Pasukan Militer AS Resmi Keluar Dari Afghanistan, Apa Langkah Amerika Serikat Selanjutnya?
Mayor Jenderal Chris Donahue, adalah personil militer AS terakhir yang mengangkatkan kakinya dari Afghanistan setelah 20 tahun Amerika Serikat (AS) memerangi kelompok ekstrimis. Pihak Pentagon sendiri mengunggah foto Donahue ketika meninggalkan Bandara Kabul pada platform Twitter, 30 Agustus 2021. Selama 17 hari terakhir, evakuasi lewat jalur udara itu berhasil membawa lebih 120.000 warga dan sekutu AS, serta masyarakat Afghanistan.[1] AS sendiri memiliki perjanjian batas waktu hingga 31 Agustus 2021 dengan Taliban untuk menarik pasukan dan mengevakuasi warganya.
Operasi penarikan dan evakuasi sendiri hampir berjalan sesuai rencana dengan cara damai. Hingga pada 26 Agustus 2021, bom bunuh diri yang menewaskan lebih dari 170 orang. Empat hari setelahnya, pesawat udara tanpa awak milik AS menyerang sebuah mobil yang disinyalir dikendarai militan dan bom yang akan diledakkan. Taliban sendiri mengecam tindakan AS karena dinilai bertindak semena-mena di wilayah kedaulatan Afghanistan.
Untuk mencapai titik ini, pada akhir Februari 2020, AS dan Taliban akhirnya setuju pada kesepakatan untuk mengakhiri perang 20 tahun di Afghanistan, dimana perjanjian AS-Taliban meliputi gencatan senjata antara keduanya dalam operasi penarikan militer AS yang akan dinilai AS akan berdampak baik pada perdamaian Afghanistan-Taliban.[2] Namun perdamaian di Afghanistan belum tercapai, Taliban justru menggulingkan kepemimpinan Ashraf Ghani dan berusaha membangun pemerintahan baru dengan menerapkan Hukum Syariah Islam.
Apakah Taliban Teman Atau Lawan AS?
Selain ketakutan banyak pihak akibat Taliban menguasai Afghanistan, ancaman baru datang dari aksi ISIS-K yang dinilai dapat masuk ke Afghanistan dengan mudah dan juga kembalinya Amin Ul-Haq, sahabat dari Osama Bin Laden yang kembali ke Kota Nangarhar, Afghanistan. Banyak pihak yang takut bahwa Afghanistan akan menjadi sarang kelompok teroris. Selain mempertanyakan komitmen Taliban dalam memberantas teroris, banyak pihak pula yang menyalahkan AS karena dinilai ceroboh dalam memperhitungkan strategi dan gagal menyelamatkan Afghanistan dari teroris.
Tindakan AS menuai kritik, mulai dari AS meninggalkan berbagai peralatan perang dan alutsista yang awalnya diberikan untuk militer Afghanistan. Namun persenjataan itu justru diambil dan digunakan oleh Taliban yang diperlihatkan pada awal September 2021, ketika mereka melakukan parade kemenangan di Kota Kandahar atas perginya negara-negara asing dari Afghanistan. Merespon hal tersebut, juru bicara Kementerian Pertahanan AS, John Kirby, mengatakan kepada CNN bahwa pasukan AS sudah “membuat semua peralatan di bandara, semua pesawat dan kendaraan lain, tak bisa digunakan.” walaupun tidak ada penjelasan mengenai alutsista lain di luar bandara Kabul.[3]
AS juga memindahkan Kedutaan Besarnya dari Afghanistan ke Doha, Qatar. Hal ini juga membuat banyak spekulasi apakah dikemudian hari AS akan mengakui Pemerintahan Taliban atau tidak, walaupun menurut pihak berwenang pemindahan kedutaan itu awalnya karena alasan keamanan. Tentu, AS tidak akan dengan mudah melepaskan Afghanistan seutuhnya, terlebih kepada Taliban, salah satu kelompok yang awalnya diperangi oleh AS. Tidak hanya itu, Afghanistan juga dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam seperti tembaga, minyak, gas alam, uranium, batu bara, dan lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh negara lain yang memiliki hubungan kerja sama dengan Afghanistan.[4] Sebelum AS resmi pergi pun, pemimpin Taliban pernah melakukan .
Bertentangan dengan hal-hal di atas, AS-Taliban juga membangun hubungan damai, AS juga mengandalkan bantuan Taliban untuk membantu melindungi warga AS dan sekutu Afghanistan yang berusaha meninggalkan Afghanistan. Ditambah dengan ancaman dari ISIS-K yang merupakan musuh bersama AS dan Taliban, Antony Blinken, Menteri Luar Negeri AS mengatakan bahwa AS berharap Taliban memegang janjinya untuk memerangi kelompok ekstrimis, namun tidak berarti AS akan bergantung pada Taliban dan akan tetap waspada dalam memantau ancaman secara mandiri.[5] Pemerintahan Biden pun awalnya tidak berniat bekerja dengan Taliban selama penarikan militer.[6]
Lalu, apa langkah selanjutnya dari AS?
Hubungan antara AS dan Taliban dapat dikatakan cukup kompleks. Keduanya masih berusaha mengenali satu sama lain yang akhirnya apakah akan ada kerja sama, atau perang Afghanistan babak kedua. Sesuai pernyataan Joe Biden pada sebuah konferensi pers, tujuan utama AS berada di Afghanistan adalah mencegah serangan teroris kembali di AS. Maka dari itu, AS dapat sewaktu-waktu kembali ke Afghanistan jika hal tersebut adalah cara terbaik untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya. Alutsista yang ditinggalkan dan jika memang tidak dapat dioperasikan oleh Taliban, akan menjadi barang berharga yang dititipkan di wilayah musuh jika AS kembali memerangi Taliban.
Dengan tidak adanya kedutaan resmi di Afghanistan pun, berarti belum ada kerja sama resmi yang terjalin diantara AS-Taliban, dan mungkin akan lebih mudah menyerang Afghanistan jika suatu saat Taliban tidak dapat menjadi rekan kerja sama. Jika Taliban menjadikan negara itu sarang kelompok teroris kembali. Di samping itu, perang selama 20 tahun telah menelan biaya dan nyawa yang sangat besar, jika AS menduduki Afghanistan lagi, banyak biaya yang akan keluar.
Tetapi jika suatu saat AS-Taliban membangun kerja sama, setidaknya AS dapat mengamankan sumber daya alam di Afghanistan agar tidak digunakan negara lain seperti China, Rusia, dan juga Pakistan. Kemungkinan paling besar terjadinya kerja sama adalah karena kepetingan AS dalam melawan teroris, walaupun AS mengatakan mereka tidak akan bergantung pada Taliban, tetapi Taliban dapat dikatakan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan para kelompok ekstrimis. Di sisi lain, Taliban juga menginginkan pengakuan negara lain terhadap pemerintahannya sehingga kepentingannya dan AS ini dapat menjadi salah satu titik awal kerja sama. Namun belum ada satupun yang yakin bahwa Taliban akan berubah atau sama seperti 25 tahun yang lalu, sehingga AS juga perlu mempertimbangkan apakah kerja sama dapat dilakukan atau tidak.
[1] Nicole Gaouette, dkk, “The last US military planes have left Afghanistan, marking the end of the United States’ longest war”, CNN, 31 Agustus 2021, https://edition.cnn.com/2021/08/30/politics/us-military-withdraws-afghanistan/index.html
[2] Scott Worden, “Breaking the Stalemate: Biden Can Use the U.S.-Taliban Deal to Bring Peace” United States Institute of Peace, 25 Februari 2021, https://www.usip.org/publications/2021/02/breaking-stalemate-biden-can-use-us-taliban-deal-bring-peace
[3] CNN Indonesia, “Taliban Gelar Parade Kemenangan Pakai Alutsista AS”, CNN, 2 September 2021, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210902065401-113-688627/taliban-gelar-parade-kemenangan-pakai-alutsista-as
[4] Reuters, “Factbox: What are Afghanistan’s untapped minerals and resources?”, Reuters, 19 Agustus 2021, https://www.reuters.com/world/asia-pacific/what-are-afghanistans-untapped-minerals-resources-2021-08-19/#:~:text=Afghanistan%20is%20rich%20in%20resources,%2C%20travertine%2C%20gypsum%20and%20marble.
[5] Press Trust of India, :US shuts down diplomatic mission in Kabul, moves embassy to Doha”, Firstpost, 31 Agustus 2021, https://www.firstpost.com/world/us-shuts-down-diplomatic-mission-in-kabul-moves-embassy-to-doha-9925831.html
[6] Michael D. Shear dan Julan E. Barnes, “Afer Two Decades of Fighing tTaliban, U.S. Is Uneasy Parters With Them”, New York Times, 27 Agustus 2021, https://www.nytimes.com/2021/08/27/us/politics/us-taliban-partnership.html