Menteri Luar Negeri Sugiono pada Senin (2/12/2024) mengklarifikasi bahwa Indonesia sejauh ini belum ada keputusan mengenai pengembangan maritim bersama dengan China, dengan tujuan meredakan kekhawatiran terkait potensi pelanggaran kedaulatan setelah kesepakatan terbaru dengan Beijing.
Kontroversi ini bermula di mana pada bulan November lalu Indonesia dan China mengeluarkan sebuah pernyataan bersama yang menjanjikan kerja sama dalam proyek-proyek di dalam “perairan yang tumpang tindih” yang diklaim oleh kedua negara. Pernyataan bersama ini dinyatakan saat kunjungan presiden Indonesia Prabowo Subianto ke Beijing. Tindakan ini menimbulkan banyak pertanyaan, karena hal ini ditafsirkan sebagai pengakuan secara implisit atas klaim teritorial China yang luas di wilayah tersebut.
Sebelumnya, China mengklaim sekitar 90 persen wilayah Laut China Selatan melalui “sembilan garis putus-putus” yang tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) beberapa negara tetangga Asia Tenggara. Padahal pengadilan internasional memutuskan pada tahun 2016 bahwa klaim China tidak memiliki dasar hukum, sebuah keputusan yang tidak diakui oleh Beijing.
Namun, Sugiono menegaskan kembali bahwa Indonesia tidak mengakui klaim China dan akan memprioritaskan kepentingan nasional dalam setiap keputusan. Ia menekankan bahwa tidak ada wilayah spesifik untuk proyek penangkapan ikan atau ekstraksi sumber daya yang telah disepakati. Sugiono menerangkan bahwa lebih baik mengejar kemitraan sambil tetap melindungi kedaulatan Indonesia dan posisi Indonesia tidak berubah dikarenakan perjanjian tersebut.
Banyak negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan telah menolak usaha patungan dengan China, karena khawatir kerja sama semacam itu dapat ditafsirkan sebagai melegitimasi klaim kontroversial Beijing. Para analis berpendapat bahwa langkah Indonesia ini dapat menandakan pergeseran dari posisi yang telah lama dipegangnya sebagai pihak netral dalam sengketa ini.
Yohanes Sulaiman, pakar hubungan internasional, memperingatkan bahwa perjanjian ini dapat meregangkan hubungan Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara lain yang selama ini bersatu menentang klaim China. Sulaiman menilai perjanjian tersebut sebagai ‘kesalahan’ yang dapat memicu konsekuensi di wilayah regional Asia Tenggara.