Perjanjian Menghentikan ‘Perang Korea’ Tidak Akan Mudah Diaplikasikan
Baru-baru ini Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Chung Eui-Yong, menyatakan bahwa Korea Selatan telah sepakat dengan Amerika Serikat mengenai rancangan perjanjian untuk mengakhiri Perang Korea. Kedua pemangku kepentingan setuju untuk mendeklarasikan secara resmi berakhirnya Perang Korea di tahun 1953 tanpa adanya perjanjian damai.
Namun, inisiasi untuk mengakhiri perang Korea ini tidak akan cukup untuk memperbaiki hubungan antar Korea Selatan (Korsel)-Korea Utara (Korut). Eui-yong menyatakan sejauh ini Korut merespons inisiasi Korsel-AS tersebut dengan baik, namun tetap membutuhkan aksi konkret dari Korut. Di sisi lain, Korut memandang bahwa inisiasi Korsel-AS sebagai ide yang ‘gegabah.” Dialog yang sudah lama dibahas tersebut belum juga mencapai kesepakatan lebih lanjut, dan hanya sebatas pelucutan senjata.
Lalu, mengapa Korut sulit menyepakati perjanjian untuk mengakhiri Perang Korea?
Perang Korea dan Perbedaan Persepsi
Pada tanggal 25 Juni 1950 lalu, Perang Korea pecah dan berlangsung selama tiga tahun. Sekitar 75.000 tentara Tentara Rakyat Korut menyerbu Korsel, dan perang tersebut menewaskan lebih dari dua hingga empat juta orang yang sebagian besar adalah warga sipil. Perang tersebut kemudian menjadi perang proksi antara AS dan Rusia-China menggunakan dasar perbedaan ideologi dan upaya invasi wilayah kekuasaan. Dikarenakan belum adanya perjanjian damai, maka Korut-Korsel secara teknis masih berada di masa perang, meskipun bukan perang militer terbuka.
Charles Kim, Profesor di University of Wisconsin-Madison memandang bahwa situasi politik yang tidak menentu saat itu mengakibatkan polarisasi kepemimpinan Korea. Soviet mendukung pemerintahan komunis untuk Korea Utara, sementara AS mendukung pemerintahan demokrasi di Korea Selatan. Pada perkembangannya, peperangan antar Korea ini menghasilkan kesepakatan pelucutan senjata untuk menurunkan tensi. Namun, tensi politik keamanan masih terus terasa karena percobaan peluncuran rudal oleh Korut.
Secara sosial pun, persentase dukungan untuk reunifikasi atau penggabungan kembali dua negara Korea terus menurun. Kondisi ini dilaporkan oleh Institut Studi Perdamaian dan Unifikasi (IPUS) di Universitas Nasional Seoul yang mencatat hanya sekitar 44.6 persen masyarakat yang mendukung reunifikasi Korea.
Meski perang secara terbuka sudah berakhir puluhan tahun lalu, namun dampak ketegangan kedua Korea masih sangat terasa. Dalam hubungan internasional, paradigma konstruktivisme dari Alexander Wendt memandang bahwa hubungan antara individu dan struktur yakni negara tidak hanya mempengaruhi individu tersebut, namun juga mempengaruhi pembentukan identitas dan kepentingan.
Negara tidak berinteraksi, namun agen atau elit-elit politik yang berinteraksi, sehingga mereka juga yang membentuk dan mendefinisikan keadaan internasional yang akan mempengaruhi pengambilan keputusan di domestik negaranya. Maka dari itu, mengingat elit-elit dari negara merupakan orang berbeda, maka pandangan mengenai sistem internasional juga berbeda dan dapat berubah sesuai kondisi sosial yang terbentuk tersebut.
Kondisi serupa juga terjadi dalam hubungan Korsel-Korut sebelum dan pasca Perang Korea. Perbedaan mendasar dalam ide, ideologi politik, kondisi sosial ekonomi, dan kepemimpinan menghasilkan jarak hubungan antar Korea. Identitas yang berbeda ini selanjutnya membentuk dan menghasilkan pandangan, tindakan, serta keputusan kebijakan luar negeri yang berbeda juga, baik dari Korut maupun Korsel. Kedua pihak saling melihat satu sama lain sebagai ‘lawan’ dan ancaman bagi kestabilan negara masing-masing.
Terlebih hingga saat ini, dampak perpecahan dan perang pun meluas pada permasalahan pengembangan senjata nuklir. Senjata nuklir yang dikembangkan atau diuji oleh Korut, meski dilarang, namun tetap digunakan sebagai alat kekuatan politik dan untuk mengancam masalah keamanan di Semenanjung Korea.
Geopolitik Semenanjung Korea
Bagi Korea Selatan, sangat penting untuk mengurangi ketegangan militer dan politik antara kedua negara melalui perjanjian ‘kesepahaman prinsip’ yang mengakhiri perang Korea. Dalam mencapai upaya ini, Korsel menggaet AS sebagai aliansi, sembari menjaga hubungan baik juga dengan China. Kondisi militerisasi dan permusuhan politik di kawasan Asia Timur, terutama dengan uji coba rudal Korut, merupakan alarm merah bagi Korsel dan negara-negara Asia Timur lain serta juga AS.
Secara domestik politik, Presiden Korsel, Moon Jae In, yang akan lengser pada Mei 2022 nanti menginginkan adanya upaya atau ‘peninggalan’ kepemimpinannya yang berkontribusi besar dalam memperbaiki hubungan kedua Korea.
Moon Jae-in menjanjikan upaya terakhir dan final dari dirinya bagi kemajuan hubungan antar Korea. Maka dari itu, Moon Jae-in mendukung adanya normalisasi hubungan dengan Korut, yang bisa dilanjutkan oleh kepemimpinan selanjutnya. Upaya ini tercipta dengan adanya pertemuan antara Jae-in dan Jong-un pada tahun 2018 lalu yang seakan membuka kesempatan normalisasi hubungan.
Namun, Korut melalui Kim Yo-jong yakni saudara dari Presiden Korut, Kim Jong-un, memberi sinyal bahwa Korut menginginkan syarat tertentu untuk melakukan dialog. Syarat yang diminta berkaitan dengan pandangan Yo-jong bahwa AS memberikan “kebijakan agresif” pada Korut. Meskipun sudah dibantah oleh AS, namun faktanya kehadiran tentara AS di Korsel dan untuk mendukung keamanan di wilayah Asia Timur tersebut dipandang sebagai sinyal ancaman bagi Korut.
Meskipun Korsel-AS sudah berupaya menormalisasi hubungan, namun kondisi politik keamanan yang masih tidak stabil mencerminkan kurangnya kompromi dari masing-masing pihak. Peningkatan kapabilitas militer baik alutsista, kerja sama pelatihan, serta penyebaran informasi antara AS dan aliansinya di Asia Timur terutama Korsel, semakin menekan Korut.
Terlebih, dengan sanksi ekonomi dan politik yang diberikan aliansi AS atas Korut juga membentuk pandangan bahwa apa yang dilakukan AS mampu menghambat perkembangan ekonomi dan politik di negaranya. Di satu sisi, Korsel yang dibantu AS juga menginginkan adanya kelanjutan dialog dengan Korut, sehingga Korsel juga berupaya menjaga hubungan dengan China. Hal ini dikarenakan China merupakan negara ‘penyokong’ ekonomi Korut, sehingga Korut bergantung banyak pada China. Terlebih, China juga mengharapkan adanya dialog politik untuk memulihkan keadaan di Semenanjung Korea. Namun, dukungan China untuk perdamaian juga tidak berdampak pada tindakan Korut di Semenanjung Korea.
Negara di regional Asia Timur menginginkan adanya konsultasi serta dialog yang didukung juga dengan aksi konkret dalam menjaga kestabilan Semenanjung Korea.
Di sisi lain, AS juga tidak mampu mendukung banyak Korsel dalam dialog dengan Korut, mengingat Korut masih terus melakukan uji rudal. Bahkan, jikalau dialog dilakukan, beberapa analis politik menilai tidak akan banyak perubahan yang terjadi, terutama karena Korut sering melanggar perjanjian nuklir.
Tindakan Korut yang keluar dari perjanjian senjata nuklir dan tetap melakukan uji rudal bahkan pada awal tahun 2022 ini, yang membuat kepercayaan AS pada Korut menurun atau bahkan tidak ada sama sekali. Skeptisme ini yang menghambat dialog perdamaian untuk menghentikan perang Korea. Diperlukan kompromi dan persamaan pandangan dari semua aktor negara utama guna merealisasikan perjanjian dan normalisasi hubungan Korut-Korsel.