sanksi Barat dan telah memberikan dukungan yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonominya. Namun, ketergantungan pada China ini memiliki tantangan dan risikonya sendiri. Risiko jangka panjang dari meningkatnya ketergantungan Rusia pada China tidak pasti. Meskipun investasi China memberikan manfaat langsung, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang potensi hilangnya kedaulatan dan kontrol atas sektor-sektor utama ekonomi. Rusia perlu mendiversifikasi ekspor energinya untuk menghindari ketergantungan geoekonomi dan strategis yang tidak dapat dipulihkan terhadap China.
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov mengatakan dia berharap Presiden AS, Joe Biden memiliki ‘kebijaksanaan’ untuk menghadapi invasi ke Ukrainanya serupa dengan krisis rudal Kuba tahun 1962. Invasi Rusia ke Ukraina telah memicu permusuhan terbesar antara Moskow dan Barat sejak krisis Kuba, ketika Uni Soviet dan Amerika Serikat mendekati perang nuklir.
Pada krisis Kuba, Presiden AS pada saat itu, John F Kennedy menemukan bahwa pemimpin Soviet, Nikita Khrushchev telah mengerahkan rudal nuklir di Kuba setelah invasi Teluk Babi yang gagal – upaya kudeta yang didukung AS oleh orang-orang buangan Kuba untuk menggulingkan kepemimpinan komunis.
Pada Oktober 1962, seorang kapten kapal selam Soviet dikatakan berencana meluncurkan senjata nuklir setelah Angkatan Laut AS menjatuhkan muatan ke kedalaman di sekitar kapal selam Uni Soviet. Namun, akibat ancaman penggunaan nuklir oleh Uni Soviet, Kennedy menyetujui untuk menghapus semua rudal AS dari Turki dengan imbalan Khrushchev mencabut ancaman nuklir yang sama dari Kuba.
Dalam sebuah wawancara untuk film dokumenter televisi pemerintah Rusia tentang krisis rudal, Lavrov mengatakan ada “kesamaan” dengan krisis Kuba, terutama karena Rusia sekarang terancam oleh senjata Barat di Ukraina.
“Situasi ini sangat mengganggu. Perbedaannya adalah bahwa pada tahun 1962 yang jauh, Khrushchev dan Kennedy menemukan kekuatan untuk menunjukkan tanggung jawab dan kebijaksanaan, dan sekarang kita tidak melihat kesiapan seperti itu di pihak Washington dan satelitnya.”[1]
Setelah pernyataan itu, seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih menolak mengomentari pernyataan Lavrov tetapi mengatakan bahwa AS tetap berusaha untuk menjaga jalur komunikasi tetap terbuka dengan Moskow.
Lavrov mengatakan kepemimpinan Rusia, termasuk Presiden Vladimir Putin, masih siap untuk diskusi tentang Ukraina. “Kesiapan Rusia, termasuk presidennya, untuk bernegosiasi [tentang Ukraina], tetap tidak berubah,” katanya.[2] “Kami akan selalu siap untuk mendengarkan proposal apa yang dimiliki mitra Barat kami untuk mengurangi ketegangan” dilansir dari Al Jazeera.
AS dan sekutu Eropanya mengatakan kekhawatiran Rusia itu berlebihan dan tidak dapat membenarkan invasi terhadap bekas tetangga Soviet yang perbatasannya diakui Moskow setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991. Invasi Rusia terhadap Ukraina sendiri terjadi sejak beredar informasi bahwa Ukraina berusaha untuk bergabung dengan NATO, dengan perbatasan Ukraina dan Rusia secara langsung, Rusia merasa sangat terancam dengan grup negara barat dengan kekuatan gabungannya.
Mengubah Narasi, Kegagalan Rusia Di Sebagian Besar Ukraina Membuat Mereka Mengubah Strategi
Rusia sendiri kini terlihat cukup kooperatif dan mulai mendekatkan dirinya ke arah AS dan pihak Barat, walaupun terkadang Moskow juga menyalahkan pihak barat atas apa yang terjadi di Ukraina dan serangan-serangan di balik Ukraina. Hal ini dapat dilihat akibat berbagai kegagalan dan perlawanan dari pihak Ukraina yang berhasil merebut kembali beberapa wilayah di Ukraina. Pasukan Ukraina mengatakan mereka sekarang telah merebut kembali 544 pemukiman di wilayah tersebut, dengan hanya 32 yang tersisa di bawah pendudukan Rusia.[3]
Usaha Ukraina Yang Berhasil
Pasukan Ukraina memperlihatkan peningkatan dan berhasil mengambil alih beberapa aspek yang telah direbut oleh Rusia. Ukraina mengatakan telah merebut kembali 6.000 km persegi wilayah dari Rusia pada awal September, memaksa kembali unit Rusia di wilayah Kharkiv.[4]
Ukraina mengambil alih pusat logistik utama Lyman di Donetsk pada awal Oktober dan terus mendorong pasukan militer Rusia lebih jauh ke timur menuju wilayah Luhansk. Institute for the Study of War bahkan mengatakan mereka telah “membuat keuntungan besar” di wilayah tersebut.
Pasukan Rusia terlihat telah menarik diri dari kota-kota utama Izyum dan Kupiansk walaupun dengan alasan memang menarik mundur pasukannya, namun militer Ukraina dalam beberapa pekan terakhir, dibantu oleh senjata Barat telah memperlihatkan kesuksesan pengambilalihan wilayah di Kota Kherson.[5]
Menyalahkan Ukraina
Kemunduran pasukan militer di Rusia ini membuat Moskow menyalahkan pihak lain atas kegagalannya. Duta Besar Rusia untuk AS, Anatoly Antonov mengecam AS karena tidak mengutuk apa yang dia katakan sebagai “tindakan sembrono oleh rezim Kyiv” dalam serangan pelabuhan Sevastopol. Selain dilakukan oleh diplomat, Kementerian Pertahanan Rusia menyalahkan angkatan laut Inggris atas pipa gas Nord Stream bulan lalu yang diklaim oleh Kanada adalah “tuduhan tidak berdasar.”
Baru-baru ini, Rusia kembali menyalahkan Kanada atas serangan 16 buah drone dari Ukraina ke kapal Rusia di Laut Hitam. Hal ini dilakukan karena drone tersebut memiliki suku cadang buatan Kanada dalam sistem navigasinya. Drone yang digunakan untuk menyerang kapal Rusia di Laut Hitam di Krimea dilengkapi dengan suku cadang buatan Kanada yang digunakan dalam sistem navigasi, menurut kementerian pertahanan Rusia.
Selain menyalahkan Kanada, Moskow menuduh Inggris membantu Ukraina merencanakan serangan pesawat tak berawak di Armada Laut Hitam di pelabuhan Sevastopol, dan mengatakan bahwa salah satu kapalnya hanya mengalami kerusakan “kecil”.
Akibat serentetan kemunduran di medan perang, Putin terlihat melunakkan sikap kerasnya terhadap perang di Ukraina, menteri pertahanan Moskow mengadakan pembicaraan yang jarang terjadi dengan pihak Amerika Serikat. Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu, sementara itu, berbicara di telepon dengan kepala Pentagon AS Lloyd Austin pada akhir Oktober.
Hal ini juga disetujui oleh Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang menjadi penengah antara konflik Rusia dan Ukraina, mengatakan bahwa Putin tampak “jauh lebih lembut dan lebih terbuka untuk negosiasi” dengan Ukraina daripada sebelumnya.
Saling Mengancam dan Saling Terancam
Tindakan dan komunikasi antara pihak Barat dan Rusia memperlihatkan bahwa kedua belah pihak sama-sama merasa terancam, dan juga berusaha mengancam satu sama lain. Hal ini dapat dimengerti sebagai dilema keamanan. Dilema keamanan adalah situasi di mana tindakan yang diambil oleh suatu negara untuk meningkatkan keamanannya sendiri menyebabkan reaksi dari negara lain, yang mengarah pada penurunan daripada peningkatan keamanan negara akibat aktor lain berusaha melampaui kekuatan negara lain.[6]
Dalam konteks invasi Rusia ke Ukraina, kedua belah pihak saling menyerang dan berusaha menggunakan alutsista yang semakin lama kausalitasnya semakin besar. Penggunaan drone merupakan salah satunya. Rusia sendiri dikatakan telah membeli drone canggih dari Turki, dan Ukraina diberi drone oleh pihak Barat. Di tambah, struktur dunia yang anarki membuat tidak ada kekuatan yang lebih tinggi dari negara yang dapat menjamin perdamaian, sehingga, ketika kesepakatan lewat diplomasi gagal dilakukan, maka ‘perang’ terjadi, seperti apa yang saat ini tengah terjadi.
Namun, perang juga telah menelan biaya dan korban begitu banyak, Rusia berusaha mengganti strateginya ke arah yang lebih lunak. Perandaian kesamaan invasi Ukraina dengan Kuba dapat dilihat sebagai cara Moskow mempengaruhi pihak Barat dalam melihat mengapa Moskow menyerang Ukraina. Bahkan di antara negara-negara yang tidak memiliki nilai-nilai bersama—seperti Rusia dan pihak-pihak Barat—keamanan kooperatif mungkin dicapai.[7]
[3] John Psaropoulos, “As Ukraine war drags into ninth month, Russia’s woes worsen”, Al Jazeera, 26 Oktober 2022, https://www.aljazeera.com/news/2022/10/26/as-ukraine-war-drags-into-ninth-month-russia-woes-worsen
[4] “Ukraine in maps: Tracking the war with Russia”, BBC, 29 Oktober 2022, https://www.bbc.com/news/world-europe-60506682
[6] Andres Wivel, “Security Dilemma”, International Encyclopedia of Political Science, Januari 2011
[7] Juan Díez Nicolás, “The perception of security in an international comparative perspective”, Real Instituto Elcano, 3 November 2015, https://www.realinstitutoelcano.org/en/work-document/the-perception-of-security-in-an-international-comparative-perspective/
Norwegia, yang berbatasan 198 kilometer dengan Rusia di Kutub Utara, telah meningkatkan anggaran militer dan dinas intelijennya di Norwegia utara karena ketegangan yang terus meningkat antara Barat dan Rusia pada awal November. Peningkatan kesiapan militer ini juga dilakukan karena pertimbangan situasi keamanan yang serius di Eropa.
“Kami berada dalam situasi kebijakan keamanan paling serius dalam beberapa dekade,” kata Perdana Menteri Jonas Gahr Store dalam sebuah pernyataan. Sementara itu Menteri Pertahanan Bjorn Arild Gram mengatakan peningkatan kesiapsiagaan militer akan mencakup langkah-langkah yang berkaitan dengan logistik, keamanan komunikasi, dan keamanan di instalasi militer.
Store menekankan, bagaimanapun, bahwa tidak ada indikasi bahwa Rusia akan memperluas perangnya ke negara lain, tetapi ketegangan yang meningkat berarti bahwa “kita lebih rentan terhadap ancaman, intelijen, dan pengaruh.”
Dia menambahkan bahwa semua negara NATO harus lebih waspada, termasuk Norwegia. Tugas terpenting angkatan bersenjata adalah “menjaga perdamaian dan keamanan kita, dan mencegah konflik,” kata Kepala Pertahanan Eirik Kristoffersen dalam pernyataan pemerintah. Store menambahkan bahwa Angkatan Bersenjata Norwegia menjaga keamanan Norwegia “bersama dengan sekutu kami.”
Perdana menteri Norwegia juga menyebutkan bahwa keanggotaan NATO akan menjamin keamanan negara. Namun, dia mengatakan “tidak ada alasan untuk mengharapkan bahwa Rusia akan melibatkan Norwegia secara langsung dalam perang, tetapi kita harus lebih waspada.”
Dalam beberapa pekan terakhir, Angkatan Bersenjata Norwegia telah meningkatkan kehadiran mereka dan berpatroli di sekitar infrastruktur penting di Laut Utara terutama setelah terjadi “dugaan sabotase” yang menyebabkan pipa gas Nord Stream Rusia di Laut Baltik meledak, bertepatan setelah drone terlihat terbang di dekat fasilitas minyak dan gas lepas pantai Norwegia.
Pekan lalu, layanan kontra-intelijen Norwegia menangkap seorang pria yang mereka katakan bisa menjadi agen rahasia Rusia. Badan intelijen juga menangkap beberapa orang Rusia lainnya dalam beberapa pekan terakhir karena menerbangkan drone secara ilegal di wilayah udara negara itu.
Saat suara pertama rudal Rusia membangunkan orang-orang di berbagai kota di Ukraina pada pagi hari tanggal 24 Februari 2022, itu juga menandai titik balik yang signifikan dalam sejarah energi. Fakta bahwa Rusia memulai perang agresi yang tidak adil dan tidak dapat dibenarkan di tengah-tengah Eropa menjadi akhir dari strategi Rusia yang telah lama dimainkan, dengan berpura-pura bertindak melakukan bisnis minyak dan gas standar yang hanya tertarik pada keuntungan. Sebaliknya, seperti yang ditunjukkan oleh perang di Ukraina dan penghentian pasokan gas ke Eropa dalam beberapa bulan terakhir, Kremlin selalu menganggap pasokan energinya sebagai senjata yang dapat digunakan dalam krisis. Di sektor energi, perubahan tektonik biasanya membutuhkan waktu—transformasi energi di Eropa sekarang berjalan dengan kecepatan kilat. Musim dingin ini bisa menjadi yang terakhir ketika Rusia masih bisa mempengaruhi agenda energi global.
Energi Rusia dan Ukraina
Sebelum tahun 2022, Rusia sering menerapkan leverage energinya atas Ukraina. Rusia menawarkan diskon harga dan kondisi yang menguntungkan untuk membeli gas sebagai imbalan kesetiaan politik dan membuat keputusan politik yang “benar”. Rusia menghukum para pemimpin negara yang tidak berani menyetujui persyaratannya dengan menciptakan krisis energi, memeras dengan harga gas yang lebih tinggi, dan menahan pasokan. Tentu saja, Rusia telah lama memiliki teman simpatik di antara elit politik dan komersial di Ukraina dan negara-negara anggota UE. Alat rekrutmen utama bagi perusahaan energi Rusia dengan mempekerjakan pensiunan politisi tingkat tinggi dari negara-negara target.
Pada tahun 2006 dan 2009, Rusia mengobarkan perang gas melawan Ukraina dan mencoba memanipulasi Uni Eropa. Hal ini juga telah mencoba beberapa kali sampai siap untuk permainan besar tahun 2021, ketika manipulasi Rusia dengan penyimpanan gas di seluruh Eropa bersamaan pemerasan dengan mencoba mendorong peluncuran proyek politik Nord Stream 2 yang sebagian besar berkontribusi pada meroketnya harga gas. Para pembuat keputusan UE tampaknya akhirnya memahami bahwa Rusia menggunakan pasokan energi untuk tujuan geopolitik. Namun, para pelobi masih berusaha meyakinkan kami bahwa kenaikan harga pada tahun 2021 hanyalah kebetulan karena beberapa faktor yang tidak terkait.
Keputusan tentang memasok energi Eropa yang telah dibuat Rusia selama perang sangat keterlaluan dan termasuk mengubah mata uang kontrak menjadi rubel Rusia; memotong pasokan (termasuk sepenuhnya untuk beberapa konsumen Eropa); memanipulasi rute transportasi Ukraina, menurunkan beban ekspor; dan secara artifisial mengurangi atau menghentikan rute Nord Stream 1 untuk memberi lebih banyak tekanan pada Eropa. Rusia telah bertaruh untuk meyakinkan Eropa bahwa energi Rusia adalah kunci penggunaan energi global.
Namun, Uni Eropa telah mengambil banyak langkah positif dalam menanggapi agresi Rusia. Baru-baru ini mengadopsi paket RePowerEU yang dengan jelas menyatakan tujuannya untuk memisahkan Eropa dari energi Rusia. Beberapa paket sanksi yang terkoordinasi dengan baik termasuk penghapusan penggunaan batu bara dan minyak secara bertahap di Uni Eropa. Untuk saat ini, sepertinya Eropa telah mengambil pelajaran dari tahun sebelumnya, karena ada perdebatan tentang mendapatkan kembali kendali atas infrastruktur energi kritis di beberapa negara Uni Eropa. Selain itu, bahkan pasar terbesar sumber daya energi Rusia sangat vokal mengubah strategi mereka untuk menghindari bahan bakar Rusia.
Setelah melakukan langkah awal untuk membuktikan penggunaan energi dalam hal minyak dan gas sebagai senjata, kini Rusia fokus pada sektor nuklir. Rusia merebut dua pembangkit listrik tenaga nuklir di Ukraina. Sementara tentara Ukraina secara efektif melawan pembangkit listrik tenaga nuklir Chornobyl, Rusia menggunakan pembangkit listrik tenaga nuklir terbesar Eropa di kota Energodar untuk pemerasan. Tidak hanya menempatkan personel dan peralatan militernya di fasilitas itu, tetapi juga menempatkan pekerja Rosatom di sana, menyiksa dan membunuh perwakilan personel pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia, dan menembaki wilayah pembangkit listrik tenaga nuklir untuk memutuskannya dari jaringan Ukraina. Langkah ini secara efektif menempatkan tindakan Rusia di tempat eksklusif bagi negara-negara teroris energi yang menggunakan semua sumber daya yang tersedia sebagai senjata yang tepat.
Apa permainan Rusia dalam kasus ini? Beberapa orang di Kremlin tampaknya percaya bahwa pada titik tertentu Eropa akan berada dalam ketakutan akan harga energi yang tinggi dan risiko kecelakaan nuklir di Ukraina sehingga mereka akan memohon kepada Rusia untuk kembali ke status quo ante (penarikan pasukan musuh dan pemulihan kepemimpinan/keadaan Kembali seperti sebelum perang). Pejabat Rusia memperkirakan bahwa harga energi akan lebih tinggi di musim dingin dan Uni Eropa harus melakukan beberapa langkah yang tidak populer untuk mempertahankan pasokan dan keseimbangan energinya. Namun, Rusia sepenuhnya salah dalam setidaknya satu asumsi. Setelah invasi brutal dan mematikan Rusia ke Ukraina, jalan kembali ke keadaan sebelumnya tidak ada lagi. Selain itu, Eropa telah mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi kemungkinana menipisnya kapasitas energi pada musim dingin.
Kemungkinan besar bahwa musim dingin ini akan sulit bagi banyak masyarakat Eropa, terutama bagi Ukraina. Invasi militer Rusia ke Ukraina mendorong percepatan revolusi energi yakni gerakan transisi energi di kawasan Eropa. Sanksi ekonomi dan embargo impor migas dari Rusia membuat kawasan Eropa harus segera membenahi aliran suplai energinya dan mengakselerasi penyediaan energi terbarukan. Namun, benua Eropa sedang bersiap untuk hal-hal yang terburuk, agar orang Eropa dapat bertahan di musim dingin yang sulit, terutama jika alternatifnya adalah menyerah pada Moskow.
Jerman telah menandatangani kontrak untuk pasokan gas alam cair dengan Qatar di tengah kelangkaan sumber daya energi dari Rusia. Kontrak tersebut disinyalir akan menjadi solusi jangka panjang untuk membantu negara-negara Eropa bergantung pada pasokan energi dari Rusia.
Dalam sebuah pernyataan, Qatar mengatakan bahwa selama bertahun-tahun telah berusaha untuk memasok Jerman tetapi diskusi tidak pernah menghasilkan kesepakatan yang konkret. Hingga akhirnya, invasi Rusia ke Ukraina membuat Jerman perlu mencari alternatif pemasok sumber daya energi lain untuk memenuhi kebutuhan negara industri tersebut.
Menteri ekonomi Jerman, Robert Habeck, mengumumkan kesepakatan itu setelah berdiskusi di Doha. Ia juga didampingi pebisnis dari Jerman. “Sungguh luar biasa bahwa saya dapat mengatakan bahwa telah disetujui dengan tegas untuk menjalin kemitraan energi jangka panjang – sebuah kerjasama,” kata Habeck dilansir dari The Guardian.
“Perusahaan-perusahaan yang sekarang terlibat dalam perjalanan ini akan mengadakan negosiasi kontrak dengan pihak Qatar.” Tambahnya. Namun, Habeck tidak memberikan angka rinci tentang rencana impor energi dari Qatar. Terkait kondisi di Ukraina saat ini, Jerman juga menunda proyek pipa gas Nord Stream 2 yang awalnya akan digunakan untuk mengirim gas alam dari Rusia secara langsung ke Jerman.
Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani bertemu Habeck pada hari Minggu dan keduanya membahas cara untuk meningkatkan hubungan bilateral, khususnya di sektor energi. Seorang juru bicara kementerian ekonomi Jerman di Berlin mengkonfirmasi pada hari Minggu bahwa kesepakatan telah tercapai.
Pemerintah Jerman sebelumnya menerima banyak kritik karena sempat menolak untuk melakukan embargo energi dari Rusia. Presiden Ukraina juga sempat mengkritik pemerintah Jerman karena hal ini dengan mengatakan bahwa prioritas Jerman hanyalah “ekonomi, ekonomi, ekonomi”.
Habeck berjanji bahwa Eropa akan memulai proses pengalihan impor energi dari Rusia ke alternatif lain. Di sisi lain Jerman belum memiliki terminal untuk gas alam cair dan membutuhkan waktu untuk pembangunannya. Hal ini kemudian menjadi salah satu pertimbangan pemerintahan Jerman.
Akhir dari ketergantungan energi Rusia?
Namun, pada akhir Februari, Kanselir Jerman Olaf Scholz mengumumkan pembangunan dua terminal baru untuk gas alam cair sebagai tanggapan atas apa yang dikatakan beberapa kritikus sebagai ketergantungan berlebihan Jerman pada gas Rusia. Terminal akan berlokasi di Brunsbuttel dan Wilhelmshaven di Jerman utara.
Masyarakat Jerman juga mayoritas mendukung pemerintahan Ukraina dan bersedia dengan kenaikan harga gas untuk membantu “menghukum” Rusia atas tindakannya. Namun, pemerintah Jerman sempat tidak menghiraukan keinginan publik karena ketergantungan minyak kepada Rusia.
Jerman mengimpor sekitar 56 miliar meter kubik gas alam dari Rusia pada tahun 2020. Hampir 55% impor gasnya berasal dari Rusia, dengan 40% permintaan gas di Jerman berasal dari industri. Dalam satu hari, Jerman sendiri dapat mengeluarkan biaya senilai $285 juta (£217 juta) per hari untuk minyak saja. Moskow juga menyediakan 34% minyak Jerman, terutama di sepanjang pipa Druzhba.