Hong Kong baru saja melaksanakan pemilihan umum Dewan Legislatif yang disebutkan sebagai pemilihan khusus bagi para ‘patriot.’ Dewan Legislatif merupakan badan yang berwenang membuat dan mengubah aturan hukum di Hong Kong. Namun, partisipasi di Hong Kong pada hari Minggu (19/12) lalu mencatat partisipasi terendah semenjak pengalihan kewenangan ke China di tahun 1997.
Pemungutan suara hari Minggu tersebut menentukan susunan legislatif Hong Kong. Hanya sebagian dari badan legislatif tersebut yang pernah dipilih secara langsung. Tetapi sampai saat ini, badan tersebut tetap bertindak sebagai pengawas terhadap pemerintah Hong Kong. Pejabat resmi Hong Kong menyatakan pemilihan diperlukan untuk memastikan pencapaian stabilitas, namun para pengkritik menilai pemilihan hanya akan melemahkan demokrasi di Hong Kong.
Awalnya pemilihan legislatif dijadwalkan pada tahun 2020, tetapi ditunda selama 18 bulan, dengan alasan pandemi Covid-19. Selama penundaan, beberapa pemimpin oposisi terkemuka dipenjara. Di bawah Undang-Undang Keamanan Nasional baru, terdapat aturan mengenai upaya mengkriminalisasi perbedaan pendapat, atau melarikan diri ke pengasingan.
Beijing juga menulis ulang aturan pemilihan, sehingga terdapat pengurangan jumlah kursi yang dipilih langsung dari 35 menjadi hanya 20 kursi.
Banyak anggota dewan distrik yang terpilih pada tahun 2019 telah didiskualifikasi atau melarikan diri dari wilayah tersebut setelah Undang-Undang Keamanan Nasional mulai berlaku.
Rendahnya partisipasi sebagai bentuk ‘protes’ pada China
Pejabat resmi Hong Kong menyataan dari sekitar 4,472,864 orang yang terdaftar sebagai pemilih, hanya sekitar 1,350,680 orang yang menggunakan hak pilihnya pada hari Minggu lalu. Padahal pada pemilihan umum lokal tahun 2019 lalu terdapat sekitar 3 juta orang berpartisipasi. Pemilihan pada 2019 tersebut dilakukan beberapa bulan pasca protes melawan peningkatan kendali China atas Hong Kong. Sekitar lebih dari 71 persen pemilih terdaftar menggunakan hak pilihnya tahun 2019.
Pejabat resmi menyatakan persentase partisipasi di tahun 2021 hanya sekitar 30.2 persen. Kondisi ini dinilai sebagai dampak dari kebijakan kontroversial China yang memberikan kewenangan China “menyeleksi” setiap kandidat yang maju. Rendahnya partisipasi merupakan upaya penolakan, tidak hanya terhadap kandidat yang sangat pro-China, tetapi juga rekayasa ulang Beijing atas wilayah tersebut.
Menjelang pemungutan suara, pihak berwenang Hong Kong menilai pemberian suara sebagai mosi percaya dalam sistem politik dan mencoba untuk meningkatkan partisipasi. Namun, tanggapan lain muncul karena dinilai ingin menghancurkan oposisi pro-demokrasi.
Beberapa upaya dilakukan untuk meningkatkan partisipasi pemilihan. Pejabat pemerintah terkait penyelenggaraan pemilihan umum menekankan agar masyarakat berpartisipasi. Langkah ini dilakukan dengan mengirimkan pesan teks massal pada masyarakat.
Otoritas setempat juga memberikan fasilitas seperti penggunaan transportasi umum gratis. Mereka juga mengizinkan penduduk Hong Kong yang tinggal di China daratan untuk memilih di titik pilih perbatasan. Namun ternyata dampaknya tidak terlalu signifikan. Hal ini dikarenakan para pemilih lebih memilih untuk mengunjungi tempat berlibur atau bermain publik.
Penurunan partisipasi mencerminkan ketidaksetujuan pelaksanaan pemilihan umum yang dinilai tidak adil dan menekan demokrasi. Bahkan para aktivis meminta masyarakat memboikot atau mengosongkan kertas pemilihan sebagai bentuk protes. Mereka menilai para ‘patriot’ tersebut hanyalah membentuk sebuah dewan ‘boneka’ yang bisa diperintah oleh China.
Meskipun mengosongkan kertas pemilihan adalah hal legal, namun sekarang tindakan tersebut melanggar hukum karena mendorong orang untuk tidak memilih. Lebih dari 10 orang ditangkap karena secara ilegal mendorong orang untuk mengosongkan kertas suara, termasuk orang-orang yang menyebarkan dukungannya di media sosial.
Hasil pemilihan sementara menunjukkan bahwa hampir semua kursi didapatkan oleh kandidat pro-Beijing. Bahkan beberapa kandidat sudah menyuarakan “kemenangan sudah digaransi.”