Wilayah otonomi Prancis yang berada di timur laut Australia bernama Kaledonia Baru mengalami pergejolakan. Kaledonia Baru menjadi Prancis di tahun 1853 saat berada di wilayah kepemimpinan Kerajaan Napoleon III. Wilayah ini menjadi wilayah pertama di luar teritori setelah perang dunia kedua, di mana Prancis menjanjikan kewarganegaraan untuk semua orang Kanak di tahun 1957. Sejak tahun 1800-an, Kaledonia baru diatur oleh pemerintah Prancis, namun banyak penduduk asli yakni Kanaks yang tidak menyukai kepemimpinan Prancis dan memilih untuk memiliki otonomi penuh atau kemerdekaan.
Berdasarkan perjanjian Noumea, terdapat tiga referendum atau kemerdekaan yakni pada tahun 2018, 2022, dan 2021, di mana semua hasilnya menunjukkan masih ingin berada di Prancis.
Dalam gejolak baru-baru ini, tidak hanya pemblokiran jalan, namun juga mobil-mobil dibakar dan tempat usaha ditutup dan dijarah. Setidaknya 500 orang sudah ditangkap saat pergejolakan terjadi.
Kejadian ini terjadi dikarenakan adanya proposal oleh Majelis Nasional di Paris untuk melakukan reformasi pemilu, di mana mereka ingin memberikan hak pilih kepada warga Prancis yang telah tinggal di sana selama lebih dari sepuluh tahun.
Presiden Prancis sudah menangguhkan status darurat nasional di wilayah Pasifik untuk membuka dialog politik setelah bentrokan menewaskan tujuh orang. Sebelumnya, status darurat ditetapkan padatanggal 16 Mei, di mana ribuan petugas keamanan diturunkan ke wilayah konflik. Berdasarkan pernyataan tersebut, status darurat tidak akan diperpanjang ‘untuk saat ini’ dan akan dihentikan pukul 5 pagi waktu setempat.
Keputusan ini ditetapkan setelah mempertimbangkan berbagai komponen dan pihak seperti gerakan kemerdekaan yakni Front Pembebasan Nasional Kanak dan Sosialis (Flnks). Flnks merupakan organisasi utama pro-kemerdekaan yang juga menolak usulan reformasi konstitusi serta menyerukan kondisi yang tenang dan tentram.
Meskipun begitu, pemimpin partai pro-kemerdekaan, Christian Tein tetap meminta para pendukung tetap ‘termobilisasi’ di sekitar perairan Pasifik Prancis dan tetap melawan upaya pemerintah Prancis untuk mereformasi sistem elektoral yang dikhawatirkan membuat kelompok adat Kanak semakin termarginalisasi.
Di waktu yang berbeda, kelompok Flnsk, juga mendorong Macron untuk menarik usulan untuk mereformasi elektoral jika Prancis ingin ‘mengakhiri krisis.’