Operasi militer Rusia di Ukraina tidak hanya menyebabkan korban jiwa, namun juga kerugian finansial dikarenakan menghambatnya pertumbuhan ekonomi serta rusaknya infrastruktur umum. Selain itu, perang ini juga memunculkan permasalahan lain seperti bagaimana mengadili kejahatan dan serangan ditujukkan kepada sipil. Human Rights Watch (HRW) melaporkan bahwa sejak Rusia menguasai sebagian besar wilayah di Kyiv dan Chernihiv pada Maret lalu, terdapat puluhan sipil yang tercatat menjadi korban eksekusi dan penyiksaan.
Dilansir dari laman Human Rights Watch, organisasi kemanusiaan ini mengunjungi wilayah perang, di mana setidaknya dari sekitar 17 desa dan kota kecil di Kyiv dan Chernihiv yang mereka kunjungi, terdapat 22 kasus eksekusi dan 9 kasus pembunuhan lain yang melanggar hukum. Selain itu juga terdapat 6 laporan orang hilang, 7 kasus penyiksaan, serta 21 kasus pengurungan yang tidak manusiawi. Tindakan-tindakan kejahatan pada sipil ini merupakan bukti jelas terhadap kejahatan perang, sehingga harus diselidiki lebih dalam dan dituntut. Tindakan-tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional dan asas kemanusiaan. Bahkan dalam kondisi perang pun, hukum internasional mengatur mengenai berjalannya perang dan penanganan korban dalam perang. Lalu, bagaimana perang diatur dalam hukum internasional?
Perlindungan warga sipil pada masa perang dalam Konvensi Jenewa 1949
Dalam peperangan, konflik tidak hanya merugikan kelompok atau angkatan bersenjata, namun juga masyarakat sipil yang berada di wilayah konflik tersebut. Dalam hal ini, terdapat hukum humaniter internasional yang membahas mengenai pengaturan bagaimana perang berjalan (jus in bello) serta pembatasan akibat-akibat pertikaian persenjataan, terutama dari sisi kemanusiaan. Aturan-aturan ini menjadi standar minimum hukum perlakuan sipil maupun kombatan di medan perang. Salah satu sumber hukum dari hukum humaniter internasional sendiri yakni Konvensi Jenewa 1949 1-4 berikut Protokol Tambahan I dan II 1977 , di mana baik Rusia dan Ukraina merupakan negara yang meratifikasi konvensi ini. Meskipun Rusia sudah tidak terikat dengan Protokol I Pasal 90 yang mengatur misi pencarian bukti oleh pihak asing, namun Rusia masih terikat dengan aturan Konvensi Jenewa lainnya.
Konvensi Jenewa 1949 secara garis besar mengatur mengenai penanganan tentara maupun sipil yang terluka dan sakit, perlindungan tahanan perang, dan perlindungan sipil dalam masa perang/ konflik bersenjata. Jika terdapat pelanggaran, meskipun negara yang melanggar tidak mendapat hukuman, namun sanksi moral dan ekonomi politik dapat dijatuhkan terhadap negara tersebut oleh negara yang diserang. Secara umum, perlindungan terhadap sipil diatur dalam Konvensi Jenewa 4 1949 pasal 2, 3, 27-39, pasal 47, 48, 50, 55, dan 58. Pengaturan ini penting dilaksanakan agar terdapat pembedaan mengenai kombatan dan sipil, sehingga dapat meminimalisir korban tidak bersalah. Dalam pasal 2, dijelaskan bahwa orang yang tidak secara aktif berpartisipasi dalam perang, yakni sipil dan angkatan bersenjata yang sudah meletakkan senjatanya, harus diperlakukan dengan benar berdasarkan kemanusiaan. Selain itu, tidak diperbolehkan melakukan tindak kekerasan atau penyiksaan kejam seperti mutilasi, menculik, melanggar harkat manusia, mengeksekusi tanpa putusan legal pengadilan, dll.
Dikutip dari warga yang diwawancarai oleh HRW, mereka menggambarkan bahwa mereka ditawan oleh tentara Rusia selama beberapa hari bahkan minggu dengan kondisi tempat pengurungan yang tidak layak, yakni ruang bawah tanah sekolah. Tempat tersebut tidak memiliki ruang terbuka dan juga sempit. Dengan sample sampel kesaksian tersebut, disinyalir angka-angka kekejaman tentara atas sipil ini lebih banyak dibandingkan kenyataan di lapangan. Terutama juga angka kekerasan atas sipil akan terus bertambah mengingat perang Rusia-Ukraina yang masih berlangsung hingga saat ini. Sebagai contoh, pengadilan Ukraina baru-baru ini dalam proses mengadili tahanan perang yakni tentara Rusia yang terbukti membunuh seorang sipil Ukraina yang tidak bersenjata.
Wanita dan objek infrastruktur sipil turut dilindungi pada masa perang
Selanjutnya dalam pasal 27 Konvensi Jenewa, dijabarkan bahwa orang sipil merupakan orang-orang yang dilindungi, terutama para wanita yang harus dilindungi dari tindak kekerasan seksual, dan lain-lain. Berdasarkan pasal ini, wawancara HRW dengan warga sipil Ukraina menggambarkan adanya pelanggaran berat yang dilakukan oleh tentara Rusia. Selain itu, protokol tambahan dalam Konvensi Jenewa, di mana pada pasal 52 ditetapkan bahwa objek selain objek militer yakni objek sipil tidak dibolehkan menjadi sasaran serangan. Objek sipil ini merujuk pada area sipil, kota, desa, area pemukiman, gedung-gedung perkantoran dan pemerintahan, sekolah, rumah sakit, monemun historis, tempat beribadah, dan tempat lain yang bukan menjadi sasaran militer.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga melaporkan bahwa per Maret 2022, terdapat 64 rumah sakit yang diserang oleh Rusia. Penyerangan terhadap fasilitas kesehatan tersebut setidaknya menewaskan 15 orang sipil, di mana tindakan ini jelas merupakan pelanggaran terhadap perlindungan objek bukan militer yakni rumah sakit. Mengingat rumah sakit adalah salah satu infrastruktur vital dalam pelayanan dasar kemanusiaan negara, maka taktik Rusia dengan penghancuran fasilitas kesehatan ini semakin melumpuhkan kekuatan Ukraina dalam merawat para sipil dan tentara yang terluka. Terlebih jika melihat keadaan Ukraina sekarang, Presiden Ukraina sendiri menilai beberapa kota sudah mengalami kehancuran sangat fatal. Presiden Ukraina Zelenskyy menyatakan bahwa kondisi di Borodyanka lebih buruk daripada kondisi di Bucha, di mana sekitar 300 orang disiksa dan dibunuh.