Jepang bukan lagi negara dengan kinerja terbaik dalam hal menghindari kematian akibat Covid. Gelombang infeksi Omicron membanjiri sistem kesehatannya selama musim dingin ini dan menunda perawatan medis untuk pasien, bahkan tingkat kematian di tiap harinya mencapai rekor tertinggi pada 14 Januari 2023 dengan lebih dari 500 orang menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg.
Peningkatan tersebut mendorong tingkat kematian keseluruhan Jepang, bahkan tingkat infeksi di Jepang yan sebelumnya termasuk rendah, kini meningkat pesat. Status itu memberi lebih banyak ruang bagi orang untuk tertular virus untuk pertama kalinya musim dingin ini yang meningkatkan risiko kematian, kata Norio Ohmagari, kepala pusat pengendalian dan pencegahan penyakit di Pusat Kesehatan dan Kedokteran Global Nasional.
“Jumlah orang yang terinfeksi kemungkinan akan meningkat lebih cepat daripada negara lain mulai sekarang,” kata Ohmagari. “Jepang adalah masyarakat yang sangat menua, yang berarti proporsi orang dengan risiko kematian yang lebih tinggi tinggi. Dalam jangka panjang, kemungkinan Jepang akan menjadi salah satu negara dengan tingkat kematian yang tinggi.”
Jepang adalah salah satu negara dengan tingkat penuaan masyarakat tercepat di dunia, dengan orang yang berusia lebih dari 65 tahun merupakan 29 persen dari 125 juta populasi. Kelompok tersebut termasuk yang berisiko tertinggi untuk Covid, dengan laporan bahwa banyak kematian selama gelombang saat ini terjadi di antara mereka yang memiliki kondisi mendasar seperti Alzheimer dan penyakit jantung.
Peningkatan infeksi virus secara cepat ini terjadi setelah China, pada awal Desember tahun 2022 lalu mencabut kebijakan nol-Covidnya yang berkontribusi pada gelombang infeksi di awal tahun 2023. Selain itu, struktur sistem kesehatan kemungkinan besar memperburuk jumlah korban akibat Covid. Jepang mengklasifikasikan Covid sebagai penyakit serius, seperti tuberkulosis atau flu burung, dan mengirimkan pasien ke fasilitas khusus yang diperlengkapi untuk menanganinya. Rumah sakit Covid yang ditunjuk kewalahan oleh peningkatan pesat pasien selama gelombang yang dimulai pada Oktober dan membuat pasien justru memilih untuk pulang, kata Kenji Shibuya, seorang ahli epidemiologi di Tokyo Foundation for Policy Research.
Ribuan pasien darurat ditolak perawatan oleh rumah sakit tiga kali atau lebih sejak wabah dimulai, dengan angka mencapai rekor 8.161 pasien pada 9 Januari lalu, menurut Badan Penanggulangan Kebakaran dan Bencana. “Jumlah transportasi darurat dengan ambulans meningkat, membebani rumah sakit yang ditunjuk yang sudah kekurangan tenaga karena profesional medis juga terinfeksi,” kata Shibuya.
Untuk itu, ada seruan untuk menurunkan klasifikasi Covid, dan memperlakukannya seperti influenza, tetapi pemerintah telah menolaknya. Salah satu yang menjadi pertimbangan pemerintah sendiri adalah pertimbangan politik untuk menghindari membebankan biaya kepada pasien, karena jika klasifikasi diturunkan, masyarakat Jepang harus membayar sendiri untuk pengobatan seperti penyakit lain yang klasifikasinya rendah.