Setengah Tahun Kudeta Myanmar, Lebih dari 1.000 Orang Dilaporkan Tewas
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik atau Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), kelompok aktivis kemanusiaan yang mencatat korban kekerasan oleh kekuatan militer, menyatakan lebih dari seribu masyarakat sipil Myanmar tewas sejak kudeta militer Tatmadaw pada 1 Februari lalu.
Gelombang protes nasional Myanmar terutama dari pendukung Aung San Suu Kyi, elit politik terpopuler Myanmar yang ditahan, memicu kontak antara militer dan sipil. Militer mengklaim penahanan Suu Kyi dan elit lainnya dilakukan karena kecurangan pemilihan umum tahun lalu dan tuduhan lainnya.
Aung San Suu Kyi sempat muncul ke publik pada Juni lalu untuk menghadiri pengadilan atas beberapa tuduhan lain seperti kepemilikan walkie-talkie, pelanggaran batasan pandemi karena kampanye pemilu, korupsi, pelanggaran hukum Official Secrets Act, dan lain-lain.
Proses hukum ini masih berlanjut, di mana salah satu pengacara Suu Kyi yakni Daw San Mar Lar Nyunt diminta oleh junta militer agar menandatangani kesepakatan untuk tidak berbicara pada media maupun pihak asing terkait perkembangan isu Myanmar.
Kondisi politik domestik Myanmar mengalami eskalasi antara sipil dan militer, namun belum ada tanda-tanda pembebasan Suu Kyi. Bahkan, pihak-pihak yang menyerukan pembebasan mendapat sanksi politik, seperti Dubes Kyaw Swar Min yang dipulangkan dari Inggris.
Sejauh ini, ribuan orang sudah ditangkap, di mana kelompok AAPP juga mengklaim per tanggal 18 Agustus sekitar 1.006 masyarakat sipil sudah menjadi korban tewas dari kudeta Myanmar. Jumlah ini diperkirakan lebih tinggi pada realitanya.
Juru bicara militer Myanmar menyatakan laporan AAPP yang digunakan oleh organisasi internasional tersebut dilebih-lebihkan. Militer juga menyatakan puluhan anggota militer juga turut tewas selama kondisi ketidakstabilan di Myanmar terjadi.
Kekerasan Militer terus terjadi dan memakan korban
Sejak kudeta terjadi, eskalasi konflik antara militer Tatmadaw dengan organisasi etnis bersenjata di perbatasan juga turut meningkat. Militer yang menggunakan serangan udara dan darat memaksa sebanyak 230.000 orang pergi ke wilayah yang lebih aman.
Serangan ini diluncurkan pada pemukiman publik dengan membakar rumah, menyerang gereja, memblokir akses bantuan kemanusiaan, dan lain-lain yang banyak menewaskan masyarakat sipil.
Namun, militer menyatakan insiden ini terjadi karena militer menyerang kelompok “teroris” bukan sipil.
Baru-baru ini juga, dua komander dari Karen National Defence Organisation (KNDO) yakni Jenderal Ner Dah Bo Mya dan Letnan Saw Ba Wah mengakui kejahatannya pada bentrokan di perbatasan Myanmar dan Thailand pada Juni lalu yang menewaskan 25 dari 47 orang yang ditahan.
Penahanan 47 orang ini termasuk di dalamnya 16 orang wanita dan anak-anak yang sejak 31 Mei sudah ditahan dikarenakan melawan kudeta yang terjadi.
Dua komandan ini sempat menolak mengakui kejahatannya dengan dalih meskipun korban sipil tersebut tidak bersenjata, namun mereka merupakan mata-mata, sehingga tetap perlu “ditindak” sesuai dengan prosedur. Perintah tersebut diklaim didapatkan dari “kapten intelijen” dari the Karen National Union (KNU), yakni kelompok politik yang mengontrol KNDO.
Investigasi lanjutan mengenai kejahatan militer ini masih bergulir, di mana KNU sudah mengonfirmasi akan bekerja sama dengan investigator internasional terkait insiden ini.