Apakah Pemerintahan Taliban Akan Sama Seperti Tahun 1996?
Kelompok Taliban, merupakan sebuah kelompok yang muncul akibat perang sipil yang terjadi di Afghanistan dan ditambah mundurnya pasukan Uni Soviet pada tahun 1989 yang menyebabkan ketidakstabilan negara. Hingga pada 1994, Taliban berhasil menguasai Kota Kandahar yang merupakan kota kelahiran kelompok tersebut, dan dua tahun setelahnya kelompok yang diinisiasi oleh Mullah Mohammad Omar itu berhasil menguasai Kabul, Ibu Kota Afghanistan.
Sejak tahun 1996, Taliban kemudian mengambil alih kekuasaan Afghanistan, dan mulai menjalankan pemerintahan dengan berjanji pada pendukungnya bahwa dibawah kepemimpinan Taliban, Afghanistan akan terbebas dari korupsi dan kembali tegaknya keadilan lewat hukum Syariah Islam yang sangat ketat. Hukum ultrakonservatif yang dijalankan Pemerintah Taliban ini membuat eksekusi di depan umum dan pencambukan adalah hal biasa, memberlakukan aturan yang melarang wanita bekerja atau belajar dan dipaksa mengenakan burqa, serta dihancurkannya buku dan film Barat dan menghancurkan artefak budaya dari tradisi lain.[1]
Kepemimpinan Taliban sendiri berakhir akibat hubungannya dengan kelompok militan Al-Qaeda yang dipimpin Osama Bin Laden. Di Afghanistan, Bin Laden tidak hanya membangun kamp pelatihanbagi para militan yang akhirnya menyebabkan tragedi 9/11, tetapi turut bersembunyi di negara tersebut yang menjadi alasan mengapa Amerika Serikat (AS) kemudian menginvasi Afghanistan untuk memburukelompok-kelompok ekstrimis. Kekuasaan Taliban berakhir pada Desember 2001 setelah AS dan sekutunya menyerang Afghanistan dan menggulingkan kekuasaannya.
Semenjak itu, AS yang mendampingi Afghanistan memulai perang melawan kelompok-kelompok ekstrimis seperti Taliban, dan menginginkan Afghanistan yang lebih stabil secara politik dan keamanan, modern, dan juga demokratis.Walaupun begitu, Taliban tidak pernah berhenti berusaha mengambil alih kembali negara tersebut, kelompok itu menjadi sebuah pemberontakan yang kuat, membuat “pemerintahan bayangan” di seluruh negeri untuk menentang pemerintah Afghanistan baru yang didukung AS.[2]
Akankah Pemerintahan Taliban sama seperti sebelumnya?
Selama 20 tahun militer AS memerangi kelompok ekstrimis di Afghanistan, banyak pemimpin Taliban menghabiskan waktunya berada di Pakistan dimana mereka memperluas wawasan mereka. Para pemimpin itu menyelesaikan studi mereka dan terlibat dengan dunia perkembangan Islam yang membuka perspektif mereka terhadap interpretasi baru tentang Islam.[3] Sampai akhirnya pada 15 Agustus 2021 Taliban mengambil alih kekuasaan Ashraf Ghani, Presiden Afghanistan yang kabur ke Uni Emirat Arab (UEA). Hal ini menciptakan kepanikan masyarakat yang saat ini berebut untuk kabur dari Afghanistan.
Merespon hal tersebut, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 2021, juru bicara Taliban menyatakan bahwa pemberontak yang menguasai Afghanistan berjanji akan menghormati hak-hak perempuan dan tidak akan membalas dendam pada siapapun, berusaha menenangkan masyarakat yang ketakutan dan kekuatan dunia yang skeptis terhadap pemerintahan Taliban. Taliban telah berusaha untuk menggambarkan diri mereka sebagai lebih moderat daripada ketika mereka terakhir memerintah.[4] Sebelumnya, Enamullah Samangani, seorang anggota komisi kebudayaan Taliban, menjanjikan amnesti dan mendorong perempuan untuk bergabung dengan pemerintah dan mencari orang-orang yang bekerja sama dengan pemerintah untuk membangun pemerintahan baru.[5]
Pendidikan yang diambil oleh para pemimpin Taliban tentu memiliki pengaruh sedikit banyak terhadap pemerintahan yang akan dijalankan, hal ini sejalan dengan bagaimana konstruktivis menekankan pergeseran dari pemikiran rasionalis dan berbasis kepentingan ke dalam peran pengetahuan, norma dan nilai dalam membentuk posisi sebuah negara.[6] Walaupun tujuan Taliban kali ini sama dengan sebelumnya yaitu membuat negara Islam, tetapi cara bagaimana pemerintahan itu dijalankan akan dibentuk sebagaimana para pembuat kebijakan itu menganggap nilai apa yang perlu dipertahankan dan tidak. Saat ini, banyak negara dan masyarakat mengecam aksi Taliban dan takut pemerintahan ekstrim 1996 kembali terjadi maka dari itu pihak Taliban menyatakan bahwa pemerintahan kali ini akan berbeda.
Seberapa signifikan perbedaan dari pemerintahan sebelumnya sendiri masih belum jelas, konferensi pers yang digelar pada 18 Agustus 2021 dan disiarkan di TV Afghanistan itu masih terlalu umum sehingga belum dapat terlihat bagaimana perubahan yang akan terjadi, selain itu, hukum Islam yang akan dijalankan pun berdasarkan interpretasi mereka. Jika pemerintahan tahun 1996 kembali terjadi, kemungkinan besar militer AS yang belum sepenuhnya keluar dari Afghanistan akan mencoba menggulingkannya lagi, ditambah beredar kabar bahwa Ashraf Ghani, Presiden Afghanistan berencana kembali ke Afghanistan setelah melakukan perundingan di UEA untuk mengembalikan perdamaian negara tersebut.
Walaupun banyak masyarakat yang skeptis terhadap Taliban, namun, tidak semua negara sepenuhnya skeptis terhadap Taliban, China yang sebelumnya telah melakukan dialog dan melakukan kerja sama dengan Taliban bisa saja mengakui pemerintahan tersebut. Selain itu, melansir Reuters, Kepala Staf Pertahanan Inggris Nick Carter juga memberikan kesempatan kepada Taliban untuk membentuk pemerintahan jika mereka ingin berubah untuk membuktikan janji pada konferensi pers.
[1]VOA News, “Who Are the Taliban?”, VOA, 16 Agustus 2021, https://www.voanews.com/south-central-asia/who-are-taliban
[2] Kevin Sieff, “The Taliban has retaken control of Afghanistan. Here’s what that looked like last time”, The Washington Post, 15 Agustus 2021, https://www.washingtonpost.com/world/2021/08/15/afghanistan-taliban-islamic-emirate/
[3] Borhan Osmand dan Anand Gopal, “Taliban Views On A Future State”, NYU Center On International Cooperation, Juli 2016, https://cic.nyu.edu/sites/default/files/taliban_future_state_final.pdf, hlm.7
[4] The Associated Press, “The Taliban Claim They’ll Respect Women’s Rights – With Their Reading Of Islamic Law”, NPR, 17 Agustus 2021, https://www.npr.org/2021/08/17/1028391403/afghanistan-women-taliban-government
[5] Ibid.
[6] M.P. Haas, R.O Keohane, dan M.A. Levy, (1993) dalam C. Okereke, “Climate Justice and the International Regime”, Wiley Interdisciplinary Reviews: Climate Change, 2010.