Keseimbangan Kekuatan dalam Menghadapi Konflik Rusia-Ukraina dan Bayang-Bayang Ketergantungan Energi
NATO masih menunjukkan responnya dalam ketegangan yang terus meningkat antara Rusia dan Ukraina melalui dukungan terus-menerus yang diberikan kepada Ukraina. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken, menegaskan bahwa dukungan NATO terhadap Ukraina tidak tergoyahkan, menunjukkan tekad aliansi untuk berdiri bersama negara tersebut dalam konflik melawan agresi Rusia. Pernyataan ini sekaligus menjadi upaya antara negara-negara anggota NATO, yang menyadari pentingnya stabilitas regional di Eropa.
Dalam pertemuan KTT Tahunan NATO yang diadakan di Washington DC pada 9-11 Juli 2024, salah satu fokus utama yang dibicarakan adalah keamanan Ukraina dan ancaman yang mungkin timbul dari China. Hal ini menunjukkan bahwa NATO tidak hanya menganggap Rusia sebagai tantangan utama, tetapi juga mengarahkan perhatian pada dinamika global yang lebih luas yang melibatkan kekuatan besar lainnya. Sebagai bagian dari upaya ini, NATO juga berkomitmen untuk mengembangkan peta jalan bagi Ukraina menuju interoperabilitas penuh dengan aliansi tersebut. Ukraina bukanlah anggota NATO, namun Ukraina adalah negara mitra NATO, yang bekerja sama erat dengan NATO tetapi tidak tercakup dalam jaminan keamanan dalam perjanjian pendirian Aliansi.
Meskipun Rusia terus mengecam langkah-langkah yang diambil oleh negara-negara NATO, termasuk penutupan perbatasan, dan memperingatkan tentang potensi konflik, NATO tetap mendukung Ukraina. Pertemuan antara menteri luar negeri NATO dan pejabat Ukraina di Brussels membahas bagaimana cara terbaik untuk mendukung Kyiv dalam menghadapi perang ini, menegaskan bahwa NATO tidak akan terpengaruh oleh intimidasi atau ancaman dari Rusia.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, perbedaan sikap antara sesama negara NATO mulai bermunculan. Dalam sebuah pertemuan, sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengusulkan paket bantuan militer lima tahun senilai 100 miliar euro untuk Ukraina, yang hanya didukung oleh Inggris, Polandia, dan Latvia. Hungaria menolak usulan ini, dengan alasan melindungi negara mereka dari konflik dan menghindari konfrontasi langsung dengan Rusia, mengingat ketergantungan mereka pada pasokan energi Rusia serta persaingan pertanian dengan Ukraina. Banyak negara NATO dan Uni Eropa lainnya, seperti Slovakia, Turki, Republik Ceko, Yunani, Prancis, dan Italia, juga bergantung pada energi Rusia, yang menyebabkan resistensi terhadap embargo minyak Rusia. Kedekatan Hungaria dengan Rusia memicu ketidakpuasan dari Polandia, yang mengkritik hubungan tersebut, bahkan menyarankan agar Hungaria keluar dari NATO jika tidak sejalan dengan kebijakan mereka, mencerminkan ketegangan dan dinamika internal yang kompleks di dalam aliansi tersebut.
Salah satu konsep yang dikenal dalam konteks hubungan internasional, adalah balance of power atau konsep keseimbangan kekuatan yang menekankan pentingnya kekuatan militer dan kepentingan nasional dalam perilaku negara. Balance of power menyatakan bahwa keamanan global dapat terjaga dengan membagi kekuatan militer secara merata di antara negara-negara, sehingga tidak ada satu negara yang mendominasi negara lain[1].
Dalam sistem internasional yang bersifat anarki, dimana tidak ada otoritas pusat yang mengatur, membuat negara harus mengandalkan diri mereka sendiri untuk keamanan, dan memastikan kelangsungan hidup mereka sendiri[2]. Atas dasar kepentingan nasional suatu negara, realis berasumsi bahwa pembuat keputusan adalah aktor rasional yang memprioritaskan pertahanan kekuatan dan keamanan negara mereka di atas pertimbangan lain. Adapun dalam mencapai balance of power, negara dapat menggunakan berbagai strategi seperti meningkatkan kemampuan militer dan kekuatan ekonomi untuk meningkatkan keamanan, serta membentuk aliansi dengan negara-negara lain untuk melawan potensi ancaman.
Dalam konteks perang Rusia dan Ukraina, dukungan NATO untuk Ukraina merupakan salah satu penerapan dari prinsip pencapaian balance of power. Dengan membantu Ukraina, NATO bertujuan untuk mencegah dominasi Rusia di kawasan tersebut, sehingga menjaga stabilitas regional dan kepentingan keamanan[3]. Paket bantuan militer yang diusulkan untuk Ukraina dan didukung oleh Inggris, Polandia, dan Latvia, menggambarkan upaya memprioritaskan penjagaan balance of power di Eropa. Sementara itu, penolakan Hongaria akan bantuan militer dapat dilihat sebagai upaya untuk melindungi kepentingan nasionalnya, khususnya ketergantungannya pada energi Rusia. Sikap ini mencerminkan pendekatan realis di mana Hongaria berupaya menghindari tindakan yang dapat mengancamnya.
Sementara itu, perbedaan sikap dalam NATO mengenai bantuan militer ke Ukraina mencerminkan dinamika keseimbangan kekuatan internal. Negara-negara yang mendukung bantuan militer bertujuan untuk mencegah Rusia memperoleh keuntungan strategis, sementara mereka yang bergantung pada energi Rusia atau khawatir tentang konflik langsung cenderung menolak provokasi lebih lanjut. Dukungan NATO untuk Ukraina merupakan tanggapan terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh Rusia. Dengan memberikan dukungan militer dan diplomatik, NATO berupaya memastikan bahwa Rusia tidak dapat dengan mudah mendominasi Ukraina, sehingga menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan dan melindungi negara-negara anggota NATO. Kemitraan ini bertujuan untuk memperluas jaringan keamanan NATO dan menambahkan elemen keseimbangan pada potensi ancaman dari Rusia.
Dari perspektif realis, tindakan NATO dalam mendukung Ukraina merupakan bagian dari upaya untuk menjaga keseimbangan kekuatan di Eropa dan mencegah dominasi Rusia. Perbedaan sikap di antara negara-negara anggota NATO mencerminkan kepentingan nasional masing-masing, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti ketergantungan energi dan persepsi ancaman langsung. Analisis ini menunjukkan bahwa meskipun ada ketegangan internal, prinsip keseimbangan kekuatan tetap menjadi pusat respons NATO terhadap konflik Rusia-Ukraina.
Hal yang terjadi menunjukan threat perseption yang berbeda antara sesama negara anggota NATO, yang didasarkan oleh kepentingan nasional masing-masing. Bagi beberapa negara, Rusia benar-benar menjadi ancaman yang serius, namun bagi beberapa negara lainnya, disamping Rusia merupakan sebuah ancaman, mereka tetap belum dapat ‘melepaskan’ Rusia. Hal ini menjadi dinamika yang kompleks dalam sebuah organisasi regional, terutama dalam sebuah keputusan regional, dimana ancaman yang dimaksudkan tidak terlihat sebagai ancaman yang sama dari satu negara dengan negara lainnya; atau dapat dikatakan bahwa mereka memiliki self perseption yang berbeda-beda.
[1] Lobell, Steven E. (2014). Balance of Power Theory. obo in International Relations. doi: 10.1093/obo/9780199743292-0083
[2] Sandrina Antunes and Isabel Camisao, “Introducing Realism in International Relations Theory,” E-Ir.Info (2018): 1–5, https://www.e-ir.info/2018/02/27/introducing-realism-in-international-relations-theory/.
[3] (2008). CHAPTER TWO. Realism, Balance-of-Power Theory, and the Counterbalancing Constraint. In World Out of Balance: International Relations and the Challenge of American Primacy (pp. 22-59). Princeton: Princeton University Press. https://doi.org/10.1515/9781400837601-005