Perundingan Nuklir Iran Kembali Diselenggarakan
Pada hari Senin (29/11), Amerika Serikat (AS) dan aliansinya akan memulai kembali perundingan dengan Iran terkait pengembangan nuklir. Pendekatan dengan pemimpin baru Iran dilakukan melalui negosiasi, namun jika gagal, AS menyatakan “siap menggunakan cara lain.”
Negara lain turut hadir dalam perundingan yakni Jerman, Inggris, Prancis, China, dan Rusia, di mana Eropa berharap Iran melihat pertemuan ini sebagai “ronde satu.” Presiden AS Biden menawarkan untuk memasukkan kembali AS pada JCPOA, namun isu sanksi dari AS dan pelanggaran perjanjian dari Iran menghambat upaya tersebut.
Aliansi dekat AS, Israel, terutama operasi intelijen Israel selama 20 bulan ke belakang telah membunuh kepala ilmuwan pengembangan nuklir Iran dan memicu ledakan besar di empat fasilitas nuklir dan rudal Iran. Tindakan ini dilakukan untuk melumpuhkan sentrifugal yang menghasilkan bahan bakar nuklir dan menunda kemungkinan pengembangan bom nuklir. Namun, intelijen AS menyatakan Iran bisa pulih dengan cepat, bahkan memasang mesin baru yang dapat memperkaya uranium dengan kecepatan yang jauh lebih cepat. AS juga memperingatkan Israel bahwa serangan terus menerus terhadap fasilitas nuklir Iran mungkin baik secara taktikal, namun akan kontraproduktif.
Iran, di sisi lain, selalu menyangkal intensinya untuk mengembangkan senjata nuklir dengan dalih “mengembangkan kapabilitas.” Pada kepemimpinan baru Iran melalui Presiden Ebrahim Raisi, untuk pertama kalinya seorang negosiator baru Iran berencana untuk bertemu dengan Eropa, China, dan Rusia untuk mendiskusikan masa depan perundingan nuklir Iran tahun 2015 yakni Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Ali Bagheri Kani, kepala negosiator nuklir Iran menilai perundingan bukan untuk membicarakan “negosiasi nuklir” namun negosiasi untuk menghentikan “sanksi tidak berkemanusiaan.” Perundingan JCPOA sendiri secara drastis membatasi aktivitas pengembangan nuklir Iran, di mana Iran dalam pertemuan kali ini akan memberikan sebuah syarat baru yang menekankan perlunya peringanan sanksi AS. Iran juga menginginkan garansi agar tidak ada presiden AS di masa depan yang akan keluar dan melanggar perundingan seperti Trump.
Biden sendiri menyatakan jika AS bergabung kembali dengan JCPOA, maka AS selama kepemimpinannya tidak akan keluar dari JCPOA. Namun pejabat resmi pemerintah Biden menyatakan AS tidak akan pernah menyetujui komitmen melebihi kapasitas itu. Permintaan Iran dinilai tidak logis, sehingga sulit untuk mencapai kesepakatan bersama.
Perundingan JCPOA akan mengumpulkan kembali aktor terkait di Vienna setelah hampir enam bulan diskusi Iran-AS, namun selang waktu atau “hiatus” perundingan menimbulkan permasalahan lain. Sebelumnya Iran mengumumkan tidak adanya proliferasi uranium, sehingga membatasi waktunya untuk mengembangkan senjata nuklir.
Pertemuan di Vienna akan Berlangsung Rumit
Banyak skeptisme terkait pertemuan di Vienna, terutama karena pejabat resmi Amerika akan berada di Vienna, namun tidak akan ‘bertemu langsung’ dengan Iran. Hal ini dikarenakan sejak keluarnya AS dari JCPOA pada masa kepemimpinan Trump, Presiden Iran berencana tidak bertemu langsung dengan AS. Maka dari itu, visi Presiden Biden untuk ronde baru perundingan nuklir Iran yang “lebih kuat” akan sulit dicapai.
Diplomat dari negara Barat mengakui belum bisa memastikan pemimpin baru Iran menginginkan sebuah perjanjian atau hanya mengulur waktu untuk memperkuat pengembangan program nuklirnya. Eropa mengatakan tidak akan mempertimbangkan “rencana B” jika terdapat kebuntuan. Namun, berbagai cara sudah dibicarakan dengan AS yakni mulai dari isolasi ekonomi dan sabotase.
Kepala negosiator AS, Robert Malley, menyatakan “Jika memang Iran berupaya mengulur waktu untuk mengembangkan program nuklirnya, maka seperti yang saya katakan, kami akan merespons dengan segala cara yang sesuai dengan preferensi kami. Tidak akan ada yang terkejut jika tekanan pada Iran akan ditingkatkan.”
Penasihat Biden meragukan sanksi baru untuk pemimpin Iran, baik melalui militer maupun perdagangan minyak, akan lebih sukses dibandingkan sanksi dan tekanan sebelumnya. Selain itu, langkah lebih agresif juga dinilai bisa memberikan hasil berbeda dari yang diharapkan.