The US Summit for Democracy dan Negara dengan Indeks Kebebasan Rendah: Pakistan
Pemerintahan Joe Biden dan Kamala Harris menegaskan bahwa pemerintahannya akan memperbaharui demokirasi di Amerika Serikat (AS) dan juga seluruh dunia untuk memenuhi tantangan saat ini.[1] Untuk itu, Biden akan menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Demokrasi secara virtual pada 9-10 Desember. Pertemuan ini akan mempertemukan pemimpin negara, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk menetapkan agenda pembaruan demokrasi dan mengatasi ancaman di zaman ini secara demokratik.
Dari situs resmi Washington, AS ingin mendengarkan, belajar, dan terlibat dengan beragam aktor yang berpengaruhuntuk demokrasi secara global dengan menyelenggarakan acara ini. KTT ini berusaha menunjukan kekuatan dari demokrasi: kemampuan untuk mengakui ketidaksempurnaannya dan menghadapinya secara terbuka dan transparan, sehingga kita dapat, seperti yang dikatakan Konstitusi Amerika Serikat, “membentuk persatuan yang lebih sempurna.”[2] Untuk KTT ini juga, AS memiliki tiga tema utama: Membela melawan otoritarianisme, mengatasi dan memerangi korupsi, dan mempromosikan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Tamu undangan dengan indeks kebebasan yang rendah
Lewat sebuah unggahan, AS memaparkan negara mana saja yang diundang. Menurut sebuah artikel di The Diplomat, rata-rata negara yang diundang memiliki skor kebebasan sebesar 78,5 dan 32,8 untuk negara yang tidak diundang.[3] Namun dari daftar tersebut, Pakistan dengan skor kebebasan 37 menjadi salah satu tamu yang diundang AS.[4] Dilansir dari The Diplomat, daftar tamu AS menggarisbawahi hubungan terpisah antara demokrasi dan kebebasan politik yang mana dijunjung oleh AS. Secara sistem pemerintahan, tidak ada yang aneh dengan diundangnya Pakistan yang juga merupakan negara demokrasi, tetapi Bangladesh yang juga merupakan negara demokrasi tidak ada dalam daftar tamu.
Membandingkan pemilihan umum di kedua negara juga menggambarkan ketidakadilan. Pemilihan umum terakhir Bangladesh berlangsung setelah pemimpin oposisi utama dipenjara karena korupsi, sedangkan pemilihan umum terakhir di Pakistan dirusak oleh “campur tangan pra-pemilihan oleh badan-badan militer dan intelijen yang menciptakan lapangan permainan pemilihan yang tidak merata.”[5] Hal ini memperlihatkan bahwa ada kepentingan dan maksud tertentu dari diundangnya Pakistan.
Pengamat diplomatik di Washington mengatakan bahwa Pakistan kemungkinan akan berpartisipasi dalam KTT ini. Menurut sebuah sumber diplomatik, “Perdana Menteri Imran Khan, akan berpidato di KTT itu juga, jika Pakistan setuju untuk berpartisipasi,”.[6] Namun, dilansir dari situs berita Dawn, Pakistan kemungkinan akan berkonsultasi dengan China sebelum mengumumkan partisipasinya. Sebelumnya AS juga mengundang Taiwan, negara sekutu “tidak resmi” AS, kabar ini sendiri membuat marah China.
Hubungan AS-Pakistan, dengan pengawasan China
Melihat pernyataan AS terhadap hubungannya dengan Pakistan, AS mengatakan bahwa AS merupakan negara ekspor dan salah satu investor terbesarnya dengan China sebagai sumber impor terbesar Pakistan.[7] Selain itu, Pakistan juga terlibat banyak dalam perang AS melawan teroris di Afghanistan. Selain hubungan di bidang ekonomi, hubungan AS-Pakistan ini juga terjalin dari bidang militernya. Pakistan memenangkan puluhan miliar dolar dalam bantuan Amerika selama dua dekade terakhir untuk membantu AS memerangi terorisme.[8] Namun, semenjak Afghanistan, negara tetangga dari Pakistan digulingkan oleh Taliban, hubungan keduanya mulai goyah. Hal ini membuat perhatian AS berkurang terhadap Pakistan karena tidak ada hal yang perlu diurusi di wilayah tersebut. Tidak adanya pendanaan militer dari AS membuat Pakistan memiliki ketergantungan pada perdagangan narkoba yang didorong oleh Taliban.[9]
Di satu sisi, Pakistan saat ini lebih banyak dibantu oleh China, negara yang sedang gencar-gencarnya mencari power untuk menandingi AS. Lewat Belt and Road Initiative (BRI), Beijing tidak hanya menjadi sumber impor terbesar, tetapi influence dan investasi yang China keluarkan juga sangat besar. Terlebih dengan sikap AS yang mulai “mengabaikan” Pakistan. Semenjak beredar kabar bahwa AS akan menarik pasukannya dari Timur Tengah, China sendiri melakukan berbagai usaha mediasi untuk menstabilkan wilayah tersebut untuk mensukseskan proyek BRI miliknya.
Lalu mengapa Pakistan diundang?
AS sendiri menyadari seberapa besar pengaruh yang China miliki di berbagai wilayah di dunia. Menurut Paul van Hooft, negara-negara sekutu AS kini mulai kehilangan kepercayaan pada AS dan mencari opsi kerja sama lain.[10]Kanselir Jerman, Angela Merkel juga pernah mengatakan bahwa Eropa tidak dapat lagi sepenuhnya mengandalkan AS. Sebagai negara major power dan penggagas demokirasi, tentu AS ingin melanggengkan power-nya di arena internasional.
Sesuai asumsi Immanuel Kant, negara-negara dengan sistem yang sama—dan dalam konteks ini adalah negara demokrasi—akan cenderung bekerja sama dan memiliki hubungan damai antaranya.[11] Lewat The US Summit for Democracy, tentu AS memiliki tujuan ini. Hubungan timbal balik antara AS dan negara-negara berkembang seperti Pakistan dengan membawa nilai “demokrasi” tentu menjadi salah satu cara untuk memperbesar pengaruh AS di Islamabad. Beberapa tahun terakhir, AS dan China secara terang-terangan berkompetisi untuk menjadi negara dengan power terkuat secara global.
Pakistan sendiri baru menjadi sebuah negara demokrasi pada tahun 2003 dan menjadi salah satu negara demokrasi terbaru. Namun seperti data dari Freedom House, negara ini tidak memiliki tingkat kebebasan yang tinggi seperti negara demokrasi lainnya. AS menggunakan apa yang disebut oleh Michael W. Doyle sebagai momentum ‘konglomerat negara global-Barat’ untuk membuat Pakistan bergantung pada AS—dan bukan China—terutama di bidang ekonomi, yang akhirnya membuat negara “pemodal” menciptakan kepentingan yang akomodatif dengan negara yang bekerja sama dengannya.[12] Dalam agenda KTT Demokrasi, AS juga menekankan kerja sama secara demokrasi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Wilayah Pakistan yang cukup strategis dengan bertetangga dengan India dan Afghanistan membuat AS seharusnya dapat membungkam pengaruh China di wilayah Asia Selatan dengan membawa nilai demokrasi.
Kesetaraan dan kebebasan dalam demokrasi?
Demokrasi sendiri mengedepankan nilai kebebasan dan kesetaraan. Demokrasi yang paling konvensional adalah demokrasi liberal di mana kekuasaan, hubungan antarkelompok, dan rakyat masing-masing adalah kebebasan, persaingan, dan semua orang.[13] Menurut asumsinya, demokrasi liberal dapat menghasilkan tatanan internasional liberal yang kooperatif untuk semua negara demokrasi liberal.[14] Jika dilihat dari bagaimana sistem pemerintahan negara, Pakistan sudah sepatutnya menjadi tamu undangan karena menganut sistem demokrasi, namun ada nilai lebih dari Islamabad yang membuat negara ini dijadikan tamu undangan dibandingkan Bangladesh yang sama-sama menjadi negara demokrasi. Sesuai asumsi liberalisme bahwa negara-negara dengan sistem yang sama cenderung lebih kooperatif. Tetapi KTT untuk demokrasi ini memperlihatkan kepentingan-kepentingan penyelenggaranya seperti bagaimana AS mengundang Pakistan. Sehingga konsep dari kesetaraan dan kebebasan yang diadopsi oleh AS tentu mengacu pada pemahamannya sendiri karena memperlihatkan dua negara dengan sistem pemerintahan yang sama namun tidak diundangnya Bangladesh.
[1] The Summit for Democracy, U.S. Department of State, https://www.state.gov/summit-for-democracy/
[2] Ibid.
[3] Shannon Tiezzi, Which Asia-Pacific Countries Were (and Weren’t) Invited to the US Summit for Democracy?, The Diplomat, 1 Desember 2021, https://thediplomat.com/2021/12/which-asia-pacific-countries-were-and-werent-invited-to-the-us-summit-for-democracy/
[4] Global Freedom Scores, Freedom House, https://freedomhouse.org/countries/freedom-world/scores
[5] Mihir S Sharma, Pakistan in, Sri Lanka out: Biden’s democracy summit is a diplomatic flub, Business Standard, 30 November 2021, https://www.business-standard.com/article/international/pakistan-in-sri-lanka-out-biden-s-democracy-summit-is-a-diplomatic-flub-121113000291_1.html
[6] Anwar Iqbal, Pakistan may attend US democracy summit, Dawn, 27 November 2021, https://www.dawn.com/news/1660485
[7] Bureau of South and Central Asian Affairs, U.S. Relations With Pakistan, U.S. Department of State, 20 Januari 2021, https://www.state.gov/u-s-relations-with-pakistan/
[8] Jane Perlez, The Real Winner of the Afghan War? It’s Not Who You Think, New York Times, 26 Agustus 2021, https://www.nytimes.com/2021/08/26/world/asia/afghanistan-pakistan-taliban.html
[9] Ibid.
[10] Paul van Hooft, Eriosion, then collapse: The end of the US-led liberal global order, Atlantisch Perspectief, Vol. 42, No. 4, hlm. 35-39, 2018, https://www.jstor.org/stable/48581430
[11] Michael W. Doyle, Liberalism and World Politics, The American Political Science Review, Vol.80, No.4, hlm. 1151-1169, https://doi.org/10.2307/1960861
[12] Ibid.
[13] Dingyu Chung, “Democracies and International Relations”, SCIRP, Open Journal of Social Sciences, Vol.7 No.7, Juli 2019, DOI: 10.4236/jss.2019.77023
[14] Ibid.