Dewan Penguasa Transisi Sudan mengonfirmasi bahwa kepala dewan militer berkuasa, Jenderal Abdel-Fattah al-Burhan, mencabut status darurat nasional Sudan. Keputusan al-Burhan dilakukan pasca pertemuan dengan Dewan Pertahanan dan Keamanan yang merekomendasikan pencabutan keadaan darurat, termasuk pelepasan tahanan.
Keadaan darurat nasional sebelumnya diberlakukan karena perebutan kekuasaan melalui kudeta pada Oktober 2021 lalu. Al-Burhan mendeklarasikan status darurat nasional yang dilanjutkan dengan pembubaran Dewan Kedaulatan dan Kementerian Sudan, serta menangguhkan diskusi beberapa pasal di dokumen konstitusional.
Al-Burhan melalui perintah daruratnya juga menangkap mantan Perdana Menteri Abdullah Hamdok, para menterinya, dan politisi lainnya di bawah undang-undang darurat. Dampaknya, kekuatan dan pengaruh dari pasukan keamanan dan badan intelijen meningkat, sehingga masyarakat turun ke jalan untuk memprotes ‘anti-kudeta’ di ibu kota Khartoum, Sudan.
Kekuatan militer ini diperbolehkan menangkap para demonstran, dan pasukan keamanan lain, serta memiliki kewenangan untuk melakukan fungsi pengawasan yang luas, sehingga dapat menangkap demonstran dan juga melakukan penahanan.
Aktivis kemanusiaan melaporkan bahwa para petugas keamanan menggunakan tembakan dan gas air mata untuk membubarkan ratusan pengunjuk rasa. Dalam bentrokan antara pendemo dan kekuatan militer, disinyalir militer membunuh setidaknya dua orang pada hari Minggu kemarin (29/30). Dengan begitu, angka ini menambah total korban yakni setidaknya 98 orang meninggal dan 4.300 orang terluka pada masa demo anti-kudeta.
Komite Pusat Dokter Sudan yang juga mendukung demonstrasi menilai bahwa dari dua korban tersebut, satu korban ditembak mati, dan satu korban lain dikarenakan menghirup gas air mata.
Komite menilai bahwa para militer yang ditugaskan mengamankan kudeta menggunakan kekerasan yang bertujuan mematikan karena menggunakan berbagai jenis senjata pada demonstran yang menginginkan revolusi.
Pencabutan status darurat untuk periode transisi yang lebih stabil
Jenderal Abdel-Fattah al-Burhan menjelaskan bahwa pencabutan status darurat tersebut merupakan upaya untuk menciptakan suasana “dialog yang bermanfaat dan bermakna guna mencapai stabilitas selama masa transisi [menuju pemerintahan sipil].” Langkah ini menunjukkan adanya upaya atau tawaran untuk berdialog dan mencapai kesepakatan bersama.
Jenderal al-Burhan berulang kali menjanjikan adanya pemilihan umum yang bebas di tahun 2024, namun para oposisi menilai al-Burhan hanya mengulur waktu untuk memperluas dan memperkuat kekuasaannya sembari melakukan upaya konsolidasi dengan partai politik, kepala suku, serta masyarakat Sudan.
Masyarakat terpinggirkan di Sudan menginginkan adanya pemerintahan yang fokus pada bantuan ekonomi, terutama pembangunan di area desa mereka, serta pemberian posisi pemerintahan pada pemimpin lokal.
Tekanan internasional atas Sudan
PBB, Uni Afrika dan delapan negara kelompok regional Afrika Timur telah mendorong adanya upaya memfasilitasi pembicaraan yang dipimpin Sudan untuk menyelesaikan krisis.
Selain itu, Amerika Serikat juga sudah menekan pemerintahan militer Sudan melalui jalur ekonomi. AS dan aliansinya juga menangguhkan bantuan senilai miliaran dolar untuk Sudan, di mana AS menyarankan agar para pemangku bisnis tidak melakukan aktivitas ekonomi di Sudan, dan mengancam menjatuhkan sanksi pada pemimpin Sudan. Pemerintahan Biden juga mendorong negara tersebut untuk kembali transisi demokrasi yang terhenti karena tindakan kudeta.
Mengingat keadaan Sudan yang sudah tidak stabil baik secara ekonomi dan politik, pemerintahan yang berkuasa saat ini harus mempertimbangkan upaya pemulihan kekuasaan dan keadaan di Sudan pasca kudeta.