Pada awal Juni, AS dan Taiwan mengumumkan rencana baru mereka untuk membuka kerja sama perdagangan setelah Taiwan tidak dilibatkan dalam Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik. Inisiatif ini dinilai sebagai “terobosan bersejarah” bagi Taiwan karena membuka ruang untuk lebih banyak kerja sama perdagangan dan ekonomi dengan AS.
Peluncuran inisiatif ini akan berjalan paralel dengan upaya berkelanjutan Taiwan dalam bergabung dengan Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik untuk Kemakmuran, menurut John Deng, menteri tanpa portofolio yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Urusan Ekonomi Republik China. Untuk mendukung program ini, Deng sendiri akan melakukan perjalanan ke Washington, DC, pada akhir Juni untuk berpartisipasi dalam pertemuan pertama di bawah inisiatif tersebut.[1]
Di sisi lain, Pemerintahan Biden mengatakan bahwa para pejabat AS sedang bernegosiasi dengan Taiwan untuk mengembangkan inisiatif perdagangan baru. Dalam panggilan telepon dengan wartawan, seorang pejabat pemerintah AS mengatakan melalui inisiatif tersebut, “kami bermaksud untuk mencari cara untuk memperdalam hubungan ekonomi dan perdagangan bilateral kami dan memberikan hasil nyata bagi rakyat kami.”, dilansir dari CNN.[2] Area utama dari negosiasi Taiwan-AS ini mencakup banyak aspek termasuk fasilitasi perdagangan, praktik peraturan, pertanian, anti korupsi, mendukung usaha kecil dan menengah, hasil perdagangan digital, hak-hak buruh, lingkungan, perusahaan milik negara dan praktik dan kebijakan non-pasar.
Pembicaraan itu terjadi setelah Biden mengungkapkan rencana ekonomi Asia yang telah lama ditunggu-tunggu dalam pidatonya di Tokyo mengenai Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik untuk Kemakmuran yang mencakup 13 negara mitra tanpa Taiwan di dalamnya. Namun, melihat kondisi kawasan dimana China berusaha memainkan peran besarnya, para pejabat AS tampaknya terbuka untuk akhirnya memasukkan Taiwan ke dalam kerangka ekonomi itu. “Kami berkomitmen untuk menemukan cara memperdalam investasi perdagangan dengan Taiwan, itulah sebabnya kami mengembangkan inisiatif ini,” kata seorang pejabat senior AS.[3]
Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik untuk Kemakmuran (Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity atau IPEF) adalah sebuah kerangka kerja sama yang secara luas bertumpu pada empat pilar: perdagangan, ketahanan rantai pasokan, energi bersih dan dekarbonisasi, serta pajak dan langkah-langkah antikorupsi. Sebuah pernyataan bersama menunjukkan bahwa kerangka kerja tersebut bermaksud untuk “memajukan ketahanan, keberlanjutan, inklusivitas, pertumbuhan ekonomi, keadilan, dan daya saing” bagi negara-negara anggota. Perdana Menteri Narendra Modi menggambarkan dasar dari inisiatif kerja sama ini lahir dari keinginan kolektif untuk menjadikan kawasan Indo-Pasifik sebagai mesin pertumbuhan ekonomi global, menyerukan solusi bersama dan kreatif untuk mengatasi tantangan ekonomi di kawasan.[4]
John Deng menambahkan bahwa kerja sama ini termasuk elemen penting dari perjanjian perdagangan regional yang dapat mengarah pada penandatanganan perjanjian perdagangan bilateral yang “sangat dinanti” antara Taiwan dan AS. Namun di balik keuntungan ekonomi yang akan didapatkan Taiwan dari kerja samanya dengan Washington, AS sendiri memiliki tujuan lain jika dilihat dari perspektif hubungan internasional dan kondisi regional Indo-Pasifik yang tengah menjadi wilayah empuk sebagai wilayah target perluasan kekuatan China.
Dasar dari mengapa AS membentuk kerangka ekonomi adalah bahwa Washington berusaha untuk menghalangi pertumbuhan kekuatan China di kawasan tersebut, atau dalam kata lain, berusaha mencegah terjadinya hegemoni oleh China sebelum Tiongkok mengalahkan kekuatan Washington. Dengan mengikat negara-negara di kawasan Indo-Pasifik lewat kerja sama, tentu AS dapat mencegah negara-negara tersebut untuk berbelok ke pihak China. Menurut teori liberalisme, perdagangan internasional sendiri dapat digunakan sebagai media komunikasi dan cara untuk mencapai perdamaian dengan mitra dagang.[5] AS menggunakan liberalisme sebagai alat untuk mempertahankan status hegemon globalnya, karena liberalisme bergantung pada persetujuan dan karenanya melegitimasi diri sendiri.
Sebagai negara yang sedang berkembang pesat, China sendiri menjadi aktor kontra-hegemonik AS, hal ini tentu menjadi ancaman bagi AS sebagai negara hegemon—sebuah dominasi politik, ekonomi, dan militer satu negara atas negara lain yang memiliki legitimasi—dan klaim bahwa hegemoni liberal telah menjadi inti dari strategi besar AS terlihat dari kerangka kerja sama ekonomi ini. Di tambah, Taiwan sendiri merupakan wilayah yang diklaim oleh China sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya, walaupun di sisi lain, Hong Kong menolak bahwa dirinya merupakan wilaha kedaulatan China yang menimbulkan ketegangan diantara kedua negara tersebut.
[1] Niki Carvajal dan Wayne Chang, “US and Taiwan unveil new trade initiative after Taiwan was excluded from US Indo-Pacific economic initiative”, CNN, 1 Juni 2022, https://edition.cnn.com/2022/06/01/politics/us-taiwan-new-trade-initiative/index.html
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Saptaparno Ghosh, “Explained | What is the Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity?”, The Hindu, 28 Mei 2022, https://www.thehindu.com/news/international/explained-what-is-the-indo-pacific-economic-framework-for-prosperity/article65460071.ece
[5] Russet, B. 2010, dalam T. Dunne, M. Kurki, dan S. Smith, “International Relations Theories: Discipline and Diversity”, Edisi kedua, Oxford: Oxford University Press, 2007