Meski masyarakat lokal, regional, dan internasional meminta Perdana Menteri (PM) Sudan, Dr. Abdallah Hamdok, untuk memikirkan kembali rencananya mundur, namun Hamdok tetap yakin untuk turun dari jabatannya. (Mantan) PM Hamdok mengumumkan dirinya mundur dari jabatan sebagai perdana menteri pada hari Minggu 2 Januari 2021 lalu.
“Saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghindarkan negara kita dari bencana ini,” kata Hamdok. Keputusan mundur didasari adanya kebuntuan politik dan protes pro-demokrasi pasca kudeta militer di negara transisi demokrasi tersebut. Kematian demonstran dan kegagalan Hamdok mengendalikan perkembangan politik negaranya juga menjadi dasar mundurnya Hamdok.
Sekitar tanggal 22 Desember 2021 lalu, terdapat sebuah laporan mengenai PM Sudan, Hamdok, yang menyatakan bahwa Ia berencana mundur dari jabatannya. Hamdok memberitahu pada kelompok politik nasionalis dan cendekiawan mengenai rencananya mundur dalam beberapa jam.
Hamdok mengingatkan kembali mengenai kejadian kudeta pada tanggal 21 November 2021 sebelumnya. Kejadian tersebut membuat kekuatan militer mengambil alih kekuasaan politik domestik dan penghentian kerja sama transisi dengan partai politik.
Selanjutnya, meskipun draf atau rancangan awal perjanjian didiskusikan dengan berbagai kekuatan partai politik, namun hasilnya tetap dikritisi oleh partai dan masyarakat umum.
Protes Masyarakat dan Syarat dari Hamdok
Dampak kudeta membuat ratusan ribu masyarakat Sudan turun ke jalan memprotes pemerintahannya. Masyarakat memprotes baik untuk ketidaksetujuan pada kekuasaan militer dan kepemimpinan kembali Hamdok pasca dijadikan ‘tahanan rumah’ oleh militer. Pihak militer menolak adanya tindakan penahanan, terlebih karena PM Hamdok tinggal di rumahnya sendiri atas keputusannya pribadi.
PM Hamdok menekankan akan melakukan transisi dan menghentikan pertumpahan darah di Sudan. Hamdok juga sudah mendorong dilakukannya dialog dan pertemuan nasional untuk sekaligus menggambarkan rencana dan upaya menuju transisi yang ‘sempurna.’
Selama protes di Sudan, terdapat sekitar 47 orang dilaporkan tewas. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menerima laporan adanya tindak kekerasan seksual pada sekitar 13 orang wanita. Kondisi ini semakin memperparah kondisi keamanan dan sosial di Sudan.
Sumber terdekat Hamdok sebelumnya memberitahukan bahwa Hamdok akan hanya berada dalam posisi pemerintahan jika Ia mendapat dukungan politik dan perjanjian dapat disepakati. Hamdok menekankan perlunya pihak militer melepaskan para tahanan politik dan adanya kebebasan berekspresi serta kebebasan Hamdok memilih kabinet baru. Namun, Hamdok menyadari adanya penurunan dukungan baik dari publik, politisi, dan kekuatan militer.
Hamdok tetap bertekad mundur dan respons AS
PM Hamdok sebenarnya dijadwalkan untuk memberikan pidato terkait kondisi di Sudan, namun harus dibatalkan karena Hamdok sudah bertekad mundur dari jabatannya.
Selanjutnya, pertemuan antara Hamdok dan kepala bersenjata tetap dilangsungkan. Namun, mereka tidak cukup mampu meyakinkan Hamdok terkait keputusannya untuk turun dari jabatannya. Pada kesempatan lain, terdapat pertemuan antara Ketua Dewan Kedaulatan Sudan, Abdel Fattah Al-Burhan, dengan Komandan Pasukan Khusus, Mohamed Hamdan Daglo. Mereka membahas mengenai risiko dari mundurnya Hamdok bagi kestabilan kekuasaan di Sudan.
Di sisi lain, Sekretaris Negara AS, Anthony Blinken, meminta kekuatan militer untuk melakukan gencatan senjata pada demostran. AS juga menuntut agar para pelaku kejahatan pada sipil untuk diminta pertanggung jawabannya.
AS mendorong agar pemimpin Sudan dapat mempercepat upaya pembentukan “kabinet berkredibel.” Badan yang perlu dibentuk yakni sebuah parlemen internal dan badan yudisial pemilihan yang akan mempersiapkan rencana penyelenggaraan pemilihan umum Sudan tahun 2023 nanti.
Sudan Menarik Status Darurat Nasional Pasca Kudeta 2021 - DIP Institute
May 30, 2022 @ 2:41 pm
[…] Penguasa Transisi Sudan mengonfirmasi bahwa kepala dewan militer berkuasa, Jenderal Abdel-Fattah al-Burhan, mencabut status […]