Media internasional membentuk citra Rusia terkait tindakannya menginvasi Ukraina. Berbagai bukti dan tindakan dari tentara Rusia menjadi topik hangat dan headline di berbagai website media lokal dan juga internasional.
Sejak “latihan militer” yang dilakukan Rusia di perbatasan dekat Ukraina, berbagai media telah melaporkan hal berita dan memberikan berbagai spekulasi apakah Rusia akan benar-benar menyerang Ukraina atau tidak. Hingga akhirnya tentara Rusia melancarkan serangan ke Ukraina. Sejak saat itu, media menggambarkan bagaimana tindakan Rusia sangat tidak manusiawi. Selain itu, media juga mem-publish berbagai opini dan analisis terkait bagaimana tindakan Rusia dan bagaimana dampak bagi Ukraina dan juga masyarakatnya.
Secara umum, berbagai media menganggap Rusia menjadi aktor yang harus bertanggung jawab akibat tindakannya dan Ukraina menjadi korban dari “kejahatan” Rusia. Berbagai negara berusaha membantu Ukraina dari berbagai sektor yang terdampak akibat kontak senjata antara kedua negara tersebut.
Lalu, bagaimana media Rusia sendiri membentuk citra negaranya? Sebagai negara yang dipandang buruk oleh banyak aktor internasional, bagaimana Rusia membangun “nasionalisme” bagi masyarakatnya lewat media?
Dilansir dari website berita The Atlantic, seorang jurnalis bernama Olga Khazan membuat artikel berjudul “I Watched Russian TV So You Don’t Have To” (“Saya Menonton TV Rusia Sehingga Kalian Tidak Perlu Menontonnya”) mengenai bagaimana media Rusia menggambarkan pemerintahan, pemimpin, dan aksi invasi Rusia. Ternyata, mereka memberitakan hal yang berbeda.
Di awal invasi Rusia ke Ukraina, sebuah organisasi independen melakukan sebuah survei berjudul “Operasi militer khusus di Ukraina: sikap Rusia” terhadap masyarakat Rusia oleh kelompok riset Russian Field. Survei ini mendapatkan bahwa setelah pecahnya perang di Ukraina, hampir 50% sikap Rusia terhadap Putin berubah menjadi lebih baik sedangkan 23% orang Rusia mulai menganggap Putin lebih buruk.[1]
Mengapa hal ini dapat terjadi?
Hal ini karena berbagai media di Rusia terutama yang dikendalikan pemerintah membuat narasi berbeda dengan media di luar negara pimpinan Putin tersebut. Dilansir dari berbagai penelusuran seperti The Atlantic dan BBC, media-media yang dikontrol oleh Rusia memutarbalikan berita. Media Rusia juga tidak menggunakan kata “perang” dalam narasinya, melainkan “demilitarisasi”. Pihak Rusia merupakan pihak baik yang berusaha mengusir Amerika Serikat, NATO, dan negara lainnya yang jahat dari Ukraina yang sudah terpengaruh Nazi.
Persepsi masyarakat terhadap AS dan sekutunya juga ternyata telah sejalan dengan pemerintah Rusia, lewat survei Russian Field, lebih dari separuh responden (59,7%) menganggap AS sebagai penggagas konflik di Ukraina, sebesar 30,3% menuduh NATO, dan 28,9% mengatakan konflik terjadi akibat Ukraina sendiri.[2] Menurut kantor berita Europe Maiden Press, masyarakat Rusia sendiri telah mengantisipasi operasi yang dilakukan Rusia, Sebagian besar masyarakat bersiap menghadapi harga produk yang akan melambung, pengenalan sanksi baru terhadap Rusia oleh pihak Barat, dan krisis ekonomi.[3]
Sedangkan untuk media swasta, Presiden Putin memerintahkan agar memblokir stasiun ataupun sumber berita yang tidak benar menurut kepercayaan Rusia. Pada awal Maret lalu, untuk menyukseskan tindakan pemerintah dalam membentuk gambaran tindakan Rusia, Putin juga kemudian menandatangani undang-undang yang mengkriminalisasi penyebaran berita “palsu” tentang perang -termasuk menyebutnya dengan kata perang- dan memblokir akses ke Facebook di Rusia.
Pada hari dimana Rusia melakukan invasi, media Rusia menggambarkannya sebagai “operasi militer khusus” untuk demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina.[4] Di beberapa saluran TV Rusia, berbagai fasilitas termasuk kendaraan militer dihias dengan tanda “Z” yang berarti za pobedu (untuk “kemenangan”) dan za mir (untuk “perdamaian”), meskipun bukan itu cara Anda menulis huruf Z dalam bahasa Rusia.[5] Selain itu, acara diskusi yang ditayangkan di TV digambarkan oleh Sarah Oates, seorang pakar komunikasi politik di Universitas Maryland bahwa narasi yang dibawakan adalah usaha untuk mendorong nasionalisme yang lebih ekstrem bagi masyarakat Rusia.[6]
Tidak banyak liputan langsung dari lapangan yang dilakukan kantor berita Rusia, tetapi terdapat beberapa bukti yang disebarkan untuk mendukung narasi pemerintah Rusia. Lewat stasiun berita Channel 1 (Stasiun berita di Rusia yang cukup besar dan berpengaruh di negara tersebut) menampilkan seorang wanita Ukraina yang berbicara dalam bahasa Rusia, “Kami telah menunggumu selama bertahun-tahun” dan meliput bagaimana tentara Rusia bersikap baik kepada masyarakat Ukraina dengan membagikan makanan dan membiarkan masyarakat Ukraina menggunakan telepon mereka untuk menelepon keluarga mereka.[7]
Selain di saluran TV Channel 1, saluran berita Rossiya 1 memberitakan bahwa pasukan Ukraina yang justru melakukan kejahatan perang di wilayah Donbas dan bukan merupakan tindakan Rusia dan hal ini didasari oleh rasa “nasionalisme Ukraina”.[8] Lebih lanjut, media Rusia menuduh Ukraina bahwa mereka menggunakan anak-anak, wanita, dan lansia sebagai “perisai manusia” dan mencegah warganya melarikan diri Sejauh acara televisi Rusia membahas korban, mereka mengaitkannya dengan Ukraina, yang, menurut TV pemerintah Rusia, menggunakan “perisai manusia” dan mencegah warganya sendiri melarikan diri sehingga banyak masyarakat sipil menjadi korban jiwa.
Hal ini membuat sumber informasi dan arah dari berita membuat persepsi masyarakat Rusia terbentuk dan melihat Rusia sebagai pahlawan atas tindakannya. Akses informasi yang sulit didapatkan membuat banyak masyarakat mempercayai kondisi di Ukraina yang dikabarkan lewat media Rusia sehingga membuat banyak dari masyarakat Rusia mendukung pemerintahan Putin. Dari survei yang dikeluarkan oleh kelompok Russian Field pula, dukungan paling kuat di antara masyarakat adalah kelompok yang memercayai media pemerintah.[9]
Mengapa pemerintah Rusia menggambarkan seolah Rusia adalah “pahlawan” lewat medianya?
Hal ini berkaitan dengan nasionalisme yang penting bagi sebuah negara. Menurut Ernest Gellner, nasionalisme sendiri diartikan sebagai prinsip politik yang menyatakan bahwa “unit politik dan nasional harus kongruen”. Nasionalisme ini sendiri dapat menjadi sebuah identitas yang membedakan sebuah kelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya yang dapat membentuk sebuah “komunitas imajiner” menurut Benedict Anderson.[10] Imajiner ini diungkapkan sebagai ungkapan bahwa “imajiner” karena anggota negara terkecil pun tidak akan pernah mengenal sebagian besar sesama anggota mereka, namun masing-masing anggotanya memiliki identitas bersama bahwa mereka adalah bagian dari sebuah kelompok.
Konsep nasionalisme ini dapat “memperkuat” sebuah negara dari ancaman yang dihadapinya. Dalam hal ini, Rusia—memperjuangkan apa yang mereka anggap benar—berusaha menyatukan pemerintah dan masyarakat untuk “menguatkan” negara mereka. Dengan terbentuknya gambaran yang selaras, tentu protes terhadap pemerintah Rusia untuk menghentikan tindakannya akan berkurang, dan masyarakat akan mendukung pemerintahan Putin. Hal ini dapat berdampak baik bagi pemerintah Rusia sendiri dapat sedikit lebih fokus pada apa yang mereka lakukan di Ukraina. Walaupun apa yang mereka lakukan tidak benar—menurut pihak Barat—namun benar menurut persepsi Putin.[11]
Selain memperkuat sebuah komunitas, nasionalisme juga sering dikaitkan dengan perang. Nasionalisme mengagungkan perang melalui sejarah yang dimiliki komunitas itu mengenai ‘tentara yang gugur’. Masyarakat dengan nasionalisme yang tinggi dapat memiliki rasa “cinta tanah air” yang bisa saja bersedia untuk berkorban bagi negaranya yang tentu berguna bagi Putin untuk melangsungkan kebijakan menginvasinya, terlepas dari apakah tindakan itu benar atau salah di mata aktor lain.
Selain penggunaan konsep nasionalisme, Pemerintahan Rusia menggunakan apa yang disebut “media framing” atau pembingkaian media. Pembingkaian sendiri dapat didefinisikan sebagai pengorganisasian ide dengan cara menghubungkan cerita dengan aspek historis untuk membangun sebuah narasi.[12] Biasanya, pembingkaian media ini berurusan dengan agenda politik, seperti apa yang dilakukan oleh Putin.
Menurut Arowolo, pembingkaian media sendiri fokus pada bagaimana media menarik perhatian publik ke topik tertentu – menetapkan agenda, dan kemudian mengambil langkah lebih jauh untuk membuat bingkai, di mana audiens akan memahami informasi tersebut.[13] Hal ini sesuai dengan apa yang coba dibentuk oleh media pemerintahan Putin dengan agenda berupa penguatan “nasionalisme” masyarakatnya untuk kepentingan politik Rusia.
[1] Orysia Hrudka, “Nearly 60% of Russians support Putin’s war against Ukraine”, Euro Maidan Press, 6 Maret 2022,https://euromaidanpress.com/2022/03/06/nearly-60-of-russians-support-putins-war-against-ukraine/?swcfpc=1
[2] “Special military operation” in Ukraine: the attitude of the Russians, Russian Field, https://russianfield.com/netvoine
[3] Op. Cit., Orysia Hrudka
[4] Simona Kralova dan Sandro Vetsko, “Ukraine: Watching the war on Russian TV – a whole different story”, BBC, 2 Maret 2022, https://www.bbc.com/news/world-europe-60571737
[5] Olga Khazan, “I Watched Russian TV So You Don’t Have To”, The Atlantic, 10 Maret 2022, https://www.theatlantic.com/politics/archive/2022/03/how-russian-tv-portrays-war-ukraine/627010/
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Op. Cit., Simona Kralova dan Sandro Vetsko
[9] Op. Cit., Orysia Hrudka
[10] Benedict Anderson, “Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism”, Verso, London, New York, 2006.
[11] John Hutchinson, “Does nationalism cause war?”, OUP Blog, 4 Februari 2018, https://blog.oup.com/2018/02/nationalism-ideology-war/
[12] Olasunkanmi Arowolo. “Understanding Framing Theory”, Working Paper, Maret, 2017, hlm 3
[13] Ibid.