Negara Barat yakni Eropa dengan aliansinya Amerika Serikat (AS) sedang disibukkan dengan permasalahan krisis perbatasan Rusia dan Ukraina. Tensi konflik perbatasan dikhawatirkan mengarah pada serangan militer terbuka atau bahkan menjadi “Perang Dunia Ketiga.”
Beberapa negara telah menyatakan pandangan dan dukungannya terkait penurunan eskalasi Rusia. Inggris menyatakan ragu invasi Rusia bisa dihentikan, dan menyarankan agar sanksi diberikan pada Rusia. Inggris dan AS juga sudah mengirimkan ribuan alutsista dan tentara untuk membantu meningkatkan kapabilitas militer Ukraina.
Rusia menginginkan agar aliansi pertahanan North Atlantic Treaty Organization (NATO) tidak melakukan ekspansi keanggotaan dan kekuatan militer di wilayah Eropa. Termasuk mengenai bergabungnya Ukraina dengan aliansi pertahanan tersebut.
Ketakutan Rusia mengenai kemungkinan masuknya Ukraina ke aliansi NATO bukan tanpa alasan. Jika Ukraina bergabung dengan NATO, maka kekuatan militer, termasuk kehadiran anggota militer NATO akan semakin besar di perbatasan dengan Rusia. Pengaruh Barat akan semakin besar di Ukraina, dan hal itu yang ingin dicegah Rusia.
Namun, kemungkinan bergabungnya Ukraina sangatlah kecil, karena selain permasalahan domestik yakni angka korupsi, konsekuensi politik keamanan saat Ukraina bergabung juga akan meningkatkan tensi dengan Rusia. Kondisi ini yang juga dihindarkan oleh Eropa dan AS.
AS menolak permintaan Rusia terkait penghentian pengiriman kekuatan militer di perbatasan dengan Ukraina. Tindakan ini memberi sinyal bahwa AS dan NATO tidak akan berdiam diri melihat tindakan agresif Rusia.
AS dan NATO menunjukkan bahwa mereka siap dengan kondisi apapun yang terjadi, bahkan jika skenario terburuk yakni perang di perbatasan tak terelakkan. Dari sisi AS, keputusan AS merupakan refleksi dari ketegasan AS atas ‘permainan’ Rusia pada Ukraina dan aliansinya, namun di sisi lain, peningkatan kekuatan militer juga akan membuat Rusia merasakan dilema keamanan.
Disaat AS dan beberapa negara Eropa mengirimkan bantuan militer, Jerman sebagai salah satu negara paling berpengaruh di Eropa malah menolak memberikan bantuan militer. Jerman lebih memilih mengirimkan bantuan kesehatan dan helm keselamatan. Lalu, bagaimana konflik perbatasan dari pandangan Ukraina-Rusia? Mengapa Jerman menolak dukungan militer untuk Ukraina?
Ukraina dari perspektif Rusia, dan sebaliknya
Semua pihak, baik Rusia-Ukraina, lalu aliansi Ukraina dan rekan Rusia sama-sama tidak menginginkan terjadinya perang. Mereka menyadari dampak jangka panjang dan buruk jika perang terjadi di wilayah regional Eropa. Tidak hanya merugikan nyawa, namun juga hubungan politik yang semakin tegang dan dampak pada kestabilan pertahanan, kerja sama ekonomi, serta aliran energi di Eropa.
Kemungkinan kontak bersenjata hanya akan terjadi jika salah satu pihak ‘berinisiasi’ memulai serangan terlebih dahulu. Pejabat resmi AS memprediksi Rusia akan menyerang Ukraina pada pertengahan bulan Februari mendatang. Namun, prediksi ini juga terus mengalami perpanjangan waktu sejak akhir tahun 2021 lalu.
Berkaitan dengan isu ini, Charles L. Glaser dan Chaim Kaufmann mendefinisikan keseimbangan ofensif-defensif sebagai rasio biaya atau harga yang harus dikeluarkan oleh kekuatan militer penyerang, berbanding dengan biaya yang dikeluarkan oleh kekuatan militer pihak bertahan.
Harga bukan hanya dari segi materil, namun juga dampak politik atas perang terlalu besar bagi kedua pihak, sehingga eskalasi besar menjadi opsi yang tidak menguntungkan.
Ukraina memiliki kemampuan militer terbatas jika dibandingkan dengan Rusia. Bergantung pada dukungan AS dan negara Eropa menjadi strategi bertahan Ukraina. Meskipun tensi ini bukan kali pertama terjadi, dan juga tidak akan menjadi yang terakhir, namun Ukraina seakan hanya memiliki satu opsi saat ini, yakni tetap mendukung langkah AS yang mengirimkan kekuatan militer.
Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba, menyatakan ‘puas’ dengan AS, dan menekankan tetap diperlukannya diskusi dengan Ukraina atas langkah apapun yang ditetapkan AS. Dalam hal ini, Ukraina tetap menginginkan AS menghormati dan melibatkan negaranya.
Permasalahannya, peningkatan dukungan militer dari AS menjadi kekuatan defensif bagi Ukraina, namun ofensif bagi Rusia. Dengan dukungan dan penambahan tentara dan alutsista dari AS dan Eropa, Rusia juga berupaya bertahan dengan terus meningkatkan jumlah tentara dan alutsistanya. Setidaknya berjumlah 100,000 tentaranya di wilayah perbatasan dengan Ukraina. Rusia menempatkan lebih banyak pasukannya di wilayah Luhansk dan Donetsk, yakni wilayah timur Ukraina.
Perbedaan pendekatan Jerman: Terpecahnya pandangan Eropa?
Rusia ingin memecah fokus Eropa dan AS. Rusia ‘menguji’ kepemimpinan Biden dan aliansi Eropa, terutama dengan pergantian Kanselir Jerman terbaru yakni Olaf Scholz. Tidak dipungkiri, terdapat banyak permasalahan di wilayah Eropa yang terus berkembang. Mulai dari isu bentrok pencari suaka atau pengungsi di Polandia, masalah pipa gas, dan juga konflik perbatasan di Ukraina.
Semua permasalahan ini saling berkaitan, dan kondisi konflik bersenjata dengan Rusia hanya akan memperburuk semua permasalahan yang ada. Dari perspektif Jerman, kontak senjata inilah yang ingin diminimalisir. Maka dari itu, Jerman memilih untuk tidak menyuplai alutsista apapun ke Ukraina.
Padahal, Jerman adalah salah satu produsen dan eksportir senjata utama dunia, dengan penjualan meningkat 21% dari 2016 hingga 2020, menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm.
Jerman mendapat kritik keras dari rekan negara Eropa lainnya yang menilai pasifnya kepemimpinan Jerman atas Rusia. Bahkan wali kota Ukraina, Vitali Klitschko, menilai langkah tersebut sebagai ‘lelucon.’ Klitschko menilai Olaf Scholz gagal memahami ancaman keamanan Rusia atas Ukraina.
Pendekatan yang akan dilakukan Scholz pada Rusia tidak akan banyak berubah. Keputusan untuk menolak pengiriman bantuan senjata militer oleh Olaf Scholz juga bukan berarti Scholz tidak mendukung NATO dan aliansinya AS.
Jerman merupakan bagian Eropa dan NATO, yang juga menentang tindakan agresif Rusia atas Ukraina. Scholz juga menegaskan akan terus mendukung dan memberikan bantuan pada Ukraina, namun dengan catatan tidak akan memberikan senjata mematikan. Jerman bahkan memblokir akses Estonia, aliansi di NATO, saat akan mengirimkan senjata bantuan buatan Jerman ke Ukraina.
Jerman memilih untuk menyeimbangkan kebijakannya sebagai aliansi AS dan Eropa, serta rekan Rusia terutama di bidang dagang. Kebijakan ini di satu sisi penting untuk menurunkan tensi militer di perbatasan Ukraina-Rusia, sekaligus melindungi kepentingan domestik Jerman baik ekonomi maupun energi dengan Rusia.
Macron: Rusia Tidak Menginginkan Perang dengan Ukraina - DIP Institute
February 11, 2022 @ 1:33 pm
[…] di perbatasan Rusia-Ukraina masih menjadi isu utama di wilayah Eropa. Negara-negara Barat berupaya melakukan dialog dengan […]