Pemerintah Ethiopia telah membentuk sebuah komite untuk berunding dengan pasukan dari wilayah Tigray, Perdana Menteri Abiy Ahmed mengatakan dalam pidato yang disiarkan televisi kepada parlemen pada 14 Juni 2022. Komite telah “mempelajari prasyarat dan bagaimana negosiasi akan berjalan,” katanya.
Komite tersebut akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Ethiopia, Demeke Mekonnen dan diharapkan untuk menyerahkan laporan yang menguraikan rinciannya kepada Abiy dalam waktu 10 hingga 15 hari. Mekonnen menjelaskan bahwa Pemerintah Ethiopia berkomitmen untuk perdamaian baik itu dengan TPLF (Front Pembebasan Rakyat Tigrayan) atau entitas lain yang mencari perdamaian.
Inisiatif itu direspon baik oleh Debretsion Gebremichael, presiden TPLF yang mengatakan kelompoknya “siap untuk bernegosiasi untuk perdamaian yang konsisten dengan prinsip-prinsip dasar bagi hak asasi manusia, demokrasi, dan akuntabilitas,” dalam sebuah surat terbuka yang diposting ke Twitter.
“Kami akan berpartisipasi dalam proses perdamaian yang kredibel, tidak memihak, dan berprinsip,” bunyi surat itu, menambahkan bahwa kelompok itu menyatakan setiap pembicaraan damai harus diadakan di Nairobi, Kenya dengan mediasi yang dipimpin oleh Presiden Kenya, Uhuru Kenyatta.
Gebremichael juga menyatakan bahwa tuntutan untuk terjadinya negosiasi kegiatan itu membutuhkan keterlibatan berbagai mitra internasional, di bawah kepemimpinan Pemerintah Kenya. Di antara mitra tersebut adalah Amerika Serikat, Uni Eropa, Uni Emirat Arab, PBB, dan Uni Afrika. Setelah komite federal menyerahkan laporan, dan pasukan Tigrayan mengajukan prasyarat mereka, sebuah pengumuman akan dibuat mengenai pembicaraan damai antara keduanya.
Perkembangan tersebut menandai langkah signifikan menuju negosiasi damai antara dua kekuatan yang berkonflik selama lebih dari satu setengah tahun yang telah menelan ribuan nyawa, menyebabkan ratusan ribu orang dalam kondisi kelaparan di Tigray dan memecahkan rekor dunia untuk perpindahan dalam satu tahun pada tahun 2021, menurut Pusat Pemantauan Pemindahan Internal.
Konflik internal ini juga sempat membuat PBB harus ‘putar balik’. Serangan di wilayah Mekelle pada Oktober lalu memaksa pesawat PBB yang membawa 11 personnel kemanusiaan untuk memutar balik ke Addis Ababa. Kondisi ini memaksa penundaan penerbangan tiap dua minggu PBB ke wilayah tersebut. Kekhawatiran keselamatan pekerja kemanusiaan di wilayah konflik Tigray menjadi isu kritis yang perlu dilindungi dalam lingkup hukum humaniter internasional dan upaya resolusi konflik.